Lebih Buruk dari Covid, Polusi Udara Bunuh 7 Juta Jiwa Setiap Tahun

24 September 2021 16:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga berjemur dengan latar belakang gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (20/4/2021). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga berjemur dengan latar belakang gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (20/4/2021). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini setiap tahun, menurut keterangan terbaru WHO. Organisasi kesehatan dunia itu pun menyiapkan pedoman kualitas udara baru supaya memacu negara-negara menuju energi bersih dan mencegah kematian dan penyakit yang disebabkan oleh polusi udara.
ADVERTISEMENT
Pedoman baru ini, yang diumumkan pada Rabu (22/9), menargetkan pembatasan bagi 6 jenis polutan, termasuk ozon, sulfur dioksida, karbon monoksida, partikulat (PM 2,5 dan PM 10), dan nitrogen dioksida. Menekan polusi ini disebut WHO dapat menyelamatkan "jutaan nyawa."
“Setiap tahun, paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan 7 juta kematian dini dan mengakibatkan hilangnya jutaan kehidupan yang lebih sehat,” tulis WHO dalam situs resminya.
WHO menjelaskan bahwa paparan polusi udara pada anak-anak dapat memicu penurunan pertumbuhan dan fungsi paru-paru, infeksi pernapasan, dan asma. Pada orang dewasa, polusi udara dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik hingga stroke.
“Ini menempatkan beban penyakit yang disebabkan oleh polusi udara setara dengan risiko kesehatan global utama lainnya seperti pola makan yang tidak sehat dan merokok tembakau,” tutur WHO.
Latar belakang gedung bertingkat yang tersamar polusi di kawasan Gatot Subroto, Jakarta, Minggu (28/7/2019). Foto: AFP/Bay Ismoyo
Pedoman kualitas udara terbaru dari WHO membatasi konsentrasi PM 2.5 tahunan rata-rata tidak boleh lebih tinggi dari 5 mikrogram per meter kubik. Batas ini lebih rendah 2 kali lipat ketimbang pedoman WHO sebelumnya yang dirilis pada 2005 lalu, yang menentukan bahwa batas konsentrasi PM 2.5 tahunan pada 10 mikrogram.
ADVERTISEMENT
PM sendiri merupakan singkatan dari particulate matter. PM 2,5 merujuk kepada partikel halus polusi udara yang berukuran 2,5 mikrometer – atau kurang dari sepertiga puluh lebar rambut manusia. PM 2,5 merupakan ukuran partikel polusi udara yang cukup kecil untuk masuk ke dalam paru-paru dan aliran darah.
“Hampir 80% kematian yang terkait dengan PM 2,5 dapat dihindari di dunia jika tingkat polusi udara saat ini dikurangi menjadi seperti yang diusulkan dalam pedoman yang diperbarui,” jelas WHO.
WHO terakhir mengeluarkan pedoman kualitas udara pada tahun 2005. WHO mengatakan bahwa pedoman baru diperlukan usai semakin banyak bukti bahwa polusi udara dengan konsentrasi yang rendah ternyata dapat berdampak pada kesehatan.
"Bukti yang terkumpul cukup untuk membenarkan tindakan untuk mengurangi paparan populasi terhadap polutan udara utama, tidak hanya di negara atau wilayah tertentu tetapi dalam skala global," kata WHO.
Perubahan pedoman kualitas udara WHO. Foto: WHO
Pedoman kualitas udara baru dari WHO muncul ketika para pemimpin dunia bertemu di New York, AS, untuk Sidang Umum PBB ke-76 guna mengatasi krisis pandemi COVID-19 dan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
"Pedoman ini memperkuat perlunya tindakan segera yang akan bermanfaat bagi kesehatan semua, termasuk populasi yang rentan," kata Dorota Jarosińska, program manajer WHO Europe sekaligus peneliti yang membantu mengembangkan pedoman baru, kepada CNN.
"Ini menciptakan skenario triple-win untuk kepentingan kualitas udara, aksi iklim dan kesehatan, dan merupakan salah satu elemen yang didalilkan oleh Manifesto WHO untuk pemulihan yang sehat dari COVID-19."
Pedoman baru WHO mendukung penelitian terbaru yang menemukan bahwa polusi udara kemungkinan besar merupakan faktor yang berkontribusi terhadap beban kesehatan yang disebabkan oleh COVID-19.
Partikel halus, misalnya, terkait dengan sejumlah komplikasi kesehatan termasuk asma, penyakit jantung, bronkitis kronis, dan penyakit pernapasan lainnya. Kondisi tersebut merupakan penyebab orang rentan terhadap gejala parah COVID-19, yang kini telah menyebabkan kematian lebih dari 4,55 juta jiwa di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT