Ini Bukti Data Kasus Corona Masuk Indonesia Sejak Akhir Januari 2020

22 April 2020 7:02 WIB
comment
68
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas membersihkan salah satu bagian kereta di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (4/3).  Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Petugas membersihkan salah satu bagian kereta di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (4/3). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, ahli epidemiologi Universitas Indonesia, dr Pandu Riono mengatakan, virus corona sejatinya telah masuk ke Indonesia sejak akhir Januari 2020, bukan Maret sebagaimana diumumkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Dari data laporan pelayanan kesehatan masyarakat, itu sudah terjadi kenaikan orang dengan gejala kasus COVID-19 seperti demam, batuk, dan sesak napas. Data kasusnya melonjak (sejak Januari), dan kemudian baru Maret ada laporan yang 3 orang positif COVID-19,” ujar Pandu ketika dikonfirmasi kumparanSAINS pada Senin (20/4).
Pernyataannya itu mengacu pada hasil analisis data surveillance milik Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sehingga tidak ada alasan bahwa spekulasi ini tak sampai ke pemerintah.
"Jadi bukan data dari saya. Data itu sudah melaporkan, sudah menemukan kasus-kasus. Mereka (Kemenkes) sudah tahu kok," ujarnya.
Bukti ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan) suspect COVID-19 telah ada di Indonesia sejak akhir Januari 2020 bisa dilihat dari gambar di bawah ini:
Data suspect COVID-9 Jakarta per 20 Januari 2020 (sebelah kiri) berdasarkan catatan Dinkes DKI Jakarta. Foto: Dok. FKM UI
Data ini pula yang kemudian dijadikan acuan untuk melakukan riset skenario penyebaran COVID-19 di Indonesia. Pandu memang diminta langsung oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk melakukan riset tersebut, dan Bappenas lah yang membantunya untuk mendapatkan data suspect COVID-19 dari Dinkes DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam riset berjudul “COVID-19 Modelling Scenarios Indonesia”, Pandu bersama tiga rekannya dari Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia: Iwan Ariawan, Muhammad N Farid, dan Hafizah Jusril, merancang skenario pemodelan berdasarkan perhitungan yang mencakup jumlah populasi orang dewasa; tingkat reproduksi dasar (basic reproduction rate) bahwa setiap pasien positif COVID-19 minimal menginfeksi dua orang lainnya; jumlah pasien (case rate) yang memerlukan perawatan di rumah sakit; dan waktu penggandaan kasus, yakni 4 hari.
Adapun Indikator yang digunakan adalah total jumlah penduduk Indonesia sebesar 268 juta jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut, 52,9 persen populasi tinggal di wilayah urban; 14,8 persen tinggal di rumah kurang dari 8 meter persegi; angka terjadinya pneumonia 1,3 per 1.000 orang; 28,2 persen penduduk bepergian; 50,2 persen mencuci tangan dengan cara tidak benar.
Petugas Ambulans RSUD Kota Depok membawa pasien yang diduga terkena virus Corona di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Selasa (3/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sedangkan indikator yang juga masuk dalam pertimbangan adalah provinsi yang sudah teridentifikasi adanya kasus positif COVID-19, dan beberapa kota di Indonesia yang memiliki penerbangan langsung dari dan ke Wuhan, termasuk Medan, Batam, Jakarta, Denpasar, Manado, dan Makassar.
ADVERTISEMENT
Mereka kemudian mengestimasikan penyebaran virus corona dalam 4 skenario pemodelan, yang masing-masing skenario mempunyai implikasi jumlah kasus yang berbeda, tergantung pada intervensi apa yang diterapkan oleh pemerintah, berikut skenarionya:
Dalam skenario terburuk dengan titik pusat awal penyebaran berada di DKI Jakarta, hasil pemodelan menunjukkan bahwa jumlah kasus virus corona di Indonesia bisa mencapai 2,5 juta orang jika pemerintah tidak melakukan intervensi, dan 1,7 juta orang jika pemerintah melakukan intervensi rendah.
Prediksi jumlah kasus kumulatif COVID-19 di Indonesia. Foto: Dok. FKM UI
Sedangkan untuk intervensi moderat, jumlah kasus diperkirakan mencapai 1,2 juta orang yang terpapar virus corona. Sementara jika pemerintah menerapkan intervensi tinggi, maka kasus virus corona bisa ditekan lebih signifikan hingga 500 ribu orang terinfeksi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Tim lantas memberikan beberapa contoh kasus di mana negara melakukan intervensi tinggi untuk menekan laju penyebaran virus. China, misalnya, sejak intervensi dilakukan pada 22 Januari, kasus COVID-19 yang terkonfirmasi mulai mengalami penurunan dalam kurun waktu 2 minggu.
Data intervensi yang dilakukan pemerintah China untuk menekan angka penyebaran virus corona. Foto: Dok. FKM UI
Adapun intervensi yang dilakukan China mencakup deteksi kasus, seperti screening demam dan tes cepat di tempat kerja, sekolah, terminal/stasiun, dan faskes; kemudian isolasi semua kasus dan suspect, bersifat wajib; serta social distancing dengan cara implementasi ketat, karantina rumah, dan pembatasan perjalanan domestik.
Sedangkan Italia lebih ketat lagi ketimbang China. Mereka melakukan lockdown terbesar sepanjang sejarah Eropa. Peraturan mencakup larangan pergerakan publik, pembatasan semua kumpulan massa, penutupan dan penundaan semua kegiatan publik, seperti event olahraga, sekolah, bisnis komersial, event sosial, taman dan area rekreasi, dan industri ekonomi.
Data intervensi yang dilakukan pemerintah Italia untuk menekan angka penyebaran virus corona. Foto: Dok. FKM UI
Sejak intervensi diterapkan per 8 Maret 2020, jumlah kasus virus corona di Italia menurun dengan cukup signifikan dalam waktu 2 minggu, kendati sebelumnya ada peningkatan yang cukup tajam, atau disebut dengan puncak pandemi.
ADVERTISEMENT
Di akhir penelitian, tim merekomendasikan beberapa kebijakan yang bisa diambil pemerintah untuk menekan angka kasus virus corona di Indonesia. Beberapa kebijakan tersebut adalah:
Semua itu bisa dilakukan jika pemerintah benar-benar ingin mengakhiri wabah virus corona secara total.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Indonesia memilih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran COVID-19 dengan cara membatasi jam operasional transportasi umum dan meliburkan sejumlah kegiatan kelembagaan, bukan lockdown seperti Italia dan China. Soal PSBB ini, ada catatan dari Pandu.
PSBB yang mulai diterapkan di Jakarta dan beberapa daerah Jawa Barat, khususnya Bodetabek, dinilainya masih setengah-setengah. Jakarta pada Senin (20/4) lalu, misalnya, masih dipenuhi dengan kendaraan di beberapa titik jalan raya. Kondisi ini tidak akan bisa memutus penularan virus corona. Itu sebabnya ia meminta penerapan PSBB harus dilakukan secara nasional, tak lagi per wilayah atau daerah.
“Itu aturannya salah. Itu undang-undang karantina di-copy paste aja ke PP PSBB, ya gak pas lah. Peraturan karantina wilayah kan buat penyakit umum. Ini COVID-19, jadi aturannya pun mesti khusus. COVID-19 gak kenal batas wilayah, enggak kenal batas geografi. Jadi PSBB harusnya nasional.”
ADVERTISEMENT
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.