Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
ADVERTISEMENT
Kata ‘berkhianat’ atau ‘pengkhianat’ kembali mencuat menjelang tahun politik 2024. Belakangan, kata “pengkhianat” digaungkan oleh Partai Demokrat.
ADVERTISEMENT
Demokrat mengungkap ada kesepakatan baru bacapres Anies Baswedan dengan Ketum PKB, Muhaimin Iskandar, atau Cak Imin. Demokrat merasa kecewa dengan hal tersebut dan menuding kesepakatan itu sebagai bentuk pengkhianatan.
Musababnya, sebelum rumor Anies sepakat Cak Imin mendampinginya di Pilpres 2024, Anies sempat mengirim surat kepada AHY, meminta untuk jadi cawapresnya. Sekjen Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan, Anies sudah berkali-kali menyatakan akan memilih AHY menjadi cawapres. Tapi, nyatanya Anies dianggap melanggar semua itu.
Terlepas dari apakah benar bacapres Anies berkhianat atau tidak kepada Demokrat, yang jadi pertanyaan kenapa ada orang berkhianat? Apa alasannya? Nah, evolusi manusia mungkin bisa menjelaskan kenapa pengkhianatan bisa terjadi.
Dilihat dari sudut pandang evolusi, leluhur kita yang hidup di lingkungan suku-suku kuno menandakan bahwa setelah manusia berevolusi menjadi makhluk sosial, hidup mereka sangat bergantung pada kepercayaan dan kesetiaan, sejauh mana orang lain menghargai, menerima, dan menghormatinya. Dengan begitu, pengkhianatan akan menyebabkan konsekuensi fatal dalam hubungan sosial.
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, hukuman bagi pengkhianat sangatlah berat. Mereka akan ditempatkan di ‘neraka’, tempat paling mengerikan dan terasing, dihukum di lokasi terdingin, lehernya dimasukkan ke danau dan dibiarkan dihantam badai salju.
Bahkan di masa kini, hukuman berat bagi pengkhianat juga masih berlaku di beberapa negara. Mereka yang makar, misalnya, akan mendapatkan hukuman paling berat, sampai dihukum mati.
Di abad ke-21, ada banyak faktor psikologis yang membuat orang bisa berkhianat. Salah satunya karena pengalaman pernah dikhianati oleh orang yang dipercaya atau dicintai.
Menurut Sabrina Romanoff, seorang psikolog klinis, trauma pengkhianatan ini berakar dari lingkungan terdekat, seperti orang tua, pengasuh, dan hubungan penting sejak masa kanak-kanak. Di masa dewasa, pengkhianatan cenderung berulang dalam hubungan romantis.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, kepercayaan berakar dalam jiwa dan diberikan kepada orang lain yang kita percaya. Jadi ketika seseorang berkhianat, kita akan merasakan kekecewaan yang teramat dalam.
4 Alasan psikologis kenapa manusia berkhianat
Janey Davies seorang penulis, sub-editor di Learning Mind mencatat, setidaknya ada 4 alasan kenapa orang bisa berkhianat.
Punya kuasa kebal aturan
Penguasa cenderung suka berkhianat. Ini karena dia percaya bahwa aturan hanya berlaku untuk rakyat kecil. Orang dengan kuasa menganganggap dirinya kebal hukum dan baginya aturan bukanlah hal yang penting.
Tak punya integritas
Bagi beberapa orang, berkhianat hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Ini biasanya dilakukan oleh psikopat dan sosiopat. Mereka tak pernah menyesal saat berkhianat, yang penting tujuan dan keinginannya tercapai.
Egois dan serakah
Saat seseorang berkhianat, mereka akan mendahulukan kepentingannya di atas kebutuhan orang lain. Misal, pasangan yang selingkuh akan menempatkan kesenangan di atas penderitaan kekasihnya. Seorang pecandu narkoba bakal bohong dan mencuri demi memenuhi kebiasaannya. Mereka tak memikirkan dampak dari tindakannya dan hanya mementingkan kebutuhan egonya.
ADVERTISEMENT
Iri dengki
Terkadang alasan psikologis pengkhianatan sesederhana karena iri dan dengki. Ketika orang sudah iri dan dengki, mereka bisa melakukan apapun untuk mewujudkan impiannya. Misal, orang rela menghancurkan karir temannya karena iri dengan kesuksesannya.
Menurut Julie Fitness, kepala Departemen Psikologi Macquarie University, Australia, sepanjang sejarah manusia, pengkhianatan dianggap sebagai cara paling buruk dalam merusak hubungan yang dilakukan seseorang.