Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Lagi, kerusuhan terjadi di dunia persepakbolaan Indonesia. Kini kerusuhan terjadi dalam pertandingan antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10) yang berujung tragedi.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 174 orang meninggal dunia, menurut Wagub Jatim Emil Dardak, dan ratusan lainnya luka-luka. Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta mengatakan, kebanyakan korban tewas akibat sesak dan berimpit-impitan di stadion. Ini terjadi saat suasana di stadion chaos sehingga membuat polisi terpaksa menembakkan gas air mata.
Tragedi berdarah di dunia sepak bola Indonesia nyatanya bukan kali ini terjadi. Rivalitas suporter yang dibawa ke jalanan sering menimbulkan gesekan antar pendukung. Dan tak jarang menimbulkan korban jiwa.
Yang jadi pertanyaan, kenapa suporter sepak bola Indonesia itu identik dengan kerusuhan? Menurut Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Drs. Koentjoro, tindakan anarkis maupun vandalisme yang dilakukan oleh suporter sepak bola terjadi karena dipengaruhi oleh jiwa massa.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, seseorang atau individu akan bersikap berbeda saat berada di tengah massa atau gerombolan. Massa dalam jumlah besar dapat mendorong munculnya perilaku atau tindakan yang tidak akan dilakukan saat sedang sendiri.
Tak hanya pada suporter bola, hal itu juga terjadi pada kerumunan massa lainnya seperti kampanye maupun demo. Misalnya, di tengah demo atau kampanye ada pemimpin yang meneriakkan kata-kata atau gerakan tertentu yang bisa memicu orang lain untuk mengikutinya. Orang sering kehilangan kesadaran saat sudah berkumpul karena terhipnotis lingkungan di sekitarnya.
Guna mencegah kericuhan massa, dibutuhkan upaya pengendalian massa. Pengengendalian massa bisa dilakukan dengan memecah massa dalam kelompok-kelompok lebih kecil agar jiwa massa tidak terlalu solid.
“Penting memecah massa agar massa tidak terkonsentrasi menjadi satu,” kata Prof. Koentjoro sebagaimana dikutip di situs resmi UGM.
Lebih lanjut ia mengatakan, aparat keamanan dapat membuat pengaturan waktu kepulangan suporter dalam beberapa kloter. Mengatur rute juga berguna untuk memecah kerumunan.
ADVERTISEMENT
“Kalau jiwa sudah dikendalikan, massa itu kan susah apalagi kalau ada penyusup dengan tujuan tertentu seperti adu domba atau pun buat konten biar viral. Ini kan mengerikan. Jadi untuk mencegah kerusuhan perlu memecah konsentrasi massa baik lewat pengaturan waktu ataupun rute,” pungkasnya.
Jadi, untuk para suporter sepak bola Indonesia, hati-hati dengan provokator di mana pun kalian berada. Karena merekalah biang keladi kerusuhan. Semoga kita bisa menjadi lebih dewasa demi kemajuan dunia olahraga Indonesia di masa depan, terutama sepak bola yang digandrungi banyak orang.
Tragedi di Kanjuruhan
Soal tragedi di Stadion Kanjuruhan, kericuhan sebaiknya tidak hanya dilihat dari sisi suporter saja. Penanganan keamanan dari pihak polisi juga patut diperhatikan, mengingat ada penggunaan gas air mata yang dilarang dalam regulasi FIFA.
ADVERTISEMENT
Kemudian dari sisi PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) yang menolak usulan kick-off pertandingan Arema vs Persebaya untuk dimajukan pada sore hari pukul 15.30 WIB, meski sudah disurati oleh Polres Malang. Pertandingan malam hari dinilai kurang ideal dari segi keamanan suporter.
Panitia pelaksana juga perlu disorot, karena mencetak tiket melebihi kapasitas stadion markas Arema FC. Mereka tercatat mencetak 42 ribu tiket, padahal Stadion Kanjuruhan hanya menampung 38 ribu orang penonton.