Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan hingga kini masih terus berlanjut. Musim kemarau yang belum berakhir, semakin memperparah kondisi di lokasi terjadinya karhutla.
ADVERTISEMENT
Jadwal penerbangan di sejumlah kota terganggu, banyak sekolah terpaksa diliburkan, dan bahkan baru-baru ini langit di Jambi berubah menjadi merah akibat cahaya matahari yang terhalang oleh tebalnya kabut asap.
Selain itu, berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 1 orang tewas dan lebih dari 900 ribu warga di Sumatera dan Kalimantan terkena infeksi sistem pernapasan atas (ISPA) akibat bencana kabut asap karhutla ini.
Untuk menangani masalah karhutla dan kabut asap yang ditimbulkannya, selain menggunakan pemadaman di jalur darat, ada juga cara lain yang juga bisa digunakan, yakni menciptakan hujan buatan.
Dua Jenis Hujan Buatan
Menurut Tri Handoko Seto, Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT, ada dua metode yang digunakan dalam pembuatan hujan buatan. Pertama adalah metode Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), yang kedua adalah water bombing.
ADVERTISEMENT
“Dengan water bombing, hujan bisa lebih diarahkan ke tempat terjadinya kebakaran, Sementara kalau pake TMC ini, sifatnya cenderung lebih sporadis,” ujar Seto saat dihubungi kumparanSAINS, Senin (23/9) malam.
Kendati begitu, water bombing dinilai kurang efektif mengingat air yang bisa dibawa oleh pesawat sangat terbatas, yakni maksimal sekitar 8 meter kubik. Berbeda dengan TMC yang bisa menghasilkan air sangat banyak, meski air yang dihasilkan tidak bisa diarahkan.
Untuk TMC, metode ini dilakukan untuk membantu krisis sumber daya air yang disebabkan oleh faktor iklim dan cuaca, dengan cara memberikan rangsangan atau penyemaian pada awan. Pendek kata, TMC merupakan bentuk intervensi atau campur tangan manusia terhadap proses-proses cuaca yang terjadi di atmosfer, sehingga terjadilah proses penumpukan penggabungan butir-butir air di dalam awan yang kemudian berubah menjadi hujan.
Sebelum proses TMC dilakukan, ada beberapa persiapan yang mesti dikerjakan terlebih dahulu, seperti persiapan koordinasi dan persiapan teknis. Persiapan teknis meliputi beberapa tahap, seperti memodifikasi pesawat agar bisa digunakan untuk membuat hujan, mendatangkan pesawat ke lokasi, menyiapkan sumber daya manusia (SDM), serta menyiapkan bahan-bahan untuk merangsang awan.
ADVERTISEMENT
Seto menjelaskan, pertama-tama yang harus dilakukan untuk membuat TMC adalah memonitor cuaca. Pemantauan tersebut dilakukan oleh BPPT dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan menggunakan alat seperti radar cuaca.
“Pagi-pagi kita mengukur data cuaca, analisis datanya terdiri dari prediksi awan, lalu dilakukan monitoring pertumbuhan awan, lalu melihat arah angin. Setelah semuanya dilakukan, kemudian pesawat yang didesain khusus akan terbang membawa bahan untuk dilakukan penyemaian,” ujar Seto.
Bahan penyemaian dalam TMC adalah berupa kapur tohor (CaO) dan garam (NaCl) yang dirancang sesuai standar. Standar tersebut mesti memiliki tingkat kekeringan dan kehalusan yang sesuai.
“Ukurannya (butiran kapur tohor dan garam) biasanya 30 mikron. Ini digunakan untuk mengumpulkan uap air yang ada di awan. Setelah terkumpul dan membesar, akan terjadi pergolakan mencapai ukuran 1 mili, dan akan jatuh menjadi hujan,” paparnya.
Dua Tahap Penyemaian
ADVERTISEMENT
Penyemaian dalam TMC ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pada pagi hari tim akan menaburkan kapur tohor dengan tujuan untuk mengurai dan menipiskan kabut asap guna memudahkan pertumbuhan awan-awan potensial.
Setelah itu, pada siang dan sore hari, tim akan melakukan penyemaian menggunakan garam. Setelah garam disemai, maka akan dilakukan pemantauan secara terus menerus menggunakan monitor untuk mengamati hasil penyemaiannya.
“Ini juga tergantung kondisi alam, bisa 10 menit kemudian terjadi hujan, 1 jam kemudian, atau bahkan 4 jam kemudian, tergantung kandungan awan di udara,” kata Seto.
Pada Senin (23/9), BPPT telah menerapkan TMC di langit Jambi dan Riau melalui dua tahap penyemaian yang telah disebutkan di atas. Sebelumnya, BPPT telah menyiapkan 40 ton kapur tohor di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timun, yang siap untuk diterbangkan ke beberapa provinsi terdampak karhutla seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
Untuk menaburkan kapur tersebut dan juga garam, BPPT menggunakan tiga jenis pesawat yakni Cassa 212 dengan kapasitas 800 kilogram, CN 295 dengan kapasitas 2,4 ton, dan pesawat Hercules C 130 dengan kapasitas 4-5 ton.