Indonesia Harus Belajar Penanganan Virus Corona dari China dan Korea Selatan

27 Maret 2020 8:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Staf medis Indonesia ikut serta dalam tes massal untuk virus corona COVID-19 di stadion Patriot di Bekasi.
 Foto: AFP/REZAS
zoom-in-whitePerbesar
Staf medis Indonesia ikut serta dalam tes massal untuk virus corona COVID-19 di stadion Patriot di Bekasi. Foto: AFP/REZAS
ADVERTISEMENT
Keseriusan pemerintah Indonesia untuk menangani virus corona tak hanya dipertanyakan oleh warga negaranya sendiri, tetapi juga dunia internasional. Memasuki pekan ke-4 setelah pengumuman pertama pasien COVID-19 di Indonesia, masih belum jelas langkah konkret macam apa yang bakal diambil oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah masih enggan untuk mengambil protokol lockdown. Presiden Joko Widodo (Jokowi) beralasan, protokol lockdown tidak sesuai dengan karakter, budaya, dan kedisiplinan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Imbauan physical distancing yang diserukan Presiden Jokowi sejak 15 Maret 2020 pun tampak tidak signifikan. Seperti yang dilaporkan sebelumnya, physical distancing hanya menjadi imbauan yang tak bertaji.
Sejumlah perusahaan nakal diketahui masih memaksa karyawannya untuk masuk ke kantor, meski pemerintah telah mengimbau kerja dari rumah atau work from home (WFH). Ketidakpastian ekonomi dan ketakutan tertular virus di Jakarta juga mengakibatkan aktivitas mudik berlangsung lebih cepat dari seharusnya. Larangan pemerintah agar masyarakat tidak pulang kampung hanya menjadi pesan yang sekadar lewat.
Di sisi lain, upaya pelacakan orang terinfeksi COVID-19 juga terkesan lambat. Pemerintah baru berjanji mengadakan 1 juta test kit virus corona pada 20 Maret 2020, setelah mereka memprediksi ada 600.000 hingga 700.000 orang yang bakal terinfeksi virus. Tidak jelas kapan 1 juta test kit ini tersedia.
ADVERTISEMENT
Para peneliti kesehatan dalam dan luar negeri turut menyoroti kesiapan Indonesia menangani wabah yang ditetapkan WHO sebagai pandemi ini. Prakiraan ambruknya fasilitas kesehatan (faskes) pun mencuat kala pemerintah hanya berfokus untuk menekankan upaya kuratif (penyembuhan) ketimbang antisipatif.
“Membangun rumah sakit darurat, membeli APD (alat pelindung diri), membeli obat yang belum ketahuan efektivitasnya, itu upaya kuratif. Sementara peningkatan kesadaran masyarakat atas COVID-19 sangat terbatas," ungkap Peneliti epidemiologi klinis FKUI-RSCM, dokter Tifauzia Tyassuma, kepada kumparan, Rabu (25/3). "Kalau begitu terus, faskes bisa ambruk pada kasus ke-1.000. Saya perkirakan paling lambat 10 hari dari sekarang."
Tim medis melakukan penanganan terhadap seorang pasien saat simulasi penanganan pasien virus Corona di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali. Foto: Antara/Fikri Yusuf
Hingga Kamis (26/3), pemerintah melaporkan bahwa kasus positif virus corona di Indonesia telah mencapai 893 orang. Menurut estimasi dari Center for Mathematical Modelling of Infectious Diseases yang berbasis di London, Inggris, jumlah itu hanya 2 persen dari total kasus yang berhasil dikonfirmasi.
ADVERTISEMENT
Di tengah ketidakpastian keputusan, pemerintah mesti belajar pada kecepatan pengambilan keputusan seperti yang dilakukan oleh China dan Korea Selatan. Keputusan cepat dari kedua negara tersebut tak hanya berhasil menekan penyebaran virus corona, tetapi juga menyelamatkan nyawa warga negara mereka dari kematian yang dapat dicegah.

