Ilmuwan Selidiki Ritual Tukdam, Meditasi Biksu Buddha Dalam Keadaan ‘Mati Suri’

10 Oktober 2021 12:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ritual meditasi menuju keabadian para biksu di Jepang. Foto: Dok. Penn Museum
zoom-in-whitePerbesar
Ritual meditasi menuju keabadian para biksu di Jepang. Foto: Dok. Penn Museum
ADVERTISEMENT
Dalam ajaran Buddhisme Tibet, ada konsep mistik yang dikenal sebagai thukdam atau tukdam, di mana seorang biksu bermeditasi dengan pikiran tetap terjaga hingga ia meninggal dunia. Pada saat meditasi, otak diyakini mati, tidak mampu merekam sensorik, namun beberapa kedipan atau kesadaran tetap ada di dalam tubuh.
ADVERTISEMENT
Sesuai tradisi, seseorang yang sudah menguasai meditasi tingkat tinggi ini diyakini mampu memperpanjang proses kematian. Jika seorang biksu berhasil mencapai titik tersebut, dia akan meninggal dengan keadaan duduk tegak, kulitnya tetap kenyal dan cerah.
“Seseorang yang tukdam dapat tetap dalam keadaan ini selama seminggu atau bahkan sebulan sesuai dengan keinginan mereka sendiri,” kata Dalai Lama, pemimpin spiritual rakyat Tibet sebagaimana dikutip IFL Science.
Jelas, jika dijelaskan oleh sains ini sangat tidak masuk akal. Namun faktanya, dalam beberapa tahun terakhir fenomena tukdam telah menarik banyak ahli saraf, dokter, psikolog, antropolog, dan filsuf barat.
Biksu sedang meditasi. Foto: Pixabay
Awal tahun 2021, tim yang tergabung dalam multidisiplin ilmu dari Center for Healthy Minds di University of Wisconsin-Madison menerbitkan makalah peer-review pertama tentang fenomena tukdam. Dilaporkan di jurnal Frontiers in Psychology, para peneliti mencoba mempelajari aktivitas otak dari 14 praktisi meditasi jangka panjang dan membandingkannya dengan 13 praktisi meditasi yang baru saja meninggal dalam keadaan tukdam.
ADVERTISEMENT
Jadi apa yang mereka temukan? Para peneliti tidak mendeteksi adanya aktivitas otak pada 13 praktisi meditasi yang meninggal. Namun, mereka mencatat rekaman paling awal hanya bisa dicapai dalam 26 jam setelah kematian mereka. Ihwal mayat tetap segar setelah meninggal, ini masih belum dikonfirmasi.
Namun para peneliti tidak cukup puas dengan temuan mereka. Pengobatan medis barat melihat kematian sebagai keadaan biner, seperti mode hidup dan mati. Namun, sejumlah studi baru telah menentang pandangan tersebut.
Awal tahun 2021, diterbit di New England Journal of Medicine para peneliti telah memantau dengan detail tanda-tanda vital 600 pasien yang sakit parah atau keadaan kritis, di mana alat bantu hidup di tubuhnya mulai dilucuti.
Meditasi biksu di atas gunung untuk mencapai keabadian. Foto: Pixabay
Hasilnya menunjukkan, jantung seringkali berhenti dan berdetak kembali sebanyak beberapa kali selama proses kematian sebelum pasien benar-benar meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa kematian bukanlah kejadian “mati lampu” yang secara tiba-tiba, melainkan sebuah proses.
"Dalam pengobatan medis Barat, kematian dikonseptualisasikan dalam keadaan biner--baik Anda hidup di satu saat atau mati di saat lain," Richard Davidson, penulis studi yang merupakan direktur Center for Healthy Minds.
“Namun proses biologis tidak bekerja dengan cara yang sederhana. Mereka lebih berproses. Kami berharap penelitian ini mengkatalisasi percakapan seputar proses kematian dan menimbulkan pertanyaan tentang kematian sebagai proses dan bukan saklar biner.”
* * *
Ikuti survei kumparan Tekno & Sains dan menangi e-voucher senilai total Rp 3 juta. Isi surveinya sekarang di kum.pr/surveiteknosains