Kisah Pilu Perawat Dengar Kata Terakhir Pasien Virus Corona Sebelum Meninggal

13 April 2020 9:49 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Derrick Smith, salah satu perawat pasien virus corona di sebuah rumah sakit di New York, AS. Foto: Derrick Smith via Facebook
zoom-in-whitePerbesar
Derrick Smith, salah satu perawat pasien virus corona di sebuah rumah sakit di New York, AS. Foto: Derrick Smith via Facebook
ADVERTISEMENT
Derrick Smith, seorang perawat anestesi di sebuah rumah sakit di New York, Amerika Serikat, sudah terbiasa menyaksikan akhir hidup para pasiennya yang menjadi korban keganasan virus corona.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Smith mengaku pandemi virus corona kini jauh lebih mengerikan. Ia semakin sering mendengar kata-kata terakhir memilukan yang keluar dari mulut pasiennya. Di tengah kondisi mereka yang sekarat, pasien masih mengkhawatirkan biaya perawatan rumah sakit.
Pernah suatu kali, pasien Smith yang sekarat dan hendak dipasangi ventilator bertanya kepadanya, “Siapa yang akan membayar semuanya?” Pertanyaan itu disampaikan dengan terbata-bata karena si pasien kesulitan bernapas.
"Itu adalah kata-kata terakhir yang tidak akan pernah saya lupakan," kata Smith dikutip CNN. "Pria ini mengalami kesulitan bernapas yang parah, mengalami kesulitan berbicara, namun masih saja memikirkan siapa yang akan membayar biaya perawatannya sehingga ia bisa bertahan hidup, meski sebenarnya sangat kecil kemungkinannya pasien ini bisa selamat."
ADVERTISEMENT
Smith sadar pria itu tak bakal tertolong meski sudah dipasang intubasi endotrakeal. Dengan berat hati, ia menyampaikan kenyataan pahit itu kepada istri si pasien.
Smith pun memberikan kesempatan sang istri untuk mendampingi saat-saat terakhir sang suami. Ia memberi keleluasaan bagi si pasien untuk mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang terkasihnya.
Kebanyakan pasien COVID-19 tak berhasil selamat setelah dipasang ventilator. Tingkat kematiannya, menurut Smith, bisa mencapai 80 persen pada pasien yang diintubasi. Meskipun ia tidak bisa memastikan apakah pasiennya bisa bertahan hidup atau tidak, namun mengharapkannya bisa kembali pulih merupakan hal yang sangat mustahil.
Menangani pasien COVID-19 yang sekarat, kata Smith, merupakan pengalaman terburuknya selama menjalani profesi sebagai perawat anestesi dalam 12 tahun terakhir. Tak banyak yang bisa dilakukan para tenaga medis untuk menyelamatkan hidup seorang pasien yang sudah mengalami gejala serius.
ADVERTISEMENT
"Aku sangat sedih dan jujur hal ini sedikit mengerikan. Ini menunjukkan bahwa kita memiliki kegagalan besar mendapati pasien harus khawatir tentang keuangan mereka ketika mereka sedang berhadapan dengan masalah yang jauh lebih besar yang berkaitan dengan hidup atau mati,” beber Smith.
Derrick Smith, salah satu perawat pasien virus corona di sebuah rumah sakit di New York, AS. Foto: Derrick Smith, CRNA via Facebook
Smith tentu tak memiliki jawaban untuk pertanyaan pasiennya itu. Ia membiarkan pria itu bisa berbicara dengan pasangannya untuk yang terakhir kalinya. Terlepas dari kisah pilu pasiennya, pertanyaan pria itu masih terngiang-ngiang di benak Smith.
Smith sangat menyayangkan respons lamban pemerintah di tengah wabah virus corona yang saat ini membuat AS benar-benar tak berdaya. Di sisi lain, ia juga mengkhawatirkan jaminan perawatan kesehatan untuk masyarakat yang terdampak langsung oleh wabah mematikan ini.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat adalah satu-satunya negara maju tanpa perawatan kesehatan universal. Hampir 28 juta orang Amerika non-lanjut usia, atau 10,4 persen, tidak diasuransikan pada 2018, menurut data Biro Sensus terbaru yang tersedia.
"Mengatasi virus corona dengan puluhan juta orang tanpa asuransi kesehatan atau dengan asuransi yang tidak memadai akan menjadi tantangan tersendiri bagi Amerika di antara negara-negara maju," tulis Larry Levitt, wakil presiden eksekutif untuk kebijakan kesehatan di organisasi nirlaba Kaiser, lewat Twitter.
Menurut Levitt, uang tetap dibutuhkan untuk membayar perawatan bagi pasien COVID-19 yang harus dirawat di rumah sakit, terutama mereka yang tidak mempunyai asuransi kesehatan.
Kekhawatiran yang terjadi pada banyak orang saat ini erat kaitannya dengan biaya perawatan yang sangat tinggi. Hal ini kemudian menghalangi seseorang untuk memeriksakan diri saat mereka memiliki keluhan sakit.
ADVERTISEMENT
Beberapa perusahaan asuransi di sejumlah negara bagian membebaskan biaya untuk tes deteksi virus corona untuk pemegang polis tertentu. Namun pasien masih harus dibebani dengan biaya perawatan ketika mereka harus menjalani rawat inap di rumah sakit.
Bagi orang Amerika Serikat yang saat ini menganggur, secara otomatis tidak bisa mendapatkan manfaat asuransi kesehatan dari pekerjaan mereka. Ini kemudian menjadi krisis besar lainnya.
Secara keseluruhan, sekitar 16,8 juta pekerja AS, yang merupakan 11 persen dari angkatan kerja AS, telah mengajukan klaim awal untuk tunjangan pengangguran hanya dalam tiga minggu sebelumnya.
"Ini bisa menjadi lebih buruk jika kita tidak meningkatkan akses yang adil ke perawatan kesehatan," kata Smith.
"Sebagai akibat dari banyaknya kehilangan pekerjaan terkait pandemi, populasi yang tidak diasuransikanakan meningkat, dan itu akan tetap menjadi tantangan bagi mereka yang memiliki asuransi kesehatan swasta. Analisis terakhir yang saya lihat diproyeksikan meningkat hingga 40 persen pada premi asuransi tahun depan sehingga itu akan menjadi beban yang lebih besar yang perlu kita bicarakan. "
ADVERTISEMENT
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!