China: lockdown total terbukti hapus penyebaran lokal

China menjadi negara pertama yang terpukul virus corona dan sempat kerepotan untuk menanganinya beberapa bulan lalu. Meski demikian, Negeri Tirai Bambu itu akhirnya dapat menekan persebaran virus corona sampai akhirnya mengumumkan bahwa mereka tak lagi memiliki penularan lokal pada 19 Maret 2020.
Menurut laporan The Washington Post, protokol lockdown secara ekstrim yang dilakukan oleh pemerintah China merupakan kunci sukses mereka dalam menekan persebaran kasus. Lockdown yang dilakukan pemerintah China di Wuhan dan provinsi Hubei merupakan salah satu isolasi total yang belum pernah terjadi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Lockdown ini mengakibatkan warga mesti tetap berada di rumahnya, transportasi umum dihentikan, hingga bisnis ditutup. Sebagai catatan, lockdown ini tak berlangsung hanya dalam beberapa hari atau beberapa minggu, tetapi selama dua bulan lebih.
"Ada alasan ilmiah untuk mendukung langkah-langkah seperti itu (lockdown)," kata Antoine Flahault, kepala unit epidemiologi populasi di Rumah Sakit Universitas Jenewa di Swiss, seperti dilaporkan oleh Wired. "Langkah-langkah serupa (lockdown) diterapkan pada awal abad kedua puluh, pada 1918 untuk Flu Spanyol, dengan bukti keberhasilan ketika diterapkan cukup awal dan cukup lama,” sambungnya.
Sebuah penelitian dari University of Southampton di Inggris mendukung anggapan tersebut. Menurut tim peneliti, jika intervensi pemerintah China dalam melakukan lockdown tiga minggu lebih cepat, penyebaran virus corona bisa berkurang hingga 95 persen.
ADVERTISEMENT
"Dari sudut pandang ilmiah, menempatkan kombinasi intervensi sedini mungkin adalah cara terbaik untuk memperlambat penyebaran dan mengurangi ukuran wabah," kata Andrew Tatem, seorang profesor di University of Southampton, dikutip dari The Guardian.
Terbaru, pada Kamis (26/3) Provinsi Hubei akhirnya kembali dibuka setelah lockdown. Keputusan diambil usai tak ditemukan lagi kasus penularan lokal.
Meski demikian, ada trade-off dalam protokol lockdown milik China. Menurut The New York Times dan Business Insider, pemerintah China punya campur tangan yang begitu besar untuk menekan kasus penularan.
Aktivitas pasien dengan gelaja virus corona atau COVID-19 yang beristirahat di rumah sakit darurat stadion olahraga Wuhan, Hubei, China. Foto: AFP/STR
Akibatnya, orang yang melanggar protokol kesehatan bakal diinvestigasi oleh pihak berwajib hingga dijatuhi hukuman. Sejumlah akademisi, jurnalis, dan dokter di China juga melaporkan bahwa mereka dibungkam setelah berbagi informasi penting tentang wabah virus corona tanpa persetujuan dari pemerintah China.
ADVERTISEMENT
"Langkah-langkah kejam ini tampaknya berhasil menurunkan kasus-kasus (virus corona) dalam waktu yang sangat singkat di China," Yanzhong Huang, senior fellow for global health dari lembaga think tank Council on Foreign Relations (CFR). "Saya percaya bahwa penting untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara perlindungan maksimum dan gangguan minimum terhadap kehidupan."

Korea Selatan: cepat lakukan tes secara masif

Korea Selatan bisa jadi contoh lain bagaimana suatu negara dapat menekan persebaran virus corona. Negeri Gingseng tersebut melakukannya dengan lebih demokratis, di mana mereka sama sekali tidak menerapkan protokol lockdown maupun intervensi negara yang terlampau besar.
Korea Selatan sendiri sempat bersusah payah dalam menangani penyebaran virus corona. Pada 29 Februari 2020, negara tersebut bahkan mencatat 909 kasus baru dalam sehari, hampir sembilan kali lebih besar ketimbang 104 kasus baru pada 26 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Korea Selatan dilaporkan dapat menekan laju infeksi virus corona melalui tindakan cepat, pengujian luas dan pelacakan kontak, dan dukungan kritis dari warga. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan kemudian mendapat pujian dari Director General WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 18 Maret lalu.
"Sebulan yang lalu, Republik Korea dihadapkan dengan percepatan transmisi di dalam komunitas mereka. Tapi mereka tidak menyerah. Mereka mendidik, memberdayakan, dan melibatkan masyarakat," kata Ghebreyesus. "Mereka mengembangkan strategi pengujian yang inovatif dan memperluas kapasitas lab. Mereka menjatah penggunaan masker. Mereka melakukan pelacakan dan pengujian di daerah tertentu. Dan mereka mengisolasi kasus yang diduga dalam fasilitas yang ditunjuk ketimbang di rumah sakit atau di rumah."
Pujian yang disampaikan WHO kepada Korea Selatan memang tidak berlebihan. Pemerintah negara tersebut memang bekerja dengan cepat untuk memastikan wabah virus corona tak berubah menjadi krisis bagi warga negaranya.
ADVERTISEMENT
Sepekan setelah laporan pertama kasus virus corona di Korea Selatan, pemerintah negara itu langsung menemui perwakilan sejumlah perusahaan medis untuk membuat test kit secara masif. Dua minggu berikutnya, ribuan test kit berhasil didistribusikan per harinya. Saat ini, mereka berhasil memproduksi 100.000 test kit dalam sehari.
Petugas kesehatan menggunakan pakaian pelindung memeriksa kendaraan di pusat pengujian drive-through, Seoul, Korea Selatan. Foto: AFP/ Ed JONES
Korea Selatan sendiri telah menguji 364.942 orang terkait virus corona per Kamis (26/3). Dengan populasi sebesar 51,2 juta jiwa, Korea Selatan telah menguji lebih dari 7.127 orang per 1 juta penduduk.
Angka ini jauh lebih besar ketimbang apa yang sudah dilakukan Indonesia. Menurut laporan terakhir dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Indonesia baru menguji 3.518 orang terkait virus corona. Dengan populasi 267 juta jiwa, maka Indonesia baru memeriksa 13,17 orang per 1 juta penduduk.
ADVERTISEMENT
"Pengujian itu sentral karena menuntun kepada deteksi dini, itu dapat meminimalisir persebaran lebih lanjut dan dapat merawat lebih cepat bagi mereka yang memiliki virus," ungkap Kang Kyung-wha, Menteri Luar Negeri Korea Selatan, kepada BBC. "Itu (pengujian cepat) merupakan kunci dari betapa kecilnya tingkat kematian (akibat virus corona) kami."
Korea Selatan sendiri baru mencatat 131 kematian dari 9.241 kasus virus corona per Kamis (26/3). Dengan demikian, tingkat kematian akibat virus corona dan COVID-19 di negara tersebut hanya 1,41 persen. Jumlah tersebut jauh lebih kecil ketimbang tingkat kematian virus corona di Indonesia yang berada pada angka 8,73 persen pada hari yang sama, dengan 78 kematian dari 893 kasus.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
ADVERTISEMENT