Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Angin puting beliung yang menghantam sejumlah wilayah di kawasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang pada Rabu (21/2) kemarin berhasil membuat ratusan rumah warga rusak parah. Tak hanya rumah, atap sebuah pabrik di sekitar Rancaekek juga luluh lantak disapu angin tersebut.
ADVERTISEMENT
Belakangan, Dr. Erma Yulihastin, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa bencana angin kencang yang terjadi di Kabupaten Bandung-Sumedang bukanlah angin puting beliung, melainkan tornado yang biasanya terjadi di benua Amerika.
Menurut Dr. Erma, ada beberapa faktor yang menyebabkan angin ekstrem ini disebut tornado. Pertama, skala kecepatan angin yang terjadi di Rancaekek diperkirakan mencapai 65-70 kilometer/jam. Kemudian skala radius angin mencapai hingga 2 kilometer dan dampak yang ditimbulkan juga sangat parah. Terakhir dilihat dari durasinya melampaui 10 menit.
Terlebih, kata Dr. Erma, fenomena angin kencang tersebut terlihat jelas di satelit awan sehingga memperkuat kepastian bahwa fenomena ini memang tornado.
Beda Tornado dan Puting Beliung
Namun, pendapat ini segera dibantah oleh Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto M.Si, mengatakan angin ekstrem yang terjadi di Kabupaten Bandung-Sumedang justru bukan tornado, tapi angin puting beliung yang memang biasa terjadi di Indonesia.
Guswanto mengungkapkan, kondisi angin di sekitar Jatinangor terukur pada saat jam kejadian hanya 36,8 km/jam. Kejadian puting beliung juga umumnya terjadi dalam periode singkat dengan durasi kurang dari 10 menit.
ADVERTISEMENT
“Secara esensial fenomena puting beliung dan tornado memang merujuk pada fenomena alam yang memiliki beberapa kemiripan visual, yaitu pusaran angin yang kuat, berbahaya dan berpotensi merusak," ujar Guswanto.
Tornado sendiri adalah istilah yang dipakai di Amerika ketika intensitas angin lebih dahsyat dengan kecepatan hingga ratusan km/jam dan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer, serta dapat menimbulkan kerusakan luar biasa. Sementara angin puting beliung di Indonesia memiliki karakteristik kecepatan angin dan dampak yang relatif tidak sekuat tornado.
Senada dengan Guswanto, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN , Eddy Hermawan, mengatakan dengan menganalisa diameter puting beliung yang melanda Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terlalu kecil untuk disebut tornado karena cakupannya tak sampai 10 kilometer.
ADVERTISEMENT
Eddy menuturkan selain cakupan wilayah yang tergolong sempit, angin kencang berputar di Bandung juga memiliki kecepatan yang rendah sekitar 50 hingga 70 kilometer per jam. Menurutnya, bencana angin kencang yang berputar bisa dikatakan tornado apabila memiliki kecepatan angin menembus angka 120 kilometer per jam.
Berdasarkan Skala Enhanced Fujita, kecepatan angin yang mencapai 120 kilometer per jam tersebut masuk ke dalam skala F1.
Tak hanya diameter yang kecil dan kecepatan yang rendah, faktor pembangkit angin di Bandung hanya bersumber dari awan kumulonimbus yang sedikit dan sempit. Badai tornado muncul di negara lintang tinggi, seperti Amerika Serikat akibat keberadaan awan kumulonimbus yang besar dan luas.
“Biasanya tornado berasal dari awan-awan yang ada di atas lautan masuk ke daratan. Sedangkan di Rancaekek tidak, karena berada di tengah Pulau Jawa,” papar Eddy sebagaimana dikutip ANTARA.
ADVERTISEMENT
Penyebab angin puting beliung di Rancaekek
Eddy memaparkan, ada beberapa faktor yang jadi penyebab angin puting beliung di Rancaekek dan sekitarnya, salah satunya dipicu akibat perubahan tata guna lahan.
Awalnya Rancaekek merupakan kawasan hijau dengan suhu udara yang relatif stabil dan sejuk. Namun, ketika wilayah itu berubah menjadi kawasan industri, ini membuat suhu udara menjadi tidak stabil dan cenderung panas.
Ketika siang hari suhu udara terasa sangat panas dan saat malam suhu berubah menjadi sangat dingin. Perubahan tata guna lahan menciptakan fenomena tekanan rendah yang menghisap uap air dan berbagai daerah di sekitar Rancaekek, sehingga menciptakan kumpulan awan kumulonimbus.
Kemudian, hembusan angin dingin dari Australia menciptakan perbedaan tekanan yang akhirnya membentuk pusaran angin.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat perubahan tata guna lahan begitu cepat,” ujar Eddy.