Mengapa Kita Sulit Berpisah dengan Makanan Olahan Pabrik?

17 Juni 2018 13:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi keripik kentang. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keripik kentang. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Makanan kemasan hasil olahan pabrik seperti camilan keripik, cookies, kornet, nugget, dan mi instan biasanya mengandung karbohidrat, kalori, dan lemak jenuh yang tinggi. Makanan olahan ini termasuk dalam jenis makanan yang disebut junk food.
ADVERTISEMENT
Istilah junk food sendiri mengacu pada makanan atau minuman yang diproses dalam waktu cepat dan tinggi akan kandungan lemak jenuh, karbohidrat, garam, gula, kalori, tapi tidak memiliki nilai gizi yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Karena itulah makanan semacam ini berbahaya bila dikonsumsi berlebihan.
Meski banyak orang sudah tahu fakta bahwa terlalu banyak memakan makanan olahan pabrik dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung, bahkan hingga menyebabkan masalah di otak dan kepikunan, tapi mereka masih merasa sangat sulit untuk berpisah dengan jenis makanan ini. Mengapa demikian?
Para peneliti dari Jerman, Swiss, Amerika Serikat, dan Kanada pernah melakukan serangkaian eksperimen untuk mengetahui apa yang terjadi di otak ketika seseorang melihat makanan olahan pabrik.
Ilustrasi chicken nugget (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi chicken nugget (Foto: Pixabay)
Studi ini melibatkan 206 peserta dan mereka diperlihatkan gambar camilan dengan kalori tinggi dan mengandung lemak, karbohidrat, atau keduanya.
ADVERTISEMENT
Mereka kemudian diminta untuk menilai empat hal, apakah mereka menyukainya, apakah mereka akrab dengan makanan tersebut, perkiraan mereka terhadap kepadatan energi makanan itu, dan kalori di dalamnya.
Berdasarkan percobaan ini, mereka melihat bahwa makanan yang tinggi lemak dan karbohidrat menstimulasi sistem penghargaan otak lebih intens daripada makanan yang hanya mengandung karbohidrat tinggi, atau hanya mengandung lemak tinggi.
Meskipun sebenarnya kita bisa memperkirakan apakah suatu makanan yang tinggi akan karbohidrat atau lemak itu kaya akan gizi atau tidak, kemampuan tersebut akan berkurang saat menghadapi makanan yang mengandung lemak dan karbohidrat yang tinggi sekaligus.
"Peserta penelitian kami bisa dengan sangat akurat dalam memperkirakan kalori dari makanan yang mengandung lemak namun ketika memperkirakan kalori makanan yang mengandung karbohidrat, kemampuannya berkurang. Ketika keduanya digabungkan, otak kita cenderung melebih-lebihkan nilai gizi pada makanan tersebut," kata Dana Small, peneliti di Modern Diet and Physiology Research Center di Yale University, dikutip dari Medical news Today
com-Kopi dan donat (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Kopi dan donat (Foto: Thinkstock)
Menurutnya, hal ini mungkin disebabkan karena otak kita belum cukup beradaptasi untuk menghindari makanan yang terlihat enak tapi tidak bergizi.
ADVERTISEMENT
Berhubungan makanan olahan adalah makanan yang baru dalam sejarah manusia, respons otak yang memungkinkan kita untuk membedakan dan membatasi jumlah makanan olahan yang kita makan, belum sepenuhnya berkembang. Akibatnya, kita cenderung tak bisa mengendalikan diri saat memakan makanan olahan yang termasuk ke dalam kategori junk food alias ‘makanan sampah’ ini.