Hewan Mirip Tikus Ini Bisa 'Glow In The Dark' Begini Penampakannya

23 Februari 2021 11:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Springhare. Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Springhare. Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Mamalia biofluoresan atau yang memiliki kemampuan glow in the dark alias bersinar dalam kegelapan kini punya anggota baru, yakni springhare. Ia adalah genus hewan pengerat mirip tikus dalam keluarga Pedetidae yang hidup di Afrika.
ADVERTISEMENT
Dilaporkan dalam jurnal Scientific Reports, para ilmuwan menunjukkan bagaimana springhare bisa bersinar biofluoresensi yang tampak jelas saat terkena sinar ultraviolet. Biofluoresensi adalah fenomena 'glow in the dark' atau bersinar dalam kegelapan, dengan gelombang cahaya diserap dan kemudian dipancarkan kembali berdasarkan sifat dari bulu atau kulit hewan tersebut.
Dalam kasus springhare, bulu hewan ini mampu menyerap sinar ultraviolet dan memancarkannya kembali sebagai warna merah jambu, merah, dan oranye.
Bulu bercahaya terlihat pada spesies springhare yang berbeda; springhare yang hidup di Afrika bagian selatan (Pedetes capensis), dan springhare Afrika Timur yang hidup di Kenya dan Tanzania (Pedetes surdaster).
Kedua spesies ini sekilas menyerupai kelinci, atau kanguru dalam bentuk mini. Namun faktanya, springhare adalah spesies berbeda dan tidak ada keterkaitan dengan kelinci atau kanguru. Springhare malah lebih dekat hubungannya dengan tikus.
Springhare, mamalia di Afrika yang bisa menyala di dalam kegelapan. Foto: Scientific Reports/Oslon
Penelitian yang dirilis tahun lalu ini menjabarkan bagaimana springhare memiliki kemampuan biofluoresensi ketika mereka berada di bawah sinar ultraviolet (UV). Sifat ini juga pernah didokumentasikan pada tupai terbang, kelelawar Australia, dan marsupial Amerika.
ADVERTISEMENT
“Kendati springhare tidak terduga (bisa menyala), namun pengamatan kami juga menunjukkan bahwa mungkin adanya mamalia yang memiliki kemampuan biofluoresensi dari perkirakan sebelumnya,” kata peneliti, sebagaimana dikutip IFLScience.
Peneliti berpendapat bahwa biofluoresensi digunakan beberapa hewan soliter untuk mengenali satu sama lain ketika musim kawin tiba. Sejumlah peneliti lain mengatakan bahwa kemampuan bersinar di malam hari digunakan untuk menghindari deteksi predator yang melihat UV dengan menyerap panjang gelombang yang dipantulkan.
Tidak seperti mamalia bercahaya pada umumnya, biofluoresensi yang tampak pada springhare ternyata tidak merata, alias warna yang ditimbulkan tampak seperti tumpukan cat. Para peneliti menduga, warna tidak merata ini digunakan hewan mamalia tersebut untuk penyamaran dari pemangsa.
Springhare, mamalia yang punya kemampuan glow in the dark. Foto: Scientific Reports/Oslon
"Kami berspekulasi bahwa jika predator mereka sensitif terhadap UV, pola unik yang kami amati dapat berfungsi sebagai semacam kamuflase dari predator," kata Erik R Olson, penulis utama studi dan profesor Sumber Daya Alam di Northland College, kepada IFLScience.
ADVERTISEMENT
"Namun, ada kemungkinan bahwa sifat ini tidak memiliki signifikansi ekologis apa pun. Ini murni spekulasi, dan sampai ada studi perilaku yang menilai sensitivitas spektral springhare dan predatornya, itu akan sulit untuk dikonfirmasi."
Peneliti juga menduga biofluoresensi bagian dari penyakit. Misalnya, biofluoresensi telah banyak dikaitkan dengan porfiria pada tupai, tikus, dan manusia. "Kami dapat menentukan bahwa porfirin, bertanggung jawab atas biofluoresensi di springhare. Pada manusia, kelebihan produksi porfirin adalah karakteristik penyakit yang disebut porfiria. Springhare dapat menyimpan atau menyimpan kelebihan porfirin di bulu mereka yang dapat menyebabkan penyakit," jelas Olson.
"Jika itu benar, maka springhare berpotensi membantu kita lebih memahami penyakit porphyria."