Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pada akhir Mei 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghentikan sementara penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai obat untuk pasien COVID-19. Kemudian, giliran Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (National Institutes of Health/NIH) yang resmi menghentikan uji klinis obat malaria hidroksiklorokuin untuk perawatan pasien virus corona pada 19 Juni.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, hingga saat ini Indonesia masih menggunakan kedua obat tersebut. Hal itu dilakukan karena studi klinis obat klorokuin dan hidroksiklorokuin di Indonesia masih terus berjalan dan ada beberapa faktor lain yang menjadi alasan kenapa kedua obat itu masih digunakan.
Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sekaligus ketua umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), menjelaskan hingga saat ini penggunaan klorokuin maupun hidroksiklorokuin di Indonesia masih terpantau aman selama praktik di rumah sakit mengikuti petunjuk buku Pedoman Tatalaksana COVID-19.
“Perhimpunan telah melakukan kajian obat sejak awal Juni lalu, kami sudah mengeluarkan surat resmi kepada Kemenkes dan Gugus Tugas, serta hasil evaluasi awal menunjukkan bahwa klorokuin maupun hidroksiklorokuin masih cukup aman digunakan pada populasi di Indonesia. Karena terlihat dari data awal efek samping obat ini ringan dan tidak meningkatkan risiko kematian,” papar Agus, dalam konferensi virtual, Senin (29/6).
ADVERTISEMENT
Selain itu, kata Agus, data awal yang dikeluarkan PDPI juga menunjukkan bahwa klorokuin dan hidroksiklorokuin dapat menurunkan mortalitas kematian pasien COVID-19 , di mana pasien yang tidak menggunakan klorokuin dan hidroksiklorokuin cenderung lebih berisiko meninggal dunia ketimbang mereka yang menggunakannya.
Ini artinya, baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin tidak menimbulkan risiko kematian. Obat ini justru berdampak positif dalam penyembuhan dengan mempersingkat perawatan pasien corona.
Walau begitu, tidak semua pasien bisa menggunakan hidroksiklorokuin. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, obat ini hanya diberikan kepada orang dewasa dengan usia di bawah 50 tahun. Kedua, tidak memiliki masalah jantung. Ini tak lain karena hidroksiklorokuin punya efek negatif pada jantung.
Ketiga, hidroksiklorokuin hanya diberikan kepada anak dengan kasus berat dan krisis atau dalam pemantauan ketat. Keempat, harus dilakukan pada pasien rawat inap, tidak boleh pasien rawat jalan. “Jadi, orang-orang yang diisolasi mandiri itu tidak bisa diberikan klorokuin maupun hidroksiklorokuin karena harus ada di bawah pemantauan yang ketat,” ujar Agus.
ADVERTISEMENT
Terakhir, jika terjadi efek samping selama pemberian obat, penggunaan harus segera dihentikan. Obat klorokuin dan hidroksiklorokuin bisa diberikan pada pasien ringan, sedang, hingga berat, tapi tidak dengan pasien COVID-19 tanpa gejala atau asimtomatik.
Meski uji coba awal klorokuin dan hidroksiklorokuin menunjukkan hasil positif, Agus menegaskan, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kedua obat benar-benar efektif untuk pasien corona. “Kalau riset itu nanti selesai, nanti kita tunggu hasil-hasilnya. Kalau ternyata memang hasilnya tidak efektif, tentu kami akan menghentikannya,” katanya.