Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Dalam situs endcoronavirus.org, kurva kasus virus corona di Indonesia terus bergerak semakin tinggi. Garis kurva yang diharapkan turun justru tak kunjung terjadi. Ada dua kemungkinan, pertama Indonesia memang belum memasuki puncak pandemi atau ada yang salah dengan peraturan yang dibuat pemerintah dalam memutus mata rantai penularan virus corona.
ADVERTISEMENT
Endcoronavirus.org sendiri adalah sebuah organisasi dibuat dan dikelola oleh New England Complex System Institute (NECSI). Dipimpin oleh Prof. Yaneer Bar-Yam, seorang PhD ilmu fisika dari Massachusetts Institute Technology (MIT) dan visiting scholar di Departemen Biologi Molekuler Harvard University.
Dalam situs tersebut, Indonesia dikatakan masuk dalam jajaran negara dengan kategori ‘need action’ yakni negara yang harus segera melakukan tindakan agar bisa menurunkan kurva kasus COVID-19. Padahal, pemerintah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai senjata andalan untuk mengendalikan pandemi virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19. Yang jadi pertanyaan, kenapa kurvanya masih bertahan di angka yang sama dan justru semakin bertambah?
Menanggapi hal tersebut, ahli epidemiologi dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Henry Surendra, mengatakan bahwa ada beberapa faktor kenapa tren kasus virus corona di Indonesia naik turun, bergerak tak konsisten, dan kini cenderung terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Permasalah yang dihadapi sebenarnya masih berkutat di tempat yang sama. Selain jumlah tes COVID-19 yang sangat minim, kecepatan diagnosis menggunakan tes reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) juga dinilai sangat lambat. Hingga saat ini, jumlah tes PCR virus corona harian di Indonesia belum mencapai 10.000 tes per hari.
Selain itu, jarak waktu antara pengambilan spesimen dengan hasil PCR masih bervariasi, tergantung laboratorium mana yang mengerjakan sampelnya. Rentang waktunya juga cukup lama, bisa 14 hingga 20 hari. Padahal hasil tes PCR bisa lebih cepat jika sumber daya manusia di Indonesia memadai.
“Keterlambatan di beberapa daerah ada yang terkait dengan kekurangan reagen. Sebagian lagi karena memang labnya overloaded sehingga banyak sampel yang menumpuk, melebihi kapasitas tes harian dari lab tersebut,” ujar Henry.
Senada dengan Henry, ahli epidemiologi yang juga merupakan Staf Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan bahwa Indonesia memang memiliki kelemahan dalam hal diagnostik dan laboratorium. Menurutnya, sudah sejak dulu laboratorium kesehatan di Indonesia tidak mendapat perhatian serius.
ADVERTISEMENT
Laboratorium kesehatan hanya dianggap penunjang. Bahkan, di Kementerian Kesehatan posisi direktorat yang mengurusi laboratorium telah dihapuskan. “Jadi memang dianggap enggak penting. Itu masalah besar. Jika memang ingin ditingkatkan lebih cepat (tes PCR) memang agak kesulitan,” ujar Pandu.
Selain lambatnya tes virus corona, kata Henry, ada hal lain yang menjadi penyebab kenapa kurva virus corona di Indonesia tak kunjung turun, yakni kurangnya ketegasan pemerintah dalam memutus rantai penularan.
Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak menerapkan physical distancing. Masih banyak yang berkumpul di kerumunan dan mencuri cara untuk mudik. PSBB di beberapa daerah pun belum begitu terasa dampaknya. “Kalau physical distancing masih sulit dilakukan, bukan tidak mungkin kita akan dihadapkan pada pilihan harus karantina wilayah atau lockdown,” ujar Henry.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pemerintah harus segera memperbaiki masalah-masalah ini. Perlu ada sistem yang terintegrasi antar-lab yang memungkinkan pemerintah mengawasi ketersediaan reagen di masing-masing laboratorium sehingga tidak ada lab yang kekurangan stok reagen.
Pengawasan juga berguna untuk memantau lab mana yang sudah melebihi kapasitas dan mana yang belum. Sehingga Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit dapat menghindari pengiriman sampel ke lab yang sudah melebihi kapasitas tes harian
Sementara Pandu menyarankan agar pemerintah merekrut para mahasiswa kesehatan untuk dijadikan relawan. Sebab, jangan sampai pemerintah mengklaim punya SDM padahal kenyataannya kekurangan. Menyoal target tes PCR 10.000 per hari, menurut Pandu realisasi tersebut harus segera dilakukan jika Indonesia ingin menekan kurva penularan virus corona.
ADVERTISEMENT
“Itu (10 ribu tes PCR per hari) minimal. Yang penting tuh PDP harus diperiksa semua. Enggak boleh ada antrean. Kalau sekarang kan masih ada antrean. Jadi, kapasitas kita masih terbatas,” ujar Pandu.
Hingga Senin (11/5), jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia totalnya ada 14.265 orang. Dari angka tersebut, ada 991 pasien yang meninggal dunia dan 2.881 orang yang berhasil sembuh.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.