Ilmuwan: Pasien COVID-19 Tanpa Gejala Bisa Lebih Banyak dari Perkiraan

26 Maret 2020 13:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga menggunakan masker saat beraktivitas untuk menghindari virus corona di Jepang. Foto: AFP/PHILIP FONG
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan masker saat beraktivitas untuk menghindari virus corona di Jepang. Foto: AFP/PHILIP FONG
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilmuwan mendesak adanya penelitian untuk menentukan proporsi pasien positif COVID-19 yang tidak atau belum menunjukkan gejala. Mereka memperkirakan angka pasien tanpa gejala bisa lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Di Islandia, salah satu negara yang telah melakukan pemeriksaan pada sebagian penduduknya, menemukan bahwa sekitar setengah dari masyarakat yang telah diperiksa dinyatakan positif terjangkit virus corona tanpa menunjukkan gejala. Ini diungkap oleh Kepala Epidemiologi Islandia, Thorolfur Gudnason, kepada Buzzfeed News.
Sementara itu, sebanyak sepertiga dari orang-orang yang terdiagnosis positif virus corona di China menunjukkan gejala yang tertunda atau tidak ada gejala sama sekali. Menurut laporan South China Morning Post, hal inilah yang kemudian mempersulit dokter untuk menghentikan penyebaran pandemi.
Saat ini, banyak negara yang hanya memeriksa dan merawat pasien COVID-19 lansia atau sudah akut. Sementara, orang yang meminta dirinya diperiksa karena merasa terjangkit tanpa menunjukkan gejala, akan diminta untuk melakukan isolasi diri hingga timbul gejala atau sudah tidak bisa menangani sendiri.
Warga memakai masker saat beraktivitass di Istanbul, Turki, Selasa (17/3). Foto: Ozan KOSE / AFP
Berdasarkan laporan misi gabungan WHO (World Health Organization) dan China pada bulan lalu, infeksi seperti itu relatif jarang terjadi dan tidak tampak sebagai pendorong utama penularan. Namun, kini para ilmuwan meragukan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
“Semakin jelas bahwa penyebaran COVID-19 oleh orang-orang yang tidak menunjukkan gejala atau sedikit gejala mungkin bertanggung jawab terhadap lebih banyak penularan dari yang diperkirakan sebelumnya, membuat pengendalian virus lebih sulit,” tulis Scott Gottlieb, mantan kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) AS, dalam sebuah cuitan di Twitter.
Kekhawatiran itu juga didukung dengan hasil pemeriksaan massal di Korea Selatan yang menunjukkan lebih dari 20 persen pasien positif corona yang dilaporkan ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea, tidak mengalami gejala selama dirawat di rumah sakit. 
Beberapa makalah penelitian telah menetapkan indikasi potensi penyebaran virus corona di masyarakat sebelum mereka menunjukkan gejala demam, batuk dan kelelahan yang khas dikaitkan dengan penyakit COVID-19. Salah satu penelitian itu dilakukan para dokter di China yang memonitor 18 pasien tertentu selama beberapa pekan.
ADVERTISEMENT
Biasanya, konsentrasi tertinggi atau viral load dari pasien COVID-19 bisa terdeteksi ketika mereka menunjukkan gejala tipikal yang terjadi saat terinfeksi virus corona.
Namun, dalam jurnal berjudul New England Journal of Medicine, peneliti menemukan peluruhan materi genetik virus menyerupai pasien flu, tetapi berbeda dari pasien dengan sindrom pernapasan akut, atau SARS. 
Dari 18 pasien, terdapat satu yang tidak menunjukkan gejala seperti yang biasanya terjadi pada orang-orang yang teridentifikasi positif COVID-19. Namun, viral load pasien itu serupa dengan pasien yang bergejala. Sehingga pasien tidak bergejala memiliki potensi menularkan seperti pasien yang memiliki gejala minim.
Petugas Ambulans Puskesmas Kebayoran Baru, membawa pasien yang diduga terkena virus Corona di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Senin (2/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Temuan ini sesuai dengan laporan bahwa penularan dapat terjadi pada awal infeksi ketika virus belum terdeteksi. Sehingga kasus isolasi pada pasien juga membutuhkan strategi yang berbeda untuk setiap pasien.
ADVERTISEMENT
Sementara itu di Jepang, para peneliti menemukan bahwa waktu yang diperlukan bagi orang yang baru terinfeksi untuk menularkan infeksi ke orang lain adalah sekitar 4,6 hari, sekitar satu hari lebih cepat dari periode median inkubasi.
“Ini menunjukkan bahwa proporsi substansial dari penularan sekunder dapat terjadi sebelum timbulnya penyakit,” tulis Hiroshi Nishiura dan rekannya di Sekolah Pascasarjana Kedokteran Universitas Hokkaido dalam makalah International Journal of Infectious Diseases.
Para peneliti dari Columbia University melaporkan dalam jurnal Science pada pekan lalu bahwa sekitar 86 persen dari semua infeksi virus corona COVID-19 tidak terdokumentasi sebelum penerapan pembatasan perjalanan pada 23 Januari 2020 dan tindakan pengendalian lain di China.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
ADVERTISEMENT