Larangan Vape di Indonesia, Apakah Solusi yang Tepat?

21 November 2019 12:05 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi vape. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vape. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun belakangan, rokok elektronik atau vape mulai menggeser eksistensi rokok konvensional. Namun seiring meningkatnya popularitas vape, pro dan kontra pun makin meningkat. Bahkan kini ada wacana mengenai larangan penggunaan vape di Indonesia menyusul maraknya penyalahgunaan dan kecelakaan akibat vape di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Padahal, awal mula rokok elektronik diciptakan sebagai alat bantu terapi bagi perokok berat. Menurut Consumer Advocates for Smoke Free Alternatives Association (CASAA), prototype rokok elektronik pertama kali diciptakan pada 1930-an silam.
Namun vape baru dikomersilkan sebagai alat terapi kecanduan nikotin oleh seorang apoteker asal China bernama Hon Lik pada tahun 2003. Hon yang juga seorang perokok menciptakan vape modern tersebut setelah melihat ayahnya meninggal akibat kanker paru-paru dari kebiasaan merokoknya yang berat.
Berdasarkan riset terbaru yang dikeluarkan oleh Journal of the American College of Cardiology tahun 2019 berjudul Cardiovascular Effects of Switching from Tobacco Cigarettes to Electronic Cigarettes, vape memiliki kandungan yang lebih aman dibandingkan rokok tembakau.
ADVERTISEMENT
Tim peneliti menemukan fakta bahwa mengganti rokok tembakau dengan rokok elektronik bisa mengembalikan fungsi pembuluh darah hingga 21 persen. Meski begitu, mereka juga tidak menganjurkan vape untuk orang yang belum pernah merokok.
Ilustrasi vape. Foto: REUTERS/Daniel Becerril
Kontroversi mengenai vape dimulai ketika ditemukan sebuah penyakit misterius yang menyerang paru-paru bernama EVALI (e-cigarette or vaping product use-associated lung injury). Berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, dari April 2019, tercatat sebanyak 2.051 kasus EVALI di 46 negara bagian AS, dengan 39 jiwa dilaporkan meninggal dunia.
Kasus ini membuat negara lain mengeluarkan larangan terhadap peredaran dan penggunaan vape secara bebas. Ditambah dengan makin maraknya peredaran vape ilegal yang mengandung bahan-bahan aditif berbahaya. Tak ayal, maraknya kasus penyalahgunaan vape membuat larangan peredarannya tinggal menunggu ketuk palu saja di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Padahal, hasil penyelidikan di Amerika mengemukakan bahwa ternyata 76 persen pasien EVALI diketahui menggunakan vape THC (Tetrahydrocannabinol), yakni suatu bahan psikoaktif yang terdapat pada ganja. Sedangkan 58 persen pasien menggunakan produk vape yang mengandung campuran nikotin dan THC.
Melihat fakta tersebut, apakah pelarangan vape merupakan solusi yang tepat?
Di Indonesia sendiri, adanya wacana pelarangan vape juga menimbulkan pro dan kontra. Wacana larangan vape ini diusulkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan dimasukkan ke dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Menurut seorang peneliti dari Penn State University yang meneliti tentang pembatasan vape, Jonathan Foulds, pelarangan ini tidak menjamin dapat menekan penggunaan vape. Menurutnya, larangan vape justru bisa menciptakan dua kelompok perokok, yaitu orang yang kembali mengonsumsi rokok tembakau, dan orang yang akan membeli vape secara ilegal.
ADVERTISEMENT
"Ini akan berpotensi untuk menurunkan kesehatan masyarakat di Amerika Serikat menuju bencana karena rokok akan terus menjadi produk nikotin yang dominan," ungkapnya dilansir dari The New York Times.
Komentar senada juga diutarakan oleh Penasihat Asosiasi Vapers Indonesia (AVI), Dimasz Jeremia. Ia mengatakan, “Lebih dari 1 juta vaper dewasa di Indonesia akan kembali merokok rokok konvensional dan akibat dari rokok konvensional ini sudah diketahui bukan hanya bahaya tapi fatal.”
Ilustrasi vape. Foto: REUTERS/Kate Munsch
Berbeda halnya dengan beberapa negara yang makin vokal menolak peredaran vape, pemerintah Inggris dan Kanada punya cara tersendiri untuk menekan penggunaan vape di negaranya.
Di Inggris, peredaran vape benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah setempat. Pengguna vape tidak akan menemukan kemasan vape yang berwarna-warni layaknya kemasan vape modern pada umumnya. Sebab, warna mencolok pada kemasan rokok elektronik merupakan salah satu faktor yang menarik perhatian anak-anak dan remaja di bawah umur.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sejak 2016, pemerintah Inggris telah mengeluarkan adanya batas kadar nikotin pada cairan vape yang harus dipatuhi. Sebagai informasi, kadar nikotin maksimal pada cairan vape adalah 20 mg/ml.
Sejalan dengan Inggris, pemerintah Kanada juga telah menerapkan regulasi mengenai produk alternatif tembakau di negaranya. Di negara daun maple ini, vape dilarang keras untuk orang berusia di bawah 19 tahun. Rokok elektrik juga tidak diperbolehkan untuk digunakan di tempat-tempat umum, seperti stasiun, jalanan, hingga kawasan perkantoran.
Pembatasan vape yang diatur secara serius di dua negara tersebut ternyata bisa menekan penyalahgunaan vape. Tak hanya itu, adanya regulasi yang dibuat secara serius juga akan memudahkan pemerintah mengawasi peredaran vape secara legal.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menurutmu?
Story ini merupakan kerja sama dengan Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (APPNINDO)