Hasrat Mengukur Kecerdasan Manusia

7 Mei 2017 14:49 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pengukuran IQ (Foto: thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengukuran IQ (Foto: thinkstock)
Pernahkah kamu bertanya mengapa ada orang yang mudah menerima informasi-informasi baru namun beberapa orang lain justru kesulitan? Pertanyaan serupa itu menjadi salah satu bahan bakar awal para ilmuwan dan psikologis mencoba mencari tahu hal-hal terkait kecerdasan.
ADVERTISEMENT
Kecerdasan atau inteligensi dalam oxforddictionaries.com didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk memperoleh dan mengaplikasikan baik itu ilmu pengetahuan atau keterampilan. Sedangkan merriam-webster.com menjelaskan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk belajar, memahami, dan menangani situasi baru.
Kecerdasan pada mulanya dianggap sebagai persoalan ketajaman alat indera seseorang. Hal itu dirumuskan pertama kali oleh Sir Francis Galton, ilmuwan asal Inggris yang lahir pada 16 Februari 1822. Asumsi awal Galton yang menyatakan bahwa kecerdasan manusia adalah hal yang diwariskan termuat dalam buku Charles Darwin, yang merupakan saudara sepupu Galton, berjudul Origin of the Species pada 1859.
Francis Galton (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Francis Galton (Foto: Wikimedia Commons)
Pada 1869, Galton menerbitkan buku berjudul Hereditary Genius yang berisi penelitiannya terhadap 300 keluarga dan menguatkan teorinya bahwa kecerdasan diwariskan dari generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Di tahun 1882, Galton mendirikan pusat tes kecerdasan pertama di dunia. Karena baginya kecerdasan adalah persoalan kemampuan penginderaan, Galton menyusun serangkaian tes yang terdiri dari tes ketajaman penglihatan, pendengaran, sensitivitas, dan waktu bereaksi. Mereka yang ingin dites harus membayar sebesar 3 sen dolar kala itu.
Melalui pusat tes yang didirikannya Galton mampu mengumpulkan 9.000 data selama 6 tahun. Dari data tersebut dia mengembangkan pengukuran korelasi statistik dan menjadi orang pertama yang menggunakan kuisioner secara luas dalam penelitian psikologi.
Galton mendapat kritikan karena tidak mampu menjelaskan bagaimana pengaruh lingkungan dan nilai-nilai sosial pada kecerdasan seseorang.
Fondasi yang dibuat Galton dalam melakukan pengukuran tersebut dilanjutkan oleh James Cattel, psikolog Amerika Serikat yang bersekolah di Leipzig, Jerman. Cattel bertemu dengan Galton ketika ia sempat tinggal di Inggris pasca-kelulusannya tahun 1886.
ADVERTISEMENT
Pada 1890, Cattel menerbitkan artikel berjudul Mental Tests and Measurement yang mengajukan 10 bentuk tes yang bisa digunakan masyarakat.
Alfred Binet (Foto: Wikimedian Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Alfred Binet (Foto: Wikimedian Commons)
Ragam tes yang ditawarkan Cattel ataupun yang pernah dicoba oleh Galton kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet.
Psikologi asal Perancis ini merilis hasil penelitian berjudul L'Etude Experimentale de l'Intelligence, atau Studi Eksperimen tentang Kecerdasan, yang dilakukan terhadap kedua putrinya sendiri pada 1902. Kecerdasan bagi Binet tidak bisa dilepaskan dari pengalaman aktual, keadaan, atau nilai-nilai personal seseorang, pun tidak bisa dijelaskan dalam angka.
Meski begitu, Binet mulai mencoba melakukan serangkaian tes memori, perbandingan, imajinasi, atensi, komprehensi, sentimen estetis, sentimen moral, kekuatan otos, motorik, dan koordinasi tangan-mata selama delapan tahun (1896-1904). Rangkuman tes inteligensi pertama Binet diterbitkan pada 1905 yang berisi 30 item yang disusun berdasarkan tingkat kesulitan pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
Binet menyatakan bahwa kecerdasan memiliki beragam wajah namun kita mencoba menyederhanakannya dan mengontrolnya dengan penilaian praktis. Binet senantiasa menjaga tesnya untuk memotivasi individu yang biasa saja, karena baginya kecerdasan bukanlah hal yang statis dan perubahan selalu bisa terjadi pada setiap individu.
Jika kecerdasan bagi Binet sangatlah luas, maka Charles Spearman mencoba membatasi definisinya.
Spearman menyadari bahwa pengukuran variabel apapun terkait kecerdasan selalu mengandung ketidak-akuratan. Untuk itu kemudian dia mengembangkan koefisien korelasi dan berbagai teknik statistik terhadap tes yang dilakukan oleh Binet.
Pada 1904, Spearman menyatakan dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan yakni 'g' dan 's'. General factors menurut Spearman adalah kekuatan otak, sementara Specific factors adalah hal-hal khusus seperti atensi, konasi, dan proses-proses psikologis lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada 1912, gagasan-gagasan mengenai pengukuran kecerdasan makin dikembangkan oleh Wiiliam Stern terutama pada anak-anak. Stern menemukan bahwa kecerdasan seseorang juga dipengaruhi oleh faktor usia. Ia mengamini pernyataan Spearman bahwa, "kapasitas kecerdasan berdampak secara luas terhadap mental seseorang."
Henry Goddard (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Henry Goddard (Foto: Wikimedia Commons)
Henry Goddard, psikolog yang berseberangan dengan Binet, menulis buku berjudul The Kallikak Family: A Study in the Heredity of Feeble-mindedness pada 1912. Goddard sangat mengimani gagasan Galton bahwa kecerdasan adalah warisan. Atas dasar itu Goddard menawarkan gagasan untuk membatasi reproduksi orang yang disebutnya berpikiran lemah.
Goddard menjadi tokoh yang dianggap bertanggung jawab dalam penyalahgunaan tes kecerdasan dalam persoalan strata sosial.
Lewis Terman --seperti juga Goddard, adalah seorang Galtonian yang menyetujui konsep kecerdasan sebagai hal genetis dan terwariskan. Namun pada 1940, Terman menemukan bahwa faktor lingkungan dan nilai-nilai sosial juga mempengaruhi kecerdasan seseorang.
ADVERTISEMENT
Lewis Terman (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Lewis Terman (Foto: Wikimedia Commons)
Pengukuran kecerdasan seseorang melalui tes IQ yang kini makin disempurnakan menjadi hal jamak digunakan, terutama di sekolah-sekolah. Nilai IQ normal menurut Stanford-Binet berkisar di antara 85-115, sementara Terman menetapkan angka 90-109.
Mereka yang memiliki nilai IQ lebih dari rata-rata nilai normal tersebut dianggap sangat cerdas. Angka tersebut secara langsung atau tidak langsung turut memberikan nilai status sosial mereka di lingkungan masing-masing.
Pengukuran IQ pun mendapat kritik karena dinilai terlalu menyederhanakan kecerdasan hingga memicu timbulnya perilaku diskriminasi. Bagaimana menurut Anda?
ADVERTISEMENT
Tokoh di Balik Tes IQ (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tokoh di Balik Tes IQ (Foto: Bagus Permadi/kumparan)