Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Magma Gunung Toba Rupanya Masih Aktif, Simpan Risiko Bencana Ribuan Tahun
8 September 2021 6:37 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Magma Gunung Toba di Sumatera ternyata masih aktif, menurut riset terbaru. Sisa gunung legendaris tersebut diam-diam menyimpan risiko bencana selama ribuan tahun.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan tersebut disampaikan tim peneliti internasional dalam artikel ilmiah di jurnal Nature - Earth and Environmental Sciences yang dipublikasi pada 6 September 2021. Dengan temuan bahwa magma Gunung Toba masih aktif, peneliti mendesak adanya penelitian baru untuk memprediksi potensi bencana gunung meletus yang mungkin muncul.
Gunung Toba merupakan supervolcano yang letusannya paling dahsyat sepanjang sejarah. Ia meletus pada 74 ribu tahun yang lalu, meninggalkan kaldera besar yang kini dikenal sebagai Danau Toba, dan membuat manusia di zaman tersebut hampir punah karena perubahan iklim.
Supervolcano sendiri merujuk kepada gunung berapi yang memiliki setidaknya satu ledakan berkekuatan 8 dalam Volcanic Explosivity Index (VEI). Ini merupakan indeks tertinggi erupsi, yang berarti gunung tersebut telah melepaskan lebih dari 1.000 kilometer kubik material. Sebagai perbandingan betapa kacaunya letusan gunung supervolcano, letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 "hanya" memiliki nilai 7 VEI.
Martin Danišík, penulis utama studi sekaligus associate professor di pusat riset John de Laeter Center Curtin University, menyebut bahwa gunung supervolcano seperti Gunung Toba sering meletus beberapa kali dengan interval puluhan ribu tahun.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, hingga kini tidak diketahui apa yang terjadi selama gunung supervolcano memasuki periode tidak aktif.
"Memperoleh pemahaman tentang periode tidak aktif yang panjang itu akan menentukan apa yang kita cari di gunung berapi super aktif muda untuk membantu kita memprediksi letusan di masa depan," kata Danišík dalam keterangan resminya di situs web universitas, Senin (6/9).
“Mempelajari cara kerja supervolcano penting untuk memahami ancaman masa depan dari letusan super yang tak terhindarkan, yang terjadi sekitar 17.000 tahun sekali.”
Nah, untuk memahami apa yang terjadi usai supervolcano meletus, tim peneliti menganalisis kondisi magma yang tersisa usai letusan super Gunung Toba melalui mineral feldspar dan zirkon. Dengan menggunakan data geokronologis, statistik, dan pemodelan termal, mereka menemukan bahwa ternyata magma sisa Gunung Toba terus mengalir di dalam kaldera.
ADVERTISEMENT
“Kami menunjukkan bahwa magma terus mengalir keluar di dalam kaldera, atau depresi dalam yang diciptakan oleh letusan magma, selama 5.000 hingga 13.000 tahun setelah letusan super, dan kemudian karapas dari magma sisa yang padat didorong ke atas seperti cangkang kura-kura raksasa,” kata Danišík.
Danišík mengatakan bahwa temuan tim penelitiannya menantang pengetahuan yang sudah ajeg bahwa gunung tak lagi aktif jika tidak ditemukan magma cair. Dengan demikian, ilmu vulkanologi mesti memikirkan kembali faktor penentu sebuah gunung dapat meletus.
Selain itu, Danišík dan timnya juga menganggap bahwa sisa magma Gunung Toba mungkin dapat meletus di masa depan.
“Kita sekarang harus mempertimbangkan bahwa letusan dapat terjadi bahkan jika tidak ada magma cair yang ditemukan di bawah gunung berapi – konsep tentang apa yang 'dapat meletus' perlu dievaluasi kembali,” ujar Danišík.
ADVERTISEMENT
“Sementara letusan super dapat berdampak secara regional dan global dan pemulihan mungkin memakan waktu beberapa dekade atau bahkan berabad-abad, hasil kami menunjukkan bahaya belum berakhir dengan letusan super dan ancaman bahaya lebih lanjut ada selama ribuan tahun setelahnya,” sambungnya.
Bagaimanapun, peristiwa letusan gunung supervolcano sangat jarang terjadi. Sebuah letusan mega-kolosal seperti Gunung Toba biasanya cuma terjadi sekali setiap 10.000 hingga 100.000 tahun.
Menurut riset dari tim peneliti internasional lain di jurnal Nature pada 27 Juli 2021, setidaknya ada 13 erupsi supervolcano yang telah terjadi selama dua juta tahun terakhir.
Letusan super ini berkisar dari letusan Gunung Taup di Selandia Baru pada lebih dari 24 ribu tahun yang lalu, letusan Gunung Toba, hingga letusan super yang tertua di Yellowstone di AS pada dua juta tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Meski mengetahui jumlah letusan, para peneliti ternyata enggak bisa menemukan penjelasan untuk memprediksi mekanisme, waktu, dan ukuran erupsi super.
"Ketidakpastian yang terkait dengan peristiwa ini (erupsi super) membuatnya sangat menantang untuk menentukan kapan dan bagaimana gunung berapi ini berpotensi meletus di masa depan,” kata anggota penulis sekaligus peneliti dari Universitas Cardiff, George Cooper, dalam keterangan resminya.