Konservasi Air, Sebuah Keharusan

26 Desember 2018 17:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tiga orang anak membawa air yang diambil dari salah satu sungai yang tersisa di Cibarusa pada September 2002 lalu. Indonesia adalah salah satu negara yang rentan mengalami krisis air, terutama di musim kemarau. AFP PHOTO/Weda (Foto: Weda/AFP Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Tiga orang anak membawa air yang diambil dari salah satu sungai yang tersisa di Cibarusa pada September 2002 lalu. Indonesia adalah salah satu negara yang rentan mengalami krisis air, terutama di musim kemarau. AFP PHOTO/Weda (Foto: Weda/AFP Photo)
ADVERTISEMENT
Seperti udara, air pokok bagi kelangsungan hidup manusia.
United States Geological Survey menyebut rata-rata manusia menggunakan 300 hingga 380 liter air per hari atau setara dengan 16 hingga 20 galon air minum kemasan ukuran 19 liter setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja penggunaannya tidak hanya untuk diminum, namun juga dalam bentuk makanan yang dimasak, untuk mandi, menyiram toilet, dan lainnya. Kalikan dengan jumlah manusia di muka bumi, yang saat ini berkisar 7,6 miliar orang, dan Anda mungkin akan berpikir bahwa air seperti sumber daya yang tidak akan pernah ada habisnya.
Padahal, nyatanya tidak demikian.
Air memang menutupi 70,8% atau lebih dari dua pertiga permukaan planet bumi. Namun, dari seluruh air yang ada di bumi, 97,5% di antaranya adalah air asin, dan hanya 2,5% yang merupakan air tawar yang bisa manusia gunakan sehari-hari. Terlebih lagi, sekitar dua pertiga air tawar di bumi tersimpan dalam bentuk es atau salju, dan sebagian lainnya tersimpan sebagai air tanah.
ADVERTISEMENT
Artinya, hanya sekitar satu persen air tawar dari keseluruhan air di bumi yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Jumlah ini juga kian berkurang dengan adanya pencemaran air sehingga air tersebut menjadi tidak layak dikonsumsi manusia.
Singkatnya, air bukanlah benar-benar sumber daya alam yang tidak terbatas. Apa yang terjadi di Cape Town pada tahun 2018 ini, ketika mereka diprediksi akan kehabisan air sebelum tahun 2018 berakhir, bisa menjadi contoh bagaimana sebuah kota besar dunia bisa mengalami krisis air.
Warga Cape Town, Afrika Selatan, harus mengantri di sumber air alami di Newlands. Cape Town sempat mengalami krisis air yang parah dan berkepanjangan hingga pertengahan tahun 2018 ini. (Foto: Mark Fisher/Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Cape Town, Afrika Selatan, harus mengantri di sumber air alami di Newlands. Cape Town sempat mengalami krisis air yang parah dan berkepanjangan hingga pertengahan tahun 2018 ini. (Foto: Mark Fisher/Shutterstock)
Krisis air yang terjadi di Cape Town juga tidak terjadi karena kondisi geografis semata. Selain karena masalah kekeringan yang cukup parah yang terjadi antara tahun 2015 dan 2017 - yang membuat debit air di Western Cape Water Supply System, sistem air utama di Afrika Selatan, menurun drastis - laju pertumbuhan penduduk di Cape Town juga ikut berpengaruh sebagai salah satu faktor.
ADVERTISEMENT
Krisis air di Cape Town akhirnya memang berhasil dihindari setelah pengumuman “Day Zero” - hari ketika aliran air untuk penggunaan pribadi di seluruh kota dihentikan, kecuali di beberapa titik untuk kepentingan umum - berujung pada pengetatan konsumsi air di seluruh kota, serta berkat hujan yang akhirnya turun ke Cape Town. Namun kasus Cape Town memberikan pelajaran: krisis air, ternyata, adalah ancaman yang sangat nyata.
Menurut data World Resources Institute (WRI) pada tahun 2013 lalu, terdapat 36 negara dengan tingkat stres air (water stress - situasi ketika cadangan air tidak mencukupi jumlah permintaan air di negara tersebut) yang sangat tinggi. Meski Indonesia bukanlah salah satunya, tetapi dalam data stres air WRI tersebut, Indonesia tergolong sebagai negara dengan tingkat stres air yang tinggi, yang berarti Indonesia juga memiliki potensi krisis air yang besar di masa depan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut bahkan sebenarnya sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah Gunungkidul, sebuah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Dulu kami itu malu ketika mengakui kalau kami itu warga Gunungkidul,” aku Trianto, Kepala Seksi Kesejahteraan Desa Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta. “Karena Gunungkidul itu identik dengan kemiskinan dan sebagainya. Pokoknya yang jelek-jelek itu Gunungkidul.”
Pengakuan Trianto tentu bisa dimaklumi. Sebagai sebuah wilayah yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, Gunungkidul memang lekat dengan predikat kemiskinan. Menurut data BPS Kabupaten Gunungkidul, angka kemiskinan Gunungkidul antara 2004 hingga 2014 selalu berada di atas 20%. Bahkan, pada tahun 2007, persentase penduduk miskin di kabupaten ini mencapai 28,9% - jauh di atas persentase kemiskinan nasional tahun tersebut yang berada di angka 16,58%.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan di Gunungkidul juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi alam di wilayah ini yang tandus. Kondisi geografis Gunungkidul yang berbukit dengan tanah karst membuat wilayah ini selalu mengalami masalah kekeringan di musim kemarau setiap tahunnya.
Akibat kekeringan, sektor perkebunan dan pertanian di wilayah Gunungkidul tidak berjalan dengan baik. Apalagi bagi perkebunan dan pertanian rakyat yang masih sangat tradisional. Tanaman mati, penghasilan pun tak ada. Kalau sudah begitu, pilihannya hanya dua: menjadi buruh kasar di tempat lain, atau menjual hewan ternak yang masih dimiliki.
Seorang bapak menuntun sepedanya di pinggir sawah yang kering di Lamongan, Jawa Timur. Sebagian sawah Indonesia yang masih mengandalkan tadah hujan berpotensi mengalami kekeringan setiap musim kemarau. (Foto: Juni Kriswanto/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang bapak menuntun sepedanya di pinggir sawah yang kering di Lamongan, Jawa Timur. Sebagian sawah Indonesia yang masih mengandalkan tadah hujan berpotensi mengalami kekeringan setiap musim kemarau. (Foto: Juni Kriswanto/AFP)
Sugeng Handoko, salah satu tokoh muda Desa Nglanggeran, pun mengakui bahwa kemarau adalah momok bagi perkebunan masyarakat di wilayah Gunungkidul.
“Kendalanya, ketika ditanam warga, hampir 80% (tanaman) itu mati di musim kemarau, jadi hanya 20% saja yang hidup,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Masalah kekeringan memang bukan hal baru bagi Indonesia. Menurut Data Informasi Bencana milik BNPB, kekeringan adalah bencana keempat yang paling banyak terjadi di Indonesia dengan 1.875 kasus dalam rentang waktu 1815 hingga 2018. Jumlah itu hanya kalah dari bencana banjir, puting beliung, dan tanah longsor.
Pada tahun 2018 ini, masalah kekeringan juga sudah terasa di beberapa wilayah Jawa dan Nusa Tenggara, meski musim kemarau tahun ini dikategorikan sebagai kemarau normal. Yang mengejutkan, hal tersebut ternyata bukan sesuatu yang aneh.
“Daerah-daerah yang mengalami kekeringan saat ini adalah daerah-daerah yang hampir setiap tahun terjadi kekeringan. Sesungguhnya wilayah Jawa dan Nusa Tenggara telah defisit air tahun 1995. Artinya ketersediaan air yang ada, baik air permukaan dan air tanah, sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduk,” sebut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
ADVERTISEMENT
“Studi yang dilakukan Bappenas pada tahun 2007 juga menunjukkan hasil bahwa ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan pada musim kemarau di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara,” lanjutnya. “Jadi tidak aneh jika selama musim kemarau terjadi kekeringan.”
Kondisi air di Indonesia (Foto: Anggi Bawono/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi air di Indonesia (Foto: Anggi Bawono/kumparan)
Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan. Dengan ketersediaan air yang sangat terbatas di Indonesia saat ini, kekeringan bisa menjadi bencana yang terjadi setiap tahunnya jika tidak ada langkah signifikan yang dilakukan untuk mengantisipasinya. Lantas, apa yang perlu dilakukan?
Konservasi Adalah Satu-Satunya Jalan Keluar
Dengan kondisi seperti saat ini, konservasi air menjadi sesuatu yang wajib dilakukan di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang memang rentan kekeringan seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Menurut Glaudy Perdanahardja dari The Nature Conservancy Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri pada kampanye konservasi alam yang berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, hal tersebut sebenarnya sudah mulai dilakukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya sekarang pemerintah kayaknya mulai ketat ya, jadi kalau sumur bor itu harus pakai izin,” kata Glaudy. “Sekarang bisa dibilang, masanya orang memikirkan air. Jumlah penduduk Indonesia juga tambah banyak, sudah ada prediksinya 10 tahun ke depan akan naik berapa persen.”
Pengetatan sumur bor tersebut menjadi penting karena air tanah, yang selama ini menjadi andalan masyarakat yang tidak mendapatkan aliran air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), mestinya tidak dijadikan sebagai andalan utama untuk pemenuhan kebutuhan akan air sehari-hari masyarakat, apalagi jika digunakan untuk kegiatan yang membutuhkan banyak pasokan air seperti industri dan agrikultural.
Petugas mengecek kolam penampungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (15/11/2018). (Foto: Zabur Karuru/ANTARA Foto)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengecek kolam penampungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (15/11/2018). (Foto: Zabur Karuru/ANTARA Foto)
“Air tanah sejatinya seperti sebuah tabungan - Anda boleh menggunakannya sesekali, terutama jika sedang mengalami kekeringan,” kata Betsy Otto, Direktur Program Air Dunia World Resources Institute. Layaknya tabungan, kita tidak bisa menggunakannya terus menerus untuk kebutuhan sehari-hari - apalagi jika kita tidak menjaga agar saldonya terus terjaga. Suatu saat, air tanah bisa saja habis jika penggunaannya tidak diatur, dan jika tidak ada usaha untuk mengembalikan saldonya ke batas aman.
ADVERTISEMENT
“Kita sebisa mungkin memanfaatkan air permukaan, bukan lagi air tanah, karena konservasi air tanah itu lebih sulit daripada air permukaan. Selain itu, PAM juga harus membenahi diri, supaya bisa menyuplai cukup kebutuhan air,” ujar Glaudy.
Memperketat izin penggunaan air tanah dan penggunaan air permukaan hanyalah satu dari banyak usaha konservasi air yang bisa dilakukan agar air tidak akan menjadi sumber daya yang langka bagi manusia. Usaha konservasi ini harus dilakukan oleh semua pihak; tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh industri dan pemerintah.
Apalagi, menurut data FAO yang dikumpulkan sekitar tahun 2010 lalu, sejatinya hanya 12% dari keseluruhan konsumsi air dunia yang digunakan oleh manusia untuk kehidupan sehari-hari. 69% lainnya digunakan untuk sektor agrikultur, sementara 19% sisanya digunakan untuk kepentingan industri.
ADVERTISEMENT
“Kita harus memastikan kebijakan soal penggunaan air terutama oleh industri dan rumah tangga harus dibedakan,” kata Glaudy.
Antri air bersih di Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (9/11/2018). (Foto: Basri Marzuki/ANTARA Foto)
zoom-in-whitePerbesar
Antri air bersih di Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (9/11/2018). (Foto: Basri Marzuki/ANTARA Foto)
“(Apalagi) sekarang pariwisata berkembang, kayak di Bali, sudah ada penelitian bahwa daya dukungnya enggak ada. Sekarang dengan terus bertambah hotel, penginapan, tapi sebenernya kebutuhan airnya tidak dihitung sama sekali. Jadi bisa dibayangkan kalau kita tidak memikirkan air sekarang, beberapa kota bisa kolaps juga.”
Itulah mengapa terobosan-terobosan di bidang industri dan agrikultur menjadi penting. Salah satu yang bisa dicontoh, misalnya, penggunaan embung — sebuah waduk buatan yang dibangun untuk menampung air hujan — untuk perkebunan dan pertanian.
Tidak hanya memastikan agar air selalu tersedia sepanjang tahun, embung juga membuat petani tidak akan mengandalkan air tanah untuk mengairi kebunnya. Imbasnya, air tanah tidak akan dieksploitasi secara berlebihan, sementara petani bisa memastikan bahwa kebun dan sawahnya akan terus mendapatkan aliran air yang cukup selama embung bekerja dengan baik sebagai penampung air hujan.
ADVERTISEMENT
Dengan air yang terus menerus tersedia, petani bisa bercocok tanam di sepanjang tahun, dan tidak lagi hanya bekerja di musim hujan saja. Imbasnya, masyarakat menjadi lebih sejahtera, dan konservasi air pun berjalan dengan baik. Inilah situasi ideal yang perlu direplikasi di berbagai tempat: bagaimana cara agar kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan alam bisa berjalan berdampingan dengan baik.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Nglanggeran bisa menjadi contoh. Sebagai daerah karst yang tidak mampu menyimpan air di tanah yang dangkal, salah satu solusi yang bisa diambil untuk memastikan perkebunan masyarakat dapat berlangsung sepanjang tahun adalah dengan membuat sebuah penampung air hujan selama musim hujan untuk kemudian dimanfaatkan selama musim kemarau. Dari sanalah ide pembangunan embung tercipta.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya ini adalah program yang menjadi keinginan masyarakat. Jadi ini skemanya pengusulannya dari kelompok masyarakat, melalui kelompok tani juga. Kemudian desa, kemudian dinas terkait (dinas pertanian Gunungkidul), kemudian DIY. Ada tahapan-tahapan yang dilakukan dan dipilih titik lokasinya di sini,” cerita Sugeng saat duduk bersama kumparan (kumparan.com) di tengah-tengah kegiatan ADES Conservacation beberapa waktu lalu.
Pemandangan Embung Nglanggeran di sore hari. Selain menjadi tempat wisata, Embung Nglanggeran telah menjadi tempat penampungan cadangan air di Desa Nglanggeran. (Foto: Dwi Rahmanto/Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan Embung Nglanggeran di sore hari. Selain menjadi tempat wisata, Embung Nglanggeran telah menjadi tempat penampungan cadangan air di Desa Nglanggeran. (Foto: Dwi Rahmanto/Shutterstock)
Embung Nglanggeran sendiri memiliki luas mencapai 0,34 hektar, dengan kedalaman 4 meter. Berdiri di Sultan Ground atau tanah yang dimiliki Sultan Yogyakarta, embung ini dibangun pada 2012 menggunakan dana hibah dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Seiring dengan hibah embung dari Gubernur DIY, masyarakat mendapatkan ruang ekspresi untuk melakukan perkebunan, khususnya durian dan kelengkeng, kemudian lebih tersentral dan ada peningkatan kapasitas SDM (sumber daya manusia) juga di situ,” lanjut Sugeng.
ADVERTISEMENT
Keberadaan embung tersebut kemudian ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, berkat keberadaan embung yang selalu terisi air hingga penuh di setiap musim hujan, masyarakat jadi memiliki persediaan air yang cukup untuk mengairi kebun durian dan kelengkeng mereka selama musim kemarau. Dengan tanaman yang mampu hidup sepanjang tahun dan menghasilkan buah yang berkualitas, kesejahteraan masyarakat pun terkerek.
Terlebih lagi, embung ini ternyata mampu menjadi daya tarik pariwisata wilayah Nglanggeran, yang kemudian disulap menjadi wilayah agrowisata unggulan di daerah Gunungkidul. Keberadaannya melengkapi paket wilayah wisata Nglanggeran, bersama Gunung Api Purba — yang keberadaannya telah dipromosikan sejak sekitar tahun 2008 lalu — serta perkebunan durian dan kelengkeng masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
“Bonusnya, (embung) di sini adalah kita berada di titik dengan view yang bagus. Jadi kita belum panen buahnya, tapi kita sudah panen wisatawannya,” kata Sugeng.
ADVERTISEMENT
“Dan yang membuat semangat lagi, setelah diintegrasikan dengan pariwisata, masyarakat yang dulu semangat bertaninya tidak begitu kuat, seiring dengan diintegrasikan dengan pariwisata, itu semakin semangat untuk mengelola pertaniannya.”
Dampak penting lainnya, masyarakat sekitar Nglanggeran pun tidak lagi merasa malu dengan status mereka sebagai warga Gunungkidul.
“Saat ini kami bangga jadi warga Gunungkidul. Kami bangga, bahwa ternyata kita bisa mengelola potensi yang dimiliki desa, ternyata bisa menjadikan masyarakat itu sejahtera,” ujar Trianto.
“Kami buktikan, kalau alam dilestarikan bisa datangkan manfaat bagi desa,” kata Sugeng.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama kumparan dengan ADES. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang ADES Conservacation, klik di sini.