Klitih Dari Sisi Psikologi: Kenapa Remaja Ingin Melukai Orang Lain Tanpa Sebab?

29 Desember 2021 16:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Klitih. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Klitih. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena klitih di Yogyakarta kembali mencuat. Beberapa hari yang lalu, seorang wanita mengunggah di twitter, foto luka sayat ulah pelaku klitih. Yang mengejutkan, pelaku melancarkan aksinya jam 7 malam saat kondisi jalan masih cukup ramai.
ADVERTISEMENT
Klitih adalah fenomena di mana pelaku kejahatan--yang umumnya berusia remaja--melukai orang asing tanpa motif yang jelas. Biasanya mereka mendekati korban yang sedang berkendara sendirian.
Pelaku yang masing-masing membawa senjata tajam kemudian mendekati dan melukai korban. Mereka lalu akan pergi begitu saja tanpa merebut harta benda korban.
Para netizen di Twitter merespons dengan hashtag #SriSultanYogyakartaDaruratKlitih, dengan harapan masyarakat berhati-hati ketika berkendara sendirian dan memberi tekanan kepada pemerintah dan aparat agar mengambil tindakan tegas terhadap fenomena klitih ini.

Kata psikolog dan akademisi soal klitih di Yogyakarta

Berbeda dengan begal, klitih melukai korban yang sedang berkendara tanpa adanya upaya merebut harta benda. Para pelaku biasanya merupakan remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Maraknya praktik klitih ini dari tahun ke tahun adalah karena semakin banyaknya geng-geng remaja baru di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Pengendara motor di Yogyakarta. Foto: Deshana/kumparan
Sementara itu, Dr. Endang Widyorini--psikolog sekaligus dosen di Universitas Seogijapranata--mengatakan, remaja adalah usia labil dan dalam proses mencari identitas diri. Kebanyakan remaja terjerumus ke klitih tanpa pertimbangan matang. Hal ini diperparah dengan lingkungan keluarga yang tidak harmonis.
Faktor internal berupa rasa ingin mencari jati diri, ditambah faktor eksternal seperti orang tua dan konformitas teman sebaya, membuat remaja cenderung melakukan hal-hal destruktif dan bahkan kriminal.
Remaja pelaku Klitih tidak semuanya bisa dijerat dengan UU tindak pidana karena masih di bawah umur. Biasanya pelaku yang sudah ditangkap, akan melewati masa-masa pembinaan dan pembekalan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setempat sebelum dikembalikan ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Endang setuju perlu adanya psikoedukasi kepada remaja dan orang tua. “Dan diperlukan juga pengawasan dan mengarahkan (mereka) pada kegiatan yang positif.” ujar Dr. Endang.
Selain itu, Aji Kadarmanta Baskara Aji, Sekda DIY, mengatakan bahwa pembekalan perlu dilakukan agar kasus serupa tidak kembali terulang.
"Mulai dari asesmen dulu terhadap anak yang bersangkutan, kemudian bagaimana membekali mental mereka dengan hal-hal yang positif, lalu bagaimana memberikan pemberdayaan terhadap mereka lalu saya kembalikan anak pada keluarga dan masyarakat," ujar Aji Kadarmanta Baskara Aji, Sekda DIY.

Kasus klitih mencuat

Selasa (28/12) lalu, Polda DIY baru saja menangkap 5 orang terduga pelaku Klitih yang melangsungkan aksinya beberapa hari sebelumnya. Korban dilukai dengan senjata tajam setelah ditendang jatuh dari motor dan dikejar oleh pelaku ketika pulang bersama teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Kasus klitih sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 2020, di mana seorang pelajar dari Bantul meninggal akibat ulah kriminal tersebut. Ia meninggal setelah 27 hari perawatan intensif di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
Korban mengalami patah tulang leher dan retak tulang punggung setelah ditendang jatuh dari motor oleh pelaku. Sebelum itu rombongan korban dan pelaku kejar-kejaran menggunakan sepeda motor dari Yogyakarta-Bantul.