Ilustrasi obat virus corona

Kurva Epidemi: Senjata Memahami Penularan Virus Corona

17 Mei 2020 20:32 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
Bagaimana kita bisa memahami penularan COVID-19, yang virusnya tidak kasat mata? Para ahli epidemiologi punya jawabannya: menggunakan kurva epidemi.
Kurva epidemi, secara sederhana, merupakan serangkaian data epidemiologi yang divisualisasi dalam bentuk grafis. Data-data disajikan di antara sumbu X yang menjadi ukuran waktu observasi dan sumbu Y yang menunjukkan acuan jumlah kasus.
Kurva epidemi punya peran penting untuk memahami bagaimana penularan penyakit COVID-19 di dalam komunitas. Menurut Iqbal Ridzi Fahdri Elyazar, Epidemiolog Kolaborator Koalisi LaporCovid, kemampuan membuat kurva epidemi merupakan hal mendasar di bidang kesejahteraan masyarakat.
“Anak-anak Fakultas Kesehatan Masyarakat, di tahun pertamanya saja pasti dapat pelajaran ini,” katanya dalam sebuah forum diskusi webinar, Selasa (12/5).
Indonesia masuk kelompok negara yang perlu melakukan tindakan lebih nyata terkait COVID-19 dan harus segera melakukannya. Ini kelompok negara-negar terentan dalam penanganan corona global. Foto: endcoronavirus.org
Epidemiolog akan menerjemahkan data epidemiologi dari lapangan ke dalam grafis. Di sini, pengumpulan data di lapangan menjadi penting. Setiap pasien, kata Iqbal, memiliki informasi berharga.
Data itu antara lain meliputi: kapan pertama kali pasien menunjukkan gejala, kapan pasien memeriksakan diri ke fasilitas kesehtan, kapan spesimen pasien diambil, kapan spesimen dibawa ke laboratorium COVID-19, kapan hasil tes keluar, hingga kapan pasien sembuh/meninggal, dll.
Paling tidak, menurut Iqbal, “Epidemiolog perlu tahu kapan kira-kira orang ini terinfeksi, kapan orang itu mulai bergejala, kapan orang itu diperiksa. Ini tiga tanggal paling penting dalam ilmu epidemiologi.”
Deretan data itu kemudian diterjemahkan ke dalam kurva untuk mendapat gambaran penularan COVID-19 di masyarakat. Yang paling umum, kurva epidemi digunakan untuk mengetahui laju penularan virus.
Semakin besar selisih pertambahan kasus harian, maka semakin tinggi laju pertumbuhan virus. Demikian pula sebaiknya.
Kegunaan lain, Iqbal mencontohkan, berbekal informasi kapan seseorang mulai tertular hingga kemudian bergejala bisa diketahui periode inkubasi virus di suatu komunitas.
Epidemiolog juga bisa menghitung kapan virus dalam tubuh seseorang yang terinfeksi mulai bisa menular ke orang yang lain. Kurva epidemi bermanfaat sebagai panduan menyusun strategi untuk menekan penularan dan membuat permodelan.
Dengan begitu, kebutuhan tenaga dokter, ruang isolasi, hingga jumlah ventilator bisa diprediksi dan dipersiapkan sebelum tiba masa puncak pandemi COVID-19.
Kurva kasus corona di Jawa Timur. Yang satu ini bukan kurva epidemi. Foto: Dok. Gugus Tugas COVID-19
Yang pasti, kurva epidemi berbeda dengan grafis perkembangan kasus terkonfirmasi COVID-19 di laman resmi Gugus Tugas Penanganan COVID-19. Iqbal mengatakan, grafis tersebut tidak bisa menggambarkan tingkat transimisi virus di masyarakat.
Sebab, data kasus terkonfirmasi mengandalkan data pelaporan hasil laboratorium ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan. Prosedur yang belaku di Indonesia mewajibkan laboratorium COVID-19 melaporkan semua kasus positif ke Balitbangkes.
Lembaga itu yang nanti merekapitulasi semua kasus yang teridentifikasi dari laboratorium seluruh Indonesia. Persoalannya, terdapat jeda pemeriksaan relatif lama antara waktu spesimen diambil dari pasien, diterima laboratorium, hasil tes keluar, hingga kemudian dilaporkan ke Balitbangkes.
Akibatnya, data pelaporan tidak mencerminkan data infeksi harian yang terjadi di lapangan.
“Kita harus berhati-hati untuk menggunakan data yang ada selama ini untuk menilai apakah kasus sudah menurun atau belum, karena ada faktor ini,” Iqbal memperingatkan.
Lain lagi dengan data kurva epidemi yang punya pendekatan berbeda. Kurva epidemi mencatat data epidemiologi seperti kapan pasien mulai bergejala dan kapan spesimen diambil.
“Dua titik itu tidak terpengaruh oleh lamanya pemeriksaan. dia lebih dekat menggambarkan transmisi yang terjadi di komunitas,” Iqbal menjelaskan.
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
Iqbal menduga, pemerintah—khususnya di daerah—punya kurva epidemiologi. Hanya saja, kurva tersebut belum dipublikasikan.
Menurutnya, memang tidak mudah bagi pemerintah pusat untuk mengintegrasikan seluruh data di daerah. Idealnya, kata Iqbal, kurva epidemi pemerintah diungkap ke publik.
Ia melihat bagaimana pemerintah China begitu terbuka berbagi data kurva epidemiologi. Langkah itu penting untuk memberi akses bagi komunitas ilmiah untuk ikut meninjau laju penularan COVID-19.
Tren yang muncul dari kurva epidemi bisa digunakan untuk mengevaluasi efektivitas intervensi pemerintah. Misalnya, Iqbal mencontohkan, untuk mengukur apakah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah berdampak pada pelambatan laju penularan COVID-19 harian.
Epidemiolog akan membandingkan kecenderungan kurva sebelum dan sesudah PSBB diterapkan. Apabila tren laju kasus mengalami penurunan, artinya intervensi menghambat penularan berhasil. Begitu pula sebaliknya.
“Jadi kurva epidemi ini memang populer digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi,” Iqbal menegaskan.
Kurva epidemi corona global per 15 Mei 2020. Foto: Dok. WHO
Dia memberikan catatan bahwa kurva epidemik bersifat unik. Kurva di satu daerah dan daerah lain sudah pasti berbeda.
Kurva di Jawa Barat, Iqbal memberi ilustrasi, akan berbeda dengan kurva di Jakarta. Bahkan, lanjut dia, kurva epidemi Bandung dan Tasikmalaya juga berbeda meski sama-sama berada di Provinsi Jawa Barat.
“Harapan kita, di setiap daerah punya kurva epidemi,” ucap Iqbal.
Kurva epidemi ibarat peta untuk memahami penularan virus corona. Oleh karena itu, data yang detail dan rinci sangat diperlukan untuk meningkatkan akurasi kurva. Tanpanya, epidemiolog seperti dihadapkan pada peta buta.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten