Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Berbagai perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri farmasi bergandeng tangan mengerahkan upaya untuk menemukan senjata melawan corona. Mereka mencari suplemen penguat daya tahan tubuh dan obat-obatan untuk melawan corona. Namun, semua usaha itu tak akan optimal bila pemerintah sebagai nakhoda justru tak punya arah yang jelas dalam memandu kapal melewati badai pandemi.
“Kita masih ketinggalan jauh, bukan hanya Indonesia ya, tapi seluruh dunia masih ketinggalan (kalah) dibandingkan dengan si virusnya (corona) itu sendiri,” ujar Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro dalam live streaming bersama kumparan, Jumat (8/5).
Kemenristek mendorong agar para ilmuwan Indonesia dapat menemukan suplemen dan vaksin virus corona. Hal tersebut ia lakukan melalui pembentukan konsorsium riset dan inovasi COVID-19 untuk merampungkan vaksin, alat deteksi, dan obat virus corona SARS-CoV-2 dalam waktu 12 bulan. Target yang terbilang cukup cepat.
Konsorsium riset dan inovasi COVID-19 terdiri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan beberapa lembaga nonkementerian serta perguruan tinggi di Indonesia. Termasuk juga industri farmasi seperti PT Bio Farma dan PT SOHO, serta para peneliti diaspora Indonesia di luar negeri yang bersinergi dalam menghasilkan kajian atau inovasi untuk menangani darurat COVID-19.
Konsorsium ini memiliki tiga prioritas, yaitu jangka pendek yang berfokus pada penelitian dan kajian sistematik terhadap berbagai aspek dari COVID-19. Target ini juga mencakup penelitian terkait tanaman herbal yang berpotensi untuk mencegah COVID-19, pengembangan Alat Pelindung Diri (APD), dan lainnya seperti masker, hand sanitizer, serta sterilization chamber (tenda sterilisasi virus corona)
Kedua, ada prioritas jangka menengah. Prioritas ini, menurut Menteri Bambang, berfokus pada pengembangan dan pengkajian rapid test kit untuk deteksi awal maupun akhir COVID-19. Selanjutnya, prioritas ketiga dari konsorsium COVID-19 berfokus pada pengkajian dan pengembangan obat dan vaksin, termasuk kajian terhadap avigan, chloroquine, dan lainnya.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute menjadi salah satu institusi terdepan yang ditugasi untuk meriset dan menghasilkan vaksin. Permintaan tersebut disampaikan langsung oleh Bambang kepada Direktur LBM Eijkman Institute, Amin Soebandrio, sejak kasus COVID-19 resmi diumumkan pemerintah pada awal Maret.
Terkait perkembangan pembuatan vaksin corona, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut menjelaskan saat ini Eijkman masih di tahap awal pengembangan. “Untuk saat ini, kami masih di tahap awal sekali, masih dalam pengembangan proteinnya. Calon antigennya,” jelas Amin saat dihubungi kumparan melalui sambungan telepon, Selasa (12/5).
Jika telah ditemukan bagian virus yang dapat dijadikan antigen, antigen tersebut dapat diuji. Urutan pengujiannya diawali dengan hewan yang kecil, lalu jika berhasil berlanjut ke yang lebih besar seperti monyet, kemudian baru diuji kepada manusia secara terbatas, dan selanjutnya ke populasi lebih luas.
Kemudian saat sudah lolos uji ke manusia, vaksin akan diproduksi massal oleh Bio Farma. “WHO memprediksi butuh 18 bulan. Harus kita bagi dua, ada fase di laboratorium dan setelah itu baru diserahkan ke industri. Kita sudah punya pengalaman dulu waktu flu burung, itu juga dalam waktu kurang dari setahun sudah bisa jadi vaksinnya, artinya bibit vaksinnya,” jelasnya.
Pembuatan vaksin virus ini bukanlah suatu hal yang mudah dan murah, apa lagi vaksin untuk COVID-19 di Indonesia. Sementara itu, pihaknya masih terkendala dalam hal ketersediaan reagen, belum lagi soal dana yang perlu dihemat.
Menurut catatan WHO hingga 15 Mei 2020, ada 118 lembaga atau perusahaan yang tengah mengembangkan vaksin COVID-19. Dari ratusan jumlah itu, 8 di antaranya sedang masuk tahap uji klinis fase 1 dan fase 2 terhadap manusia dan populasi tertentu.
Kandidat vaksin dibuat baik melalui jalan vaksin berbasis DNA atau RNA yang melibatkan manipulasi dan modifikasi genetis, ataupun jalan konvensional menggunakan virus yang telah dilemahkan untuk kemudian direkayasa agar bisa mendorong respons imun tubuh.
Bambang mengatakan, jika WHO mengumumkan adanya vaksin, maka Indonesia akan memperbanyak sendiri vaksin tersebut. “Strategi terbaik kalau vaksin sudah ditemukan, kita harus membeli vaksin yang sudah diproduksi tersebut, sehingga nanti kita dapat memperbanyaknya secara mandiri. Hal itu bisa kita lakukan di Indonesia,” ujar Bambang.
Selain berupaya mencari vaksin COVID-19, Tim Konsorsium COVID-19 Kemenristek juga menyiapkan beberapa inovasi. Salah satunya dari LIPI yang membuat prototipe alat sterilisasi virus bernama airborne sterilizer. Alat ini diklaim dapat mengeluarkan nano zone yang dapat menangkap dan menghancurkan virus corona SARS-CoV-2.
LIPI dan lembaga lain juga mengembangkan mobile disinfection chamber atau tenda disinfeksi virus corona yang berfungsi sebagai alat sterilisasi untuk uang kertas dan logam. Ada juga APD ramah lingkungan bagi tenaga medis, mulai dari jas lab, penutup kepala, dan masker.
“Sedangkan klaster besar yang sedang dilakukan LIPI adalah mencari obat herbal asli Indonesia yang bisa menjadi kandidat imunomodulator peningkatan daya tahan tubuh,” ujar Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Puspita Lisdiyanti saat dihubungi kumparan melalui sambungan telepon, Kamis (14/5).
Lebih lanjut, Puspita memaparkan bahan-bahan herbal yang terdiri dari jahe merah, meniran, jamur cordyceps, dan sambiloto tersebut mengandung senyawa aktif yang berperan sebagai suplemen antivirus sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Komposisi tersebut sudah masuk tahap uji klinis hasil kerja sama dengan Kalbe Farma. Selain itu, LIPI sedang mengembangkan ekstrak daun ketepeng badak dan benalu sebagai obat herbal antivirus COVID-19.
Tak ketinggalan, sejumlah perguruan tinggi yang terlibat konsorsium riset dan inovasi COVID-19 juga ikut andil dalam mengembangkan ventilator untuk membantu pengobatan pasien positif COVID-19.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan, ventilator buatan dalam negeri untuk membantu pasien virus corona sedang diuji klinis. Sejumlah perguruan seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung terlibat dalam pengembangan ventilator ini.
“Kebetulan ada empat jenis ventilator yang dikembangkan di BPSK. Ventilator UI dan ITB sudah selesai, saat ini lagi uji klinis. Nah, yang dari BPPT lagi uji endurance,” ujar Bambang.
Di luar konsorsium riset dan inovasi COVID-19 yang dibentuk oleh Kemenristek, sejumlah peneliti dalam negeri juga berupaya menguji temuan formula maupun senyawa obat dan vaksin untuk corona. Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF) Chairul Anwar Nidom menemukan tiga formula obat berbahan dasar herbal atau alami dari empon-empon.
Kepada kumparan, ia bercerita bahwa penelitiannya dimulai sejak Februari sebelum pemerintah mengumumkan kasus positif COVID-19 di Indonesia secara resmi. “Pada waktu itu ada kegelisahan di masyarakat karena menghadapi corona, apa yang harus disiapkan,” ucapnya. Ia pun kembali membuka risetnya terdahulu terkait empon-empon.
“Saat itu kan pemerintah juga nggak memberi jawaban pasti, sementara terjadi debat di masyarakat,” jelasnya saat dihubungi kumparan, Selasa (12/5). Bahan-bahan herbal yang relatif bisa dijangkau oleh masyarakat itu dulu sempat ia teliti kegunaannya ketika kasus flu burung marak di Indonesia.
“Waktu itu kami melakukan pendekatan dengan empon-empon karena ada bahan aktif kurkumin yang dapat mengendalikan produksi sitokin yang dapat merusak sel paru akibat terjangkit virus,” ucapnya.
Nidom menjelaskan, saat virus masuk ke dalam sel paru, maka ia akan memperbanyak diri. Baik virus corona maupun flu burung, mereka akan mendorong tubuh mengeluarkan sitokin inflamasi (protein yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh) yang justru merusak sel-sel paru. Kondisi tersebut disebut badai sitokin, reaksi berlebih sistem kekebalan tubuh terhadap benda asing.
“Nah, jadi itu sebenarnya problemnya. Badai sitokinnya yang menjadi fatal, bukan virusnya. Lantas bagaimana mengendalikan agar orang itu tidak fatal akibat terinfeksi virus? Maka salah satunya adalah dengan mengendalikan produksi sitokin inflamasi dengan kurkuma yang terkandung dalam empon-empon. Jadi produksi sitokin inflamasi terkendali sehingga sel-sel paru yang sebelahnya tidak banyak rusak,” paparnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Nidom, bahan-bahan yang terdiri atas jahe, kunyit, sereh, temulawak dibuat menjadi 10 macam formula dengan perbedaan jumlah atau timbangannya. Setelah itu 10 formula diuji kepada hewan ferret.
Hasilnya, hanya ada tiga formula yang dapat menurunkan konsentrasi virus. Ketiga formula itu kini sudah diserahkan kepada produsen, PT Hanabio, untuk diproduksi massal.
Sementara vaksin masih dicari, para peneliti virus corona terus berkejaran dengan angka kasus positif COVID-19 yang kian tinggi. Kondisi semakin sulit akibat simpang siur rencana relaksasi PSBB yang kian santer terdengar.
Wacana relaksasi PSBB pertama kali disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD yang mengatakan relaksasi PSBB diperlukan agar perekonomian tetap berjalan. Mantan Hakim MK itu menilai ketatnya kebijakan PSBB di sejumlah wilayah selama ini membuat masyarakat kesulitan mencari nafkah.
Wacana itu disusul pelonggaran kebijakan transportasi yang ditetapkan Menhub Budi Karya Sumadi pekan lalu. Kemudian wacana relaksasi di rumah ibadah yang direncanakan Menag Fachrul Razi.
Di tengah perkembangan kasus infeksi COVID-19 di tanah air, rencana relaksasi PSBB pun menuai kritik. Menurut Kepala Departemen Epidemiologi FKM Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko relaksasi PSBB tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa mempertimbangkan kondisi yang ada di lapangan, sebab dari data yang ada temuan kasus positif COVID-19 semakin banyak.
“Sekarang kira-kira sudah ada 600-an kasus baru per harinya, jadi bisa dibayangkan penularannya kalau dibiarkan. Orang sakitnya ada 15 ribu sekarang, yang mati 10 persennya bisa mencapai 1500. Kalau 6 persennya yang mati ya kira-kira 1000-an,” ujar Tri Yunis Miko saat dihubungi kumparan melalui sambungan telepon, Kamis (14/5).
Menurutnya, jika pemerintah ingin merelaksasi PSBB harus memperhatikan bukti-bukti kajian di lapangan dan evaluasi kebijakan PSBB yang telah diterapkan. Jika tidak, maka itu sama saja dengan membiarkan masyarakat mati.
Miko berpendapat, relaksasi PSBB tidak bisa dilakukan sembarangan. Idealnya relaksasi dapat dilakukan saat kurva kasus positif penambahan jumlah pasien terlihat landai. “Paling aman itu kalau sudah tercatat penambahan kasus baru itu nol. Jadi nggak ada penambahan kasus baru. Baru mulai perlahan bisa dilepas,” jelasnya.
Namun, nyatanya antrean mudik di bandara maupun pelabuhan kadung membeludak sebagai imbas dari kebijakan pemerintah. Sejumlah tenaga kesehatan pun kecewa melihat realita di lapangan yang justru semakin meningkatkan risiko penularan COVID-19 yang tak terkontrol.
Menangani COVID-19, tak bisa hanya berharap pada vaksin dan upaya ilmuwan menemukan obat-obatan. Tapi juga kebijakan yang tepat untuk menahan laju penularan. Jika tidak, maka sebelum vaksin ditemukan, bisa jadi fasilitas dan tenaga kesehatan ambruk lebih dulu dan tak terbayang berapa jumlah warga yang akan jadi korban.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.