Kisah Terobosan pada Baterai Lithium-ion yang Diganjar Nobel Kimia

10 Oktober 2019 18:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi baterai ponsel Foto: Dok.Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi baterai ponsel Foto: Dok.Pixabay
ADVERTISEMENT
Para peraih hadiah Nobel Kimia 2019 baru saja diumumkan pada Rabu (9/10). Pemenangnya adalah John B. Goodenough dari University of Texas at Austin, M. Stanley Whittingham dari Binghamton University, dan Akira Yoshino dari Meijo University.
ADVERTISEMENT
Ketiganya berjasa membantu menghadirkan baterai lithium-ion yang sekarang banyak digunakan di berbagai perangkat. Pemberian hadiah Nobel kepada para peneliti itu mendapat aplaus dari sejumlah ilmuwan lain.
Salah satunya datang dari Profesor Mark Miodownik, ahli ilmu material di University College London. Menurutnya, baterai lithium-ion adalah salah satu temuan yang pengaruhnya sangat dirasakan oleh semua orang di dunia dan dunia modern.
"Temuan ini juga sangat luar biasa. Meski ditemukan 30 tahun lalu, sampai sekarang mereka belum tergantikan oleh teknologi baterai lain yang lebih baik," ujar Miodownik kepada The Guardian. "Ini membuat kita sadar betapa luar biasanya temuan ini."
Lantas, bagaimana baterai ini bekerja? Bagaimana para peneliti mengembangkannya? Berikut kumparanSAINS jelaskan.
Baterai ion litium atau lithium-ion bekerja dengan mengubah energi kimia menjadi listrik. Biasanya, baterai ini terbuat dari dua elektroda, anoda dan katoda, yang biasanya dipisahkan oleh cairan pembawa partikel bermuatan listrik.
ADVERTISEMENT
Kedua elektroda terhubung pada sebuah sirkuit elektrik. Ketika baterai sedang menggerakkan sebuah alat listrik, elektron akan berpindah dari anoda ke katoda melalui sirkuit elektrik, sementara ion bermuatan positif bergerak melalui elektrolit.
Pada baterai yang bisa di-charge ulang, energi bisa disimpan di dalamnya untuk membalikkan proses tersebut.
Pada tahun 1970-an lalu, baterai yang bisa di-charge ulang memang sudah ada. Tapi, mereka belum sehebat baterai yang ada sekarang.
Ilustrasi baterai Lithium ion. Foto: VARTA (Museum Autovision Altlußheim, Germany) via wikimedia commonsIlustrasi .
Kala itu, lithium dianggap bisa menjawab kekurangan baterai yang bisa di-charge ulang pada masa itu, sebab lithium adalah metal yang sangat ringan dan mudah kehilangan elektron. Meski begitu, sifat reaktif lithium membuatnya sulit untuk dimanfaatkan.
Stanley Whittingham berusaha mengatasi masalah itu. Alat ciptaannya menjadi baterai lithium pertama yang berfungsi. Ia menggunakan lithium metal pada anode dan memasukkan ion lithium pada titanium disulfida untuk dijadikan cathode.
ADVERTISEMENT
Tapi, temuannya ini masih menyimpan risiko. Ketika baterai itu dicharge berulang kali, ada risiko terjadi ledakan. Untuk mengatasi itu, Whittingham mengombinasikan lithium metal dengan alumunium di anode.
Ilustrasi baterai Lithium ion. Foto: Kristoferb via wikimedia commons.
Goodenough lalu melanjutkan pengembangan baterai lithium-ion. Ia mengganti titanium disulfida pada cathode dengan kobalt oksida. Hal ini membuat voltase yang diproduksi meningkat dua kali lipat.
Selanjutnya, Yoshino menggunakan cathode yang dikembangkan Goodenough untuk membuat baterai lithium-ion yang bisa dijual secara komersial pada 1985. Yoshino menggunakan anode yang terbuat dari lithium ions dan elektron yang tersimpan dalam material karbon disebut petroleum coke atau kokas minyak bumi di baterainya.
Terobosan itu menghasilan sebuah baterai ringan dan padat yang dayanya bisa diisi ulang (charge) berkali-kali, seperti yang kita kenal sekarang.
ADVERTISEMENT
Profesor Dame Carol Robinson, presiden Royal Society of Chemistry mengatakan, teknologi baterai adalah bidang yang luas dan menjanjikan.
"Ini bukan akhir dari perkembangan teknologi baterai, karena lithium adalah sumber daya terbatas dan banyak peneliti di seluruh dunia yang mengembangkan hal baru di atas fondasi yang diletakkan tiga ahli kimia yang brilian ini," ujar Robinson.