Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
ADVERTISEMENT
Hampir seluruh dunia saat ini sedang berjibaku melawan penyebaran virus corona . Sayangnya, dalam proses itu, banyak petugas kesehatan terinfeksi COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona SARS-CoV-2. Sehingga menyebabkan pelayanan kesehatan tidak optimal.
ADVERTISEMENT
Dibanding negara lain di dunia, Singapura menjadi salah satu negara yang para petugas kesehatannya hanya sedikit terinfeksi COVID-19. Apa kuncinya?
Menurut laporan South China Morning Post, faktor persiapan, perencanaan, rasio pasien, dan peralatan pelindung semuanya telah berperan dalam melindungi para petugas kesehatan Singapura dari ancaman infeksi virus corona.
Di tengah perang melawan COVID-19 , seringkali Singapura dijadikan contoh untuk ditiru oleh negara lain. Meskipun negara itu masih bergulat dengan jumlah pasien yang meningkat, namun sistem perawatan kesehatannya terus berjalan dengan lancar.
Salah satu kunci menyebutkan para petugas kesehatan Singapura telah bersiap untuk menghadapi pandemi, sejak wabah SARS pada tahun 2003. Selama wabah SARS terjadi petugas kesehatan menyumbang 41 persen dari 238 infeksi di Singapura. Hal ini membuat Singapura belajar untuk menghadapi pandemi selanjutnya.
Pakar penyakit menular, Leong Hoe Nam mengatakan bahwa wabah SARS (sindrom pernafasan akut yang parah) pada tahun 2003 telah mempersiapkan Asia untuk COVID-19, sementara negara-negara Barat tidak memiliki persiapan yang sama, sehingga banyak kekurangan alat pelindung yang memadai.
ADVERTISEMENT
Sejak awal pandemi corona, banyak rumah sakit di Singapura bersiap diri, memberi tahu staf untuk menunda cuti dan rencana perjalanan setelah kasus pertama muncul. Sementara itu, rumah sakit dengan cepat membagi tenaga kerja mereka menjadi beberapa tim untuk memastikan ada cukup pekerja jika wabah memburuk, dan untuk memastikan para pekerja mendapat istirahat yang cukup.
Singapura memiliki 13.766 dokter, atau 2,4 dokter untuk setiap 1.000 orang. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduknya. Negara seperti Myanmar dan Thailand memiliki kurang dari satu dokter untuk setiap 1.000 orang.
Rasio dokter-pasien yang baik bisa memastikan ada kecukupan spesialis untuk pekerjaan kritis, seperti dokter dan perawat yang dapat memberikan perawatan intensif, mengetahui cara mengoperasikan ventilator atau mesin mekanis untuk memompa dan mengoksidasi pasien.
ADVERTISEMENT
“Tujuannya adalah agar Anda dapat menjalankan layanan penting dengan tingkat keamanan terbesar. Pastikan unit fungsional memiliki redundansi bawaan, dan terpisah satu sama lain. Itu tergantung pada apa yang Anda rasa cukup untuk melaksanakan layanan jika satu tim terpengaruh, dengan memperhitungkan waktu istirahat dan beberapa sistem rotasi,” kata Chia Shi-Lu, seorang ahli bedah ortopedi.
Dokter spesialis di unit gawat darurat salah satu rumah sakit di Singapura, Jade Kua menjelasakan selain keadaan darurat reguler, dokter dibagi menjadi empat tim yang terdiri dari 21 orang. Setiap tim melakukan shift 12 jam secara bergantian dan tidak berinteraksi dengan tim lain.
“Kami berusaha untuk tidak bertemu sama sekali dengan tim lain sebanyak mungkin. Kami hanya akan menyapa dari seberang koridor. Makanannya sama. Semua kafetaria kami dan semuanya sudah mendapat jarak sosial,” kata Kua.
ADVERTISEMENT
Perencanaan yang matang
Tidak setiap negara memiliki rencana yang matang seperti itu. Indeks Keamanan Kesehatan Global tahun lalu oleh Economist Intelligence Unit menemukan bahwa 70 persen dari 195 negara mendapat nilai buruk dalam hal memiliki rencana nasional untuk menangani epidemi atau pandemi.
Hampir tiga dari 10 negara gagal mengidentifikasi daerah mana yang tidak memiliki staf yang memadai. Di India, dengan populasi 1,3 miliar, hanya sekitar 20.000 dokter yang dilatih di bidang utama seperti perawatan kritis, pengobatan darurat, dan pulmonologi.
Sebaliknya, Singapura menerbitkan Influenza Pandemic Preparedness and Response Plan yang pertama pada Juni 2005 dan sejak saat itu terus mengembangkannya. Rumah sakit secara teratur melakukan skenario seperti pandemi atau serangan teroris dan simulasi yang diamati oleh Kementerian Kesehatan. Mereka yang akan menilai kinerja dan merekomendasikan area untuk perbaikan.
Rencana tersebut juga mencakup kebutuhan menimbun peralatan kesehatan untuk menghindari kekurangan yang dihadapi banyak negara saat ini. Pelajaran juga terinspirasi dari kasus SARS lalu di Singapura, di mana ketika masker, sarung tangan, dan APD tidak tersedia.
ADVERTISEMENT
Dalam makalah persiapan pandemi yang diterbitkan pada tahun 2008, yang ditulis oleh spesialis kesehatan masyarakat Singapura, Jeffery Cutter menyebutkan persediaan alat kesehatan di Singapura cukup untuk menutupi setidaknya 5 hingga 6 bulan penggunaan oleh semua pekerja perawatan kesehatan di garis depan.
Memiliki alat pelindung yang cukup meyakinkan petugas perawatan kesehatan Singapura menjadi lebih aman dan nyaman dalam merawat pasien. Mereka tidak perlu khawatir tertular virus corona di rumah sakit.
Terlindung dari Corona, tidak dengan stigma
Meski petugas kesehatan Singapura terlindungi dari virus corona, namun mereka dihadapkan dengan persoalan diskriminasi. Sementara di Prancis, Italia dan Inggris, penduduk menghibur petugas kesehatan dari jendela mereka, di Singapura petugas kesehatan dianggap oleh beberapa orang sebagai pembawa penyakit.
ADVERTISEMENT
“Saya mencoba untuk tidak memakai seragam saya di rumah karena Anda tidak pernah tahu kejadian seperti apa yang mungkin Anda temui,” kata seorang perawat Singapura.
“Publik ketakutan dan mengenakan seragam kami sebenarnya menyebabkan sedikit ketidaknyamanan. Salah satu staf saya mencoba memesan mobil sewaan pribadi ke rumah sakit untuk keadaan darurat dan dia ditolak oleh lima pengemudi,” tambahnya.
Jeremy Lim, seorang profesor National University of Singapore’s Saw Swee Hock School of Public Health, mengatakan diskriminasi dapat mempengaruhi kinerja dan motivasi petugas kesehatan. maka dari itu pemerintah Singapura harus turun tangan menghapus stigma tersebut.
“Kami harus melakukan segala kemungkinan untuk menjaga tenaga kerja perawatan kesehatan kami aman dan bebas dari COVID-19 ,” jelasnya.
ADVERTISEMENT