Kata WHO soal Nama Baru Sejumlah Varian Corona: Biar Tidak Rasis

2 Juni 2021 16:51 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis nama-nama baru yang disematkan untuk sejumlah varian COVID-19 yang muncul di beberapa negara dan menyebar ke negara lain di dunia.
ADVERTISEMENT
Pemberian nama baru ini dilakukan agar para peneliti dan masyarakat lebih mudah dalam mengucapkan dan mengidentifikasi kasus COVID-19 yang muncul di negaranya. Selain itu, WHO juga berharap penyematan nama ini bisa mengatasi stigmatisasi yang muncul di masyarakat ketika kasus varian baru dari negara tetangga ditemukan di wilayah lain, seperti penyebutan corona varian Inggris, Afrika, dan sebagainya.
Sebagai gantinya, nama-nama varian COVID-19 baru ini diurutkan berdasarkan huruf alfabet Yunani sesuai dengan tanggal varian itu ditemukan dan diidentifikasi oleh para ilmuwan. Berikut nama-nama baru tersebut:
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
Mereka juga mencantumkan nama varian baru lain yang telah diidentifikasi di seluruh dunia, seperti “Epsilon” dan “Lota” yang keduanya pertama kali diidentifikasi di AS pada Maret 2021.
ADVERTISEMENT
“Meskipun mereka memiliki kelebihan, nama-nama ilmiah ini bisa sulit untuk diucapkan dan diingat, dan rentan terhadap kesalahan pelaporan. Akibatnya, orang sering menggunakan pemanggilan varian berdasarkan tempat di mana mereka terdeteksi, yang stigmatisasi dan diskriminasi,” kata WHO sebagaimana dikutip IFL Science.
“Untuk menghindari hal ini dan untuk menyederhanakan komunikasi publik, WHO mendorong otoritas nasional, outlet media, dan lainnya untuk mengadopsi label baru ini.”
Dahulu, nama penyakit biasanya disandingkan dengan tempat ia pertama kali ditemukan, seperti campak Jerman dan flu Spanyol. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, praktik penamaan penyakit menular berdasarkan tempat menimbulkan masalah.
Pertama penamaan penyakit dengan nama tempat cenderung berakhir pada rasisme dan xenofobia, karena masyarakat yang berasal dari tempat penyakit itu ditemukan sering menjadi kambing hitam selama wabah penyakit berlangsung. Nama penyakit berdasarkan letak geografis juga terkadang inkonsisten, menyebabkan kebingungan dan potensi salah lapor.
Ilustrasi virus corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Penyebutan COVID-19 sebagai flu Wuhan atau virus China di awal wabah adalah contoh penamaan penyakit berdasarkan letak geografis baru-baru ini. Hal ini telah menyebabkan peningkatan kejahatan rasial dan diskriminatif di kalangan masyarakat dunia, di mana kekerasan terhadap orang Asia di AS meningkat sebesar 150 persen tatkala wabah corona pertama kali muncul di China dan menyebar ke wilayah lain termasuk Eropa.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, penggunaan nama berdasarkan letak geografis dianggap sebagai cara yang tidak tepat dan konsisten, serta berpotensi meningkatkan diskriminasi sosial.
“Ini mungkin tampak seperti masalah sepele bagi sebagian orang, tetapi nama penyakit benar-benar penting bagi orang-orang yang terkena dampak langsung," ujar Dr Keiji Fukuda, Asisten Direktur Jenderal Jaminan Kesehatan di WHO.
"Kami telah melihat nama penyakit tertentu memicu reaksi terhadap anggota komunitas agama atau etnis tertentu, menghambat hubungan sosial dan ekonomi, dan memicu penyembelihan hewan yang tidak perlu. Hal ini dapat memiliki konsekuensi serius bagi kehidupan masyarakat dan mata pencaharian."