Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ini 5 Pandemi Terburuk Sebelum Covid, Bagaimana Semuanya Berakhir?
27 Juli 2021 8:31 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Seiring berkembangnya peradaban manusia, demikian pula dengan penyakit menular. Terlebih manusia hidup berdampingan dengan hewan, dan seringkali berhadapan dengan sanitasi maupun nutrisi yang buruk. Ini tentu menjadi tempat subur bagi penyakit.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum pandemi COVID-19 , sejumlah pandemi buruk pernah menghampiri dunia dan merenggut banyak nyawa. Lantas bagaimana pandemi itu selesai? Berikut catatan sejarahnya.
Wabah Justinian
Wabah Justinian (Plague of Justinian) merupakan pandemi pertama yang dikenal dunia, sekaligus tiga dari pandemi mematikan dalam sejarah yang tercatat disebabkan oleh satu bakteri yaitu Yersinia pestis. Wabah Justinian menginvasi Konstatinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium, dan tersebar pada 541 Masehi.
Nama wabah diambil dari kaisar Bizantium, Justinian I, yang memerintah pada 527-565 Masehi. Ia dipercaya banyak sejarawan juga tertular penyakit tersebut dan sembuh pada 542 Masehi.
Bakteri Yersinia pestis dibawa oleh kutu yang menempel pada tikus-tikus hitam yang berkeliaran di kapal, berlayar dari Mesir melalui Laut Mediterania. Wabah ini menghancurkan Konstantinopel -- kini menjadi Kota Istanbul, Turki, dan menyebar cepat seperti api ke seluruh Eropa, Asia, Afrika Utara, dan Arab.
Wabah Justinian diperkirakan menewaskan sekitar 30 hingga 50 juta orang, sekitar setengah dari populasi dunia waktu itu. Soal bagaimana pandemi ini bisa berakhir, profesor sejarah di Universitas DePaul Chichago, Thomas Mockaitis, punya hipotesis sendiri.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk melawannya selain mencoba menghindari orang sakit,” kata Mockaitis, dilansir History. "Mengenai bagaimana wabah itu berakhir, tebakan terbaik adalah mayoritas orang bertahan hidup saat pandemi, selamat karena kekebalan."
Black Death
800 tahun setelah Wabah Justinian, pandemi berikutnya melanda Eropa pada 1347. Dikenal dengan Maut Hitam (Black Death), ia diperkirakan merenggut hingga 200 juta nyawa hanya dalam empat tahun.
Menurut Mockaitis, meskipun memiliki pengetahuan yang minim untuk menghentikan wabah, masyarakat kala itu tahu wabah ini berkaitan dengan kedekatan antar-manusia. Itu sebabnya pemerintah kota pelabuhan Ragusa di Italia melakukan karantina pada pelaut yang baru tiba sampai dapat dibuktikan bahwa mereka tidak sakit.
Pada awalnya, pelaut ditahan di kapal mereka selama 30 hari. Ini dikenal dalam hukum Venesia sebagai trentino. Seiring berjalannya waktu, masa isolasi bertambah menjadi 40 hari yang dikenal quarantine, asal mula kata karantina.
Wabah Besar London
Inggris, terutama kota London, hampir tak pernah bisa bebas lama dari Black Death. Wabah itu selalu muncul sekitar setiap 10 tahun, dari 1348 hingga 1665.
ADVERTISEMENT
Sekitar 40 wabah terjadi hanya dalam waktu 300 tahun. Setiap epidemi baru muncul, 20 persen pria, wanita, dan anak-anak warga Inggris di kota tersebut meninggal dunia.
Hingga pada awal 1500-an, Inggris memberlakukan peraturan untuk memisahkan dan mengisolasi orang sakit. Rumah-rumah yang dilanda wabah ditandai dengan setumpuk jerami yang digantung di tiang luar rumah. Dan bagi mereka yang memiliki anggota keluarga yang terinfeksi, mereka harus membawa tiang putih ketika pergi ke tempat umum sebagai penanda.
Wabah yang datang bertubi-tubi, peristiwa yang kemudian dikenal dunia sebagai Wabah Besar London (The Great Plague of London), berakhir pada 1665. Ia merupakan salah satu wabah terburuk karena menewaskan 100.000 warga London hanya dalam waktu tujuh bulan.
Semua hiburan publik dilarang dan para korban dikurung secara paksa di rumah mereka untuk mencegah penyebaran penyakit. Mereka yang ditewaskan dimakamkan secara massal. Salib merah dicat di pintu mereka bersama dengan permohonan pengampunan bertuliskan: "Tuhan kasihanilah kami." Begitulah wabah ini berakhir.
ADVERTISEMENT
Cacar Air
Selama berabad-abad, cacar air melanda Eropa, Asia, dan negara-negara Arab. Penyakit ini menjadi ancaman karena telah menewaskan tiga dari sepuluh orang yang terinfeksi dan meninggalkan bekas luka cukup parah di kulit.
Virus cacar ini kemudian menjadi petaka di 'Dunia Baru', sebutan untuk benua Amerika pada masa lampau, ketika ditularkan oleh penjelajah Eropa ke warga lokal pada abad ke-15. Penduduk asli Meksiko dan Amerika Serikat kala itu tidak memiliki kekebalan alami terhadap cacar dan virus ini, sehingga puluhan juta orang terbunuh.
“Belum ada pembunuhan dalam sejarah manusia yang menandingi apa yang terjadi di Amerika—90 hingga 95 persen penduduk asli musnah selama lebih dari satu abad,” ujar Mockaitis. “Meksiko berubah dari 11 juta orang menjadi satu juta,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Berabad-abad kemudian, cacar menjadi epidemi virus pertama yang diakhiri dengan vaksin.
Pada akhir abad ke-18, dokter Inggris bernama Edward Jenner menemukan bahwa pemerah susu yang terinfeksi virus cacar sapi tampak kebal terhadap cacar. Ia lantas melakukan inokulasi (sebuah prosedur pemasukan bakteri atau virus ke dalam tubuh melalui luka atau alat yang digoreskan pada kulit dan tidak selalu menimbulkan infeksi) terhadap anak tukang kebunnya berusia 8 tahun dengan cacar sapi dan kemudian mengeksposnya ke virus cacar air tanpa efek buruk.
Eksperimen yang dilakukan Jenner pada 1801 itu sukses. Butuh waktu hampir dua abad lagi untuk mengembangkan vaksin cacar air, hingga akhirnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan cacar air di dunia telah sepenuhnya musnah pada 1980-an.
ADVERTISEMENT
Kolera
Snow kemudian bertindak seperti Sherlock Holmes -- ia menyelidiki catatan rumah sakit dan laporan kamar mayat untuk melacak lokasi awal wabah ini dimulai. Semua bukti-bukti yang ia kumpulkan mengarahkan ke sekitar pompa air Broad Street, sumur kota yang populer digunakan sebagai air minum.
Dengan usaha yang gigih, Snow meyakinkan pejabat setempat untuk melepaskan pegangan pompa di sumur minum Broad Street untuk membuatnya tidak dapat digunakan.
ADVERTISEMENT
Secara mengejutkan, infeksi mengering. Meskipun pekerjaan Snow tidak menyembuhkan kolera dalam semalam, kejadian ini menjadi acuan banyak pihak untuk meningkatkan sanitasi perkotaan dan melindungi air minum dari kontaminasi.
Saat ini, kolera di sebagian besar telah diberantas di negara-negara maju. Namun di negara-negara dunia ketiga, kolera masih menjadi momok karena terbatasnya pengolahan limbah yang memadai dan akses ke air minum bersih.