news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jokowi Minta Kurva Corona Turun Akhir Mei, Faktanya Malah Naik Bak 'Gunung Gede'

22 Mei 2020 14:24 WIB
comment
27
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi memimpin ratas melalui sambungan video di Istana Negara, Jakarta. Foto: Dok. Biro Pers Setpres
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi memimpin ratas melalui sambungan video di Istana Negara, Jakarta. Foto: Dok. Biro Pers Setpres
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyebut kurva penyebaran virus corona di Indonesia sudah harus turun pada bulan Mei. Pemerintah punya target, di bulan Juni dan Juli tingkat penyebaran bisa masuk dalam kategori sedang dan ringan.
ADVERTISEMENT
"Target kita di Bulan Mei ini harus betul-betul tercapai. Sesuai dengan target yang kita berikan yaitu kurvanya sudah harus turun," kata Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna secara virtual, Rabu (6/5).
Untuk itu, Jokowi menekankan keterlibatan semua pihak agar target-target penanganan COVID-19 ini bisa tercapai dengan cara apapun. Jokowi mengklaim telah mengerahkan seluruh elemen, mulai dari jajaran pemerintah, organisasi sosial kemasyarakatan, relawan, parpol, dan swasta.
Kurva kasus virus corona di Indonesia terus naik. Foto: EndCoronavirus.org

Fakta pertumbuhan kurva corona Indonesia

Sayangnya, angan-angan Jokowi untuk menurunkan kasus SARS-CoV-2 di bulan Mei harus gagal. Pasalnya, alih-alih menurun, kasus corona justru "berhasil" memecahkan rekor. Per Kamis (22/5) kemarin, penambahan jumlah positif COVID-19 mencapai 973 kasus.
Bahkan, jumlah warga yang terjangkit di Jawa Timur mengalami peningkatan yang cukup signifikan di setiap harinya hingga menempati urutan kedua di bawah DKI Jakarta. Sebagai contoh, pada Rabu (20/5) terdapat penambahan 119 orang yang positif, kemudian jumlah warga yang terinfeksi dalam sehari pada Kamis (21/5) mencapai 502 orang, naik lima kali lipat. Hingga saat ini, secara total sudah ada 2.998 orang di Jatim yang dinyatakan positif virus corona.
ADVERTISEMENT
Dalam infogram di atas dapat dilihat bagaimana tren kasus COVID-19 bergerak tak konsisten, naik turun di setiap harinya. Beberapa waktu lalu, ahli epidemiologi sekaligus Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono menyebut, pergerakan kurva corona yang tidak konsisten tak lain karena kebijakan pemerintah tidak tegas dalam menangani pandemi.
“Jika pemerintah daerah dan pusat terlena dengan terjadinya penurunan kasus, kemudian mereka tidak ketat menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan masyarakat juga ikut euforia dengan tidak lagi menerapkan protokol pencegahan, maka pola kurva COVID-19 di Indonesia bisa kaya Gunung Gede,” ujar Pandu saat dihubungi kumparanSAINS, Senin (18/5).
“Maksud kayak Gunung Gede tuh gini, kurvanya naik turun, sudah sampai puncak, sudah turun bagus, belum sampai turun drastis, bisa naik lagi. Bahkan mungkin puncaknya lebih tinggi dari sebelumnya.”
ADVERTISEMENT
Pandu mewanti-wanti, jika masyarakat tidak waspada dan pemerintah tidak berhati-hati dalam mengambil kebijakan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pandemi gelombang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Gunung Gede Pangrango Foto: id.wikipedia.org
Tak dapat dimungkiri, ketika beberapa mal di Indonesia nekat buka dan masyarakat berjubel di satu lokasi demi mendapatkan baju dan kebutuhan lebaran, kasus virus corona melejit ke titik yang paling tinggi. Hal ini disampaikan oleh Achmad Yurianto, selaku Juru Bicara Penanganan COVID-19 di Indonesia.
Menurutnya, ada beberapa indikasi kenapa penyebaran virus corona tinggi. Salah satunya adalah karena banyak warga yang tidak disiplin dalam menerapkan protokol pencegahan penularan COVID-19, seperti memakai masker, menjaga jarak, hingga rajin mencuci tangan menggunakan sabun.
Ketidakdisiplinan warga akan tampak nyata jika kita melihat beberapa kasus yang telah terjadi, seperti membludaknya pengunjung di Mal CBD Ciledug, Tangerang, kemudian kerumunan orang di tempat belanja peralatan rumah tangga IKEA, peristiwa McD Sarinah, dan beberapa keramaian di pasar tradisional yang terjadi menjelang lebaran.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, kasus virus corona akan terus meningkat jika masyarakat tetap bandel dan mengabaikan protokol pencegahan. Pandu mengatakan, protokol pencegahan seperti psychical distancing, memakai masker, dan mencuci tangan, harus terus dilakukan selama vaksin COVID-19 belum ditemukan.
“Meski kurva sudah melandai, bahkan mungkin sempat tidak ada laporan kasus, masyarakat harus tetap melakukan protokol pencegahan. Mungkin bisa sampai tahunan. Tidak mungkin dua tahun, bisa lebih. Selama vaksin belum ada, ya, kita harus hidup kaya gini,” kata Pandu.
Ia juga meminta pemerintah tidak menganggap enteng penerapan PSBB. Salah satunya dengan memberikan relaksasi tanpa ada upaya pemantauan di tempat-tempat krusial. Menurutnya, harus ada perencanaan dan strategi yang benar-benar matang, jika ingin melakukan pelonggaran PSBB.
ADVERTISEMENT
“Harus ada perencanaan yang lebih jelas. Mau dilakukan apa. Jadi tidak bisa dianggap enteng seperti sekarang. Ini kan PSBB dianggap enteng. PSBB dianggap enteng dengan membuat planning tergesa-gesa dan tergagap-gagap,” kata Pandu.
“Jadi kita harus tetap konsisten meningkatkan kewaspadaan walaupun kita sudah melakukan pelonggaran. Kurva-kurva itu lah yang kemungkinan terjadi secara teoritis sangat tergantung pada apa yang kita lakukan.”
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.