Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dulu, Indonesia menggunakan sains dan riset sebagai panglima dalam menghadapi wabah flu burung. Kini, pemerintah pusat tampak kebingungan dan kerap menyebut ekonomi sebagai alasan untuk banyak kebijakannya. Sudah berpaling dari sains?
Debat soal perlu tidaknya membunuh ayam di seluruh Indonesia pernah dialami Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. dr. Chairul Anwar Nidom, dengan ilmuwan lain. Kala itu, wabah flu burung tengah melanda Indonesia. Menurut dia, seluruh ayam, sebagai inang virus, harus dibunuh untuk membasmi virus.
Alasannya sederhana, virus jenis ini tak bisa hilang kecuali inangnya dimusnahkan. Vaksinasi terhadap burung hanya akan menurunkan derajat virus sehingga tidak menimbