Informasi Virus Corona di Indonesia Tidak Transparan: Data Pusat dan Daerah Beda

13 April 2020 18:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas Ambulans RSUD Kota Depok berdiri di depan ruang isolasi RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Selasa (3/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Ambulans RSUD Kota Depok berdiri di depan ruang isolasi RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Selasa (3/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penilaian Human Rights Watch (HRW), Pemerintah Indonesia gagal memberikan transparansi dan akses informasi untuk memerangi wabah virus corona. Ketidaksesuaian data dan statistik antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi pun dianggap sebagai masalah utamanya.
ADVERTISEMENT
Pejabat terkait di Indonesia sebetulnya mengakui laporan pemerintah tentang kasus COVID-19 kurang memadai. Sebagaimana diungkapkan pada 5 April 2020 oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, data dari pemerintah pusat tidak sesuai dengan angka-angka yang dilaporkan oleh pemerintah provinsi. Selain itu, informasi dari Kementerian Kesehatan juga masih terbatas.
“Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan pengujian untuk mengetahui tingkat jangkauan sebenarnya dari pandemi virus corona di negara ini,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di HRW. "Pihak berwenang juga harus menjunjung tinggi hak atas informasi dan memberikan statistik yang akurat kepada publik."
Belum jelas berapa jumlah orang yang telah terpapar COVID-19 di Indonesia pada saat ini. Pada 7 April 2020, Kementerian Kesehatan mengumumkan ada 2.491 kasus positif dengan 209 kematian dan bahwa sebanyak 13.186 orang telah diuji sejak 30 Desember, termasuk para awak kapal pesiar World Dream dan Diamond Princess.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (kiri) meninjau proses pemakaman pasien COVID-19 di TPU Cikadut, Kota Bandung, Rabu (8/4). Foto: Humas Jabar/Pipin
Namun, pada 6 April, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa 639 orang telah dimakamkan dengan protokol COVID-19. Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak orang terduga positif virus corona yang telah meninggal tanpa sempat diuji.
ADVERTISEMENT
Sementara Indonesia juga kesulitan menangani kurangnya APD (Alat Pelindung Diri), sehingga banyak pekerja medis mesti menggunakan alternatif lain, salah satunya jas hujan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan, ada 31 pekerja medis, termasuk 20 dokter dan 4 perawat, telah meninggal sejauh ini akibat COVID-19. Rumah sakit umum di Indonesia juga kekurangan daya, dengan hanya 661 unit perawatan intensif, dan hanya setengahnya yang memiliki ventilator.
HRW menilai, Pemerintah Indonesia pada awalnya cenderung meremehkan pandemi COVID-19. Pada Februari 2020, Menteri Kesehatan Terawan Putranto menolak saran perhitungan dari Universitas Harvard yang mempertanyakan klaim "tidak ada kasus COVID-19 di Indonesia". Terawan justru menegaskan imbauan tentang pentingnya "berdoa" demi mencegah virus.
Di sisi lain, HRW pun mempertanyakan sikap pihak berwenang di Indonesia yang secara tidak tepat telah menggunakan hukum pidana penyebaran berita bohong dan undang-undang pencemaran nama baik untuk menindak individu terkait informasi virus corona dan respons pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, ada 51 orang telah didakwa karena diduga menyebarkan "berita palsu" tentang virus corona di Indonesia, dengan 38 akun media sosial telah diblokir. Sementara seorang pria di Buleleng, Bali, ditangkap setelah memprotes kebijakan lockdown lokal dan menghina pemerintah.
Menurut HRW, pemerintah seharusnya melawan informasi tidak akurat dengan posting semua informasi terkait COVID-19 secara online, atau membuat klarifikasi di media massa dengan memberikan informasi yang jelas, teratur, dan faktual tentang virus corona dan penularannya.
Fokus utama pemerintah adalah untuk memperbaiki kesesuaian data terkait COVID-19 antara pusat dan provinsi. Di bawah hukum internasional hak asasi manusia, Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak warganya atas kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dalam segala jenis.
ADVERTISEMENT
"Para pemimpin Indonesia tidak seharusnya membiarkan virus corona untuk menjadi dalih tindakan keras polisi terhadap kebebasan berekspresi," lanjut Harsono. “Sangat menyedihkan bahwa selama krisis nasional, pihak berwenang Indonesia tampaknya lebih tertarik membungkam kritik online daripada melakukan kampanye masif informasi publik (terkait) COVID-19.”
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!