Ironi 2,45 Juta Remaja RI Terjebak Masalah Kesehatan Mental

12 Desember 2022 6:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Remaja Perempuan Depresi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Remaja Perempuan Depresi Foto: Shutterstock
Apa yang terlintas di benak kita saat membicarakan remaja? Sekolah, prestasi, pubertas, tawuran, kenakalan, dan segala macam dunianya. Pernahkah terbesit soal gangguan mental? Beberapa orang tua atau orang dewasa masih mengabaikan isu ini, tapi faktanya, masalah ini sangat dekat dengan remaja.
Remaja seperti dua mata pisau. Nakal maupun berprestasi, keduanya bisa menjadi duri. Masa remaja adalah masa pencarian jati diri, masa transisi yang punya kerentanan sangat tinggi. Prestasi dan kepintaran yang dimiliki tak selamanya baik jika faktor pendukungnya tidak mumpuni.
Dalam kasus prestasi, misalnya, apa yang lebih menarik bagi orang tua selain membicarakan anaknya ke tetangga dan saudara. Memberi tahu mereka biar mendapat sanjungan dan meningkatkan derajat keluarga. Tapi, apa yang lebih sering dilontarkan orang tua saat prestasi anak tidak mentereng lagi?
“Nak, prestasi kamu turun. Ayo belajar lebih giat lagi."
Padahal, ada pertanyaan yang jauh lebih penting ketimbang mempertegas akademisnya yang turun, seperti:
“Nak, kamu kenapa? Ada masalah apa? Coba ceritakan”.
Ironisnya, hal yang sama dilakukan oleh sekolah. Guru dan orang tua tak tahu bahwa kemungkinan ada masalah serius yang dialami si anak sehingga membuat prestasinya terus merosot, salah satunya adalah masalah kejiwaan.
Di sisi lain, remaja yang dianggap nakal berujung pada sumpah serapah orang tua, pengabaian atau diacuhkan, didepak ke pesantren atau di-ruqyah. Padahal, tak selamanya mengirim remaja ke pesantren bisa menjadi solusi. Tak selamanya marah bisa membuat anak sadar dan baik-baik saja.
Inilah yang disampaikan dr. Amirah Ellyza Wahdi, MSPH., Peneliti Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menemukan fakta dalam riset ilmiahnya; bahwa 2,45 juta remaja Indonesia terdiagnosis orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Studi Amirah bersama para peneliti dari University of Queensland dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health ini dimuat dalam laporan riset bertajuk Indonesia - National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang terbit pada Oktober 2022.
Dalam survei Amirah dkk ditemukan bahwa dari 5.664 responden yang disurvei, 5,5% remaja (309 orang) terdiagnosis mengalami dua atau lebih gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, mengacu pada Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V) keluaran American Psychological Association.
Artinya, ini setara dengan 1 dari 20 remaja atau sekitar 2,45 juta remaja Indonesia masuk kategori ODGJ. Remaja yang masuk dalam kriteria DMS-V ini sudah mengalami hendaya atau gangguan fungsi di ranah sosialnya. Ada banyak faktor yang bisa membuat anak terkena gangguan mental ini, termasuk keluarga, lingkungan sekitar, teman sebaya, genetik, dan beberapa faktor lainnya.
dr. Amirah Ellyza Wahdi, MSPH., Peneliti Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, UGM Foto: kumparan
Faktor-faktor tersebut bisa saling memengaruhi. Yang pasti, kata Amirah, secara biologis anak remaja sangat rentan karena mereka sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat.
“Contohnya kayak pubertas, itu kan membawa perubahan besar di hidup mereka, perubahan hormon juga. Belum lagi tekanan akademis dan dari teman sekitar. Tidak menutup kemungkinan juga adanya stressor lain seperti dinamika keluarga yang tidak kondusif dan predileksi biologis. Ini semua saling memengaruhi,” ujar Amirah kepada kumparanSAINS.
Riset I-NAMHS juga menemukan, dari lima kategori masalah kesehatan mental, kecemasan menjadi gangguan mental paling umum di antara remaja Indonesia (3,7%). Disusul dengan gangguan depresi mayor (1%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) yang masing-masing diderita oleh 0,5%.
Di antara remaja Indonesia yang mengalami gangguan mental, 83,9%-nya mengalami gangguan fungsi pada ranah keluarga, disusul oleh ranah teman sebaya (62,1%), sekolah atau pekerjaan (58,1%), dan distres personal (46,0%).
Gangguan fungsi pada ranah keluarga terjadi ketika anak dengan gangguan mental bisa menyebabkan friksi atau perpecahan di keluarganya. Ini persis seperti yang Amirah contohkan di atas. Bermula ketika orang tua tidak memahami anak, memaksakan kehendak demi memuaskan ego, berucap kasar kepada anak, ditambah guru yang tidak memberikan solusi, anak menjadi tertekan dan merasa paling disalahkan. Di sinilah awal friksi dalam keluarga terjadi.
“Kadang orang tua juga enggak tahu anaknya ini kenapa dan itu membuat friksi yang lebih besar lagi. Akibatnya apa, dia enggak mau ketemu orang, di rumah mungkin enggak rukun, kemudian sulit untuk melakukan kegiatan bersama,” papar Amirah.
Begitupun hendaya di segmen teman sebaya dan sekolah. Gangguan fungsi ini bisa menyebabkan anak sulit untuk bersosialisasi dengan teman dan lingkungannya. Akibatnya banyak terjadi bullying, prestasinya menurun, stres dan depresi hingga mengganggu kejiwaan remaja itu sendiri.
“Anak ini sebenarnya pintar. Anak ini sebenarnya bagus. Tapi, dia memiliki gangguan cemas sehingga dia enggak bisa presentasi, ujiannya gagal, kemudian dia bekerja juga enggak bisa perform yang optimal. Ketika gangguan cemas ini terus diadopsi dan disertai dengan depresi, ini bisa menjadi pencetus bunuh diri,” kata Amirah.

Solusi atasi gangguan mental remaja

Bagaimanapun, mengatasi gangguan mental remaja tak semudah mengobati luka tertusuk jarum. Ini masalah kompleks yang melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua, masyarakat, sekolah, hingga pemerintah.
Amirah bilang, pandangan masyarakat terhadap masalah gangguan mental yang masih tabu membuat fenomena ini seperti gunung es. Sejumlah pihak masih menilai gangguan mental sebagai kelakukan remaja saja, gangguan mental dianggap sesuatu yang lebay, atau hormonal saja. Menurut Amirah, ini adalah hal yang salah, karena kemungkinan ada akar permasalahan di sana, ada gejala gangguan mental yang menyertainya.
Orang tua yang malu saat membawa anaknya ke psikiater karena takut komentar miring tetangga atau keluarga, juga membuat masalah semakin rumit. Ditambah, Indonesia belum memiliki concern terhadap masalah ini. Psikiater di Indonesia yang khusus menangani anak dan remaja juga masih sangat sedikit.
Gangguan mental adalah masalah nyata. Ada di sekeliling kita dan merupakan masalah bersama yang jika tidak ditangani dengan baik bisa menjadi katastrophe untuk masa depan Indonesia. Sebab, gangguan mental seumur hidup berawal dari gangguan mental saat remaja atau dewasa muda.
Oleh karena itu, Amirah menyarankan perlunya edukasi menyeluruh, mulai dari orang tua, masyarakat, guru, dan remajanya itu sendiri. Orang tua bisa lebih aware dan memahami masalah anaknya.
Pemerintah juga perlu melakukan support kepada para orang tua sehingga mereka tahu apa yang mesti dikerjakan ketika anaknya dicurigai mengalami gangguan mental atau masalah kesehatan mental.
“Dan, balik lagi, hal yang mungkin perlu saya tekankan adalah bahwa gangguan mental itu bukan sesuatu yang perlu ditakutkan. Kalau terdiagnosis, ya enggak apa-apa. Semakin banyak yang terdiagnosis, bukan berarti itu adalah hal yang menggembirakan, bukan, tapi itu artinya adalah satu langkah lebih maju untuk mendapatkan support yang dibutuhkan,” tukas Amirah.
Dengan melakukan edukasi soal isu kesehatan mental kepada remaja, orang tua, dan guru, Amirah berharap banyak anak di Indonesia yang tak perlu merasakan trauma-trauma di masa remaja mereka.