Ini Audun Amundsen, Insinyur Norwegia yang Hidup di Pedalaman Indonesia

30 Desember 2020 8:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Audun Amundsen (kiri) bersama salah satu anggota Suku Mentawai.  Foto: newtopiafilm/Audun Amundsen
zoom-in-whitePerbesar
Audun Amundsen (kiri) bersama salah satu anggota Suku Mentawai. Foto: newtopiafilm/Audun Amundsen
ADVERTISEMENT
Setiap orang punya pilihan hidupnya masing-masing. Kalimat itulah yang mungkin bakal terlintas di benak kita ketika mendengar cerita seorang warga Norwegia lulusan insinyur yang justru memilih hidup di pedalaman hutan belantara ketimbang menikmati harta di negaranya.
ADVERTISEMENT
Audun Amundsen (40) menunjukkan kepada semua orang bagaimana ia keluar dari zona nyaman, dari kehidupan modern dan pergi untuk tinggal bersama salah satu suku pedalaman di Indonesia. Ia bertahan hidup dengan cara berburu monyet dan kelelawar untuk dimakan.
Kisahnya dimulai pada tahun 2004, ketika Amundsen pertama kali tinggal dengan Suku Mentawai di Pulau Siberut, lepas pantai paling barat Indonesia ketika dirinya masih berusia 24 tahun.
Sebelum pergi ke Indonesia, awalnya Amundsen tinggal nyaman di sebuah apartemen di kota Trondheim, Norwegia. Memiliki gaji tinggi sebagai seorang insinyur yang bekerja di pertambangan minyak di lepas pantai Skotlandia.
Entah apa alasannya, Amundsen memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan memilih untuk pergi dari negaranya. Pertama menuju India dan Nepal, kemudian ke Indonesia untuk mencari udara panas setelah tinggal cukup lama di iklim dingin Himalaya.
ADVERTISEMENT
Setelah tiba di Indonesia, tepatnya di Sumatera Barat, ia memilih pergi ke pedalaman hutan yang ia sebut sebagai ‘keluar dari jalur dan pergi sejauh mungkin dari budaya saya sendiri’.
“Saya mendengar bahwa orang-orang tradisional ini tinggal di hutan di Pulau Siberut dan saya seperti ‘wow, itu sangat menarik. Saya ingin melihatnya’,” kata Amundsen sebagaimana dikutip The Sun.
Tidak mudah untuk pergi ke Pulau Siberut, pasalnya Amundsen harus meyakinkan pemilik perahu kayu lusuh agar mau mengantarkan dirinya ke tempat tujuan. Perjalanan menuju lokasi juga tidak sebentar, ia harus menempuh waktu perjalanan selama 12 jam untuk sampai di tempat Suku Mentawai berada.
“Ketika saya sampai di sana, orang di sana berjalan ke arah saya dan itu adalah momen yang sangat langka. Untung dia tersenyum dan kami tidak bisa berkomunikasi terlalu banyak, tapi kami menjadi teman,” katanya.
ADVERTISEMENT
Orang yang ditemui Amundsen adalah Aman Paksa, seorang dukun dan anggota suku Mentawai. Mentawai sendiri adalah salah satu suku tertua di Indonesia dan memiliki populasi sekitar 64.000 orang, menjadi yang terbesar di antara pulau yang ada di lepas Sumatera Barat.
“Karena dia menyukaiku, kami membuat kesepakatan agar aku tinggal selama beberapa minggu,” kata Amundsen.
Sebagai imbalan atas kebaikan dan keramahan suku Mentawai karena sudah membiarkan dia hidup bersama mereka, Amundsen membantu tugas sehari-hari, termasuk berburu monyet, burung, dan membuat peralatan seperti kano, panah, serta keranjang.
Suku Mentawai yang sedang melakukan Tari Sikerei Foto: Wikimedia Commons
Amundsen tinggal selama satu bulan dan menguasai beberapa kosa kata orang-orang Mentawai. Pada 2009, ia kembali bergabung dengan suku Mentawai dengan membawa peralatan yang lebih banyak, seperti kamera dan obat-obatan untuk tinggal lebih lama dan mendokumentasikan waktunya bersama mereka di belantara hutan.
ADVERTISEMENT
Pengalaman itu didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter berjudul Newtopia. “Saya belajar bagaimana menjadi dan mengikuti ritme alam,” katanya.
Selama hidup dengan suku Mentawai, Amundsen mengalami berbagai pengalaman berharga. Matanya pernah terinfeksi oleh kotoran sehingga membuat hidupnya cukup kesulitan. Ia juga menyaksikan bagaimana dunia luar mulai menyusup ke ranah hidup suku Mentawai, termasuk semakin banyak ditemukan plastik dan pakaian modern.
Suku Mentawai juga mulai mampu membangun panel Surya untuk mengisi daya kameranya dan mengaliri listrik ke rumah Aman Paksa. “Saya pikir pada akhirnya kita akan menemukan keseimbangan antara alam dan modernitas. Tapi sayangnya, saya menduga banyak spesies dan ekosistem akan musnah di mana kita adalah penyebabnya,” katanya.
***
ADVERTISEMENT
Saksikan video menarik di bawah ini.