Lembaga Eijkman Prediksi soal Puncak dan Akhir Pandemi Virus Corona di Indonesia

9 April 2020 6:37 WIB
comment
20
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengamanan pemakaman jenazah yang terinfeksi virus corona di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat. Foto: Dok. Polda Metro Jaya
zoom-in-whitePerbesar
Pengamanan pemakaman jenazah yang terinfeksi virus corona di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat. Foto: Dok. Polda Metro Jaya
ADVERTISEMENT
Berbagai protokol pencegahan telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menekan laju penyebaran virus corona. Salah satunya dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah yang terdampak COVID-19.
ADVERTISEMENT
Banyak ilmuwan yang telah memprediksi kapan pandemi virus corona berakhir. Mereka menggunakan berbagai macam pemodelan dan perhitungan matematis. Tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI), misalnya, keduanya melakukan studi untuk melihat seberapa parah kasus virus corona di Indonesia jika dikaji secara ilmiah.
Menanggapi hal itu, Prof Amin Soebandrio, selaku Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, punya perhitungan sendiri ihwal penentuan kapan puncak dan akhir wabah SARS-CoV-2 di Indonesia.
Menurutnya, dengan melihat situasi dan tren kasus saat ini, puncak pandemi virus corona diperkirakan akan terjadi pada bulan Mei atau Juni mendatang. Sementara laporan kasus COVID-19 diprediksi akan menurun pada akhir Juni 2020.
Petugas bersiap memakamkan jenazah seorang pria yang meninggal karena virus corona (COVID-19) di Dhaka, Bangladesh, Senin (6/4). Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
“Berdasarkan pergerakan dan situasi saat ini, sepanjang yang bisa saya amati, pandemi virus corona akan berakhir sekitar akhir Mei atau Juni 2020. Puncaknya terjadi pada minggu kedua atau ketiga bulan Mei. Satu bulan dari sekarang kira-kira,” ujar Prof Amin saat melakukan wawancara dengan kumparan, Rabu (8/4).
ADVERTISEMENT

Mencegah lonjakan kasus saat puncak pandemi

Kendati begitu, menurut Prof Amin, yang terpenting dalam menghadapi wabah SARS-CoV-2 ini bukanlah menentukan kapan puncak dan akhir pandemi terjadi, namun apa yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk menekan kurva (menghambat penyebaran) kasus virus corona ketika wabah memasuki puncak pandemi.
“Jika kurva tidak terlalu tinggi, maka pasti jumlah kasusnya tidak terlalu banyak, dan angka kematian juga tidak terlalu tinggi. Saya kira ini akan terjadi selama kurang lebih sama, satu atau dua minggu,” katanya.
Prof Amin memaparkan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menekan kasus COVID-19, salah satunya dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sekarang telah berlaku di beberapa wilayah.
ADVERTISEMENT
Dalam PSBB diatur beberapa protokol pencegahan, seperti physical distancing, work from home (WFH), pembatasan moda transportasi umum, pelarangan acara kebudayaan, dan lain-lain. Hal-hal inilah yang sebetulnya harus segera dijalankan oleh masyarakat. Begitupun pemerintah yang harus segera melakukan intervensi tinggi dalam menerapkan PSBB.
Sebab bagaimanapun, virus corona ditularkan antarmanusia melalui kontak dekat. Dengan menerapkan protokol pencegahan, diharapkan penyebaran SARS-CoV-2 akan semakin menurun.
PSBB yang bakal diterapkan di Jakarta, misalnya. Harus diingat bahwa ada jutaan orang yang hidup di Jakarta. Dari jutaan orang itu, sebagian besar datang dari luar Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Mereka memenuhi kota Jakarta pada siang hari, dan kembali ke daerah penyangga pada malam hari.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, populasi manusia di Jakarta pada siang hari akan meningkat secara tajam selama PSBB berlangsung. Maka, hal itu akan menyebabkan kepadatan populasi di Jakarta di siang hari, dan bisa memiliki konsekuensi yang cukup fatal, salah satunya terjadi pergeseran episentrum penyebaran virus corona selama PSBB berlangsung.
Artinya, orang yang pulang dari Jakarta ke daerah penyangga berpotensi menyebarkan virus di daerah tempat tinggalnya jika mereka tak sengaja terpapar COVID-19, baik itu saat di perjalanan menggunakan moda transportasi umum maupun ketika berada di ruangan tertentu.
Seorang dokter menunjukkan alat tes swab virus Corona berupa Polymerase Chain Reaction diagnostic kit (PCR) di Laboratorium Rumah Sakit Pertamina Jaya. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
“Yang harus kita lakukan adalah memantau mereka yang tetap tinggal di daerahnya selama 14 hari saat PSBB. Ini harus kita jaga jangan sampai mereka jadi episentrum yang baru. Jadi, ibaratnya seperti mengosongkan satu bejana, tapi dengan cara menggeser ke sampingnya saja,” ujar Prof Amin.
ADVERTISEMENT
“Nanti, ketika PSBB sudah selesai, yang dari daerah penyangga akan kembali ke Jakarta, kalau mereka tidak dijaga dengan memastikan bahwa mereka bebas dari virus, maka epidemi akan kembali lagi seperti semula seperti sebelum PSBB terapkan.”
Oleh karena itu, selama PSBB berlangsung dan aktivitas publik belum dilarang sepenuhnya, pemerintah harus memastikan orang-orang yang datang dari luar daerah Jakarta terbebas dari virus corona. Begitupun sebaliknya, pemerintah juga harus memastikan masyarakat yang tinggal di Jakarta terbebas juga dari virus corona.
Semua ini bisa dilakukan dengan mengadakan tes massal. Semua masyarakat yang tinggal di Jakarta, baik yang sudah ada gejala ataupun belum ada gejala, diwajibkan melakukan tes COVID-19 guna memastikan tidak ada transmisi lokal.
ADVERTISEMENT
“Jadi, kalau perlu mereka ini kita pantau, kita cek, dilakukan screening untuk memastikan tidak ada yang membawa virus. Itu harus ditangani dalam waktu yang sama, 14 hari ini,” katanya.
Sekali lagi, penerapan PSBB memang penting dilakukan untuk menghambat penyebaran virus corona. Namun, jangan sampai setelah PSBB dihentikan, akan terjadi pandemi gelombang kedua yang memaksa situasi kembali seperti semula, dan membuat pandemi COVID-19 semakin lama.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!