Kontroversi Herd Immunity untuk Atasi Pandemi Corona di Indonesia

14 Mei 2020 3:36 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Virus Corona. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Virus Corona. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Herd immunity kembali menjadi perbincangan di tengah pandemi virus corona yang sedang melanda dunia. Strategi kekebalan komunitas ini merupakan kondisi ketika proporsi populasi yang terinfeksi penyakit menular sudah cukup besar sehingga dapat menghentikan penularan.
ADVERTISEMENT
Namun, ahli berpendapat strategi herd immunity sangat berisiko jika diterapkan di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono.
Di Indonesia, menurut Pandu, herd immunity bisa dicapai bila setidaknya separuh populasi penduduk Indonesia atau sekitar 130 juta warga telah terinfeksi COVID-19, penyakit yang disebabkan virus corona. Ia menilai Indonesia tidak mungkin mencapai herd immunity karena mempunyai populasi penduduk yang besar.
Meski demikian strategi herd immunity tetap sangat berisiko mengorbankan nyawa sebagian besar populasi penduduk berusia tua atau penduduk dengan penyakit penyerta atau komorbid seperti: jantung, hipertensi, dan diabetes. Apalagi persentase tingkat kematian akibat COVID-19 di Indonesia tergolong tinggi, konsisten di sekitar angka 8-9 persen.
Petugas medis dengan APD lengkap bersiap untuk mengambil sampel swab dari warga di pasar tradisional di Bogor, Jumat (8/5). Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
Di samping itu, warga berusia di bawah usia 45 tahun yang memiliki penyakit penyerta tetap menjadi kelompok dengan risiko kematian tinggi jika terinfeksi COVID-19.
ADVERTISEMENT
“Risiko kebijakan herd immunity sangat besar bila diterapkan di Indonesia. Tidak hanya untuk masyarakat berumur di atas 45 tahun. Namun, warga berumur di bawah 45 tahun yang mempunyai penyakit penyerta atau komorbid seperti penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes tetap mempunyai risiko fatalitas tinggi jika terinfeksi COVID-19,” jelasnya.
Menurut Pandu, warga berusia di bawah 45 tahun yang terinfeksi COVID-19 juga berpotensi menjadi super-spreader alias penyebar super. Sebab, kelompok penduduk usia ini seringkali tidak menunjukkan gejala terinfeksi COVID-19 sehingga justru makin membahayakan orang-orang terdekat mereka seperti keluarga.
Menurut data sebaran usia pengidap COVID-19 di Indonesia, mayoritas warga yang terinfeksi penyakit ini justru berusia di bawah 45 tahun. Sebanyak 53,4 persen pasien positif COVID-19 berada di rentang usia tersebut. Sementara persentase pasien berusia lebih dari 45 tahun berjumlah 46,6 persen.
ADVERTISEMENT
"Ada kesalahpahaman. Meskipun warga berusia di bawah 45 tahun yang terinfeksi COVID-19 tidak menunjukkan gejala, hal itu tetap berbahaya. Karena bisa menjadi sumber penularan bagi warga lain," ucap Pandu.
Petugas medis mengambil sampel lendir dari seorang penumpang KRL saat tes swab COVID-19 di Stasiun Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Pandu menambahkan, tingginya angka perokok usia muda ikut meningkatkan risiko kematian akibat COVID-19. Menurutnya, fungsi paru-paru para perokok telah menurun sehingga lebih rentan jika terinfeksi COVID-19.
Ketimbang herd immunity, Pandu menyarankan pemerintah mempertegas aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah atau menerapkan kebijakan PSBB di level nasional. Kebijakan tersebut akan lebih efektif mencegah penularan karena secara geografis Indonesia diuntungkan sebagai negara kepulauan.
"Sebagai negara kepulauan, kebijakan PSBB lebih efektif. Namun, waktu saya usulkan ke pemerintah, usulan kebijakan PSBB berbasis kepulauan ini tidak diterima," kata Pandu.
ADVERTISEMENT
Menurut Pandu, strategi pembatasan sosial atau lockdown telah terbukti efektif menekan laju penularan COVID-19 di sejumlah negara seperti: Australia dan Selandia Baru. Sementara terdapat negara yang memilih menggunakan strategi herd immunity seperti Swedia.
Tapi menurutnya, Swedia tidak bisa disamakan dengan kondisi Indonesia. Sebab, Swedia mempunyai populasi penduduk yang relatif kecil.
Di sisi lain, ia mengkritik rencana relaksasi PSBB di Indonesia karena tidak didasarkan pada indikator epidemiologis, namun ekonomi. Pelonggaran PSBB justru dapat meningkatkan angka penularan dan makin menyulitkan pemulihan ekonomi.
"Ketika pandemi mereda baru kita longgarkan secara bertahap. Secara bertahap itu bukan penduduk usia muda yang kerja duluan. Tapi berdasarkan jenis pekerjaan yang kurang berisiko yang tidak kontak dengan masyarakat luas," jelas Pandu.
ADVERTISEMENT
Sampai Rabu (13/5), kasus positif COVID-19 di Indonesia kembali meningkat. Terdapat penambahan kasus baru sebanyak 689 kasus sehingga total kasus bertambah menjadi 15.438 kasus. Dari angka tersebut, pasien sembuh bertambah menjadi 3.287 orang dan jumlah pasien meninggal mencapai 1.028 orang.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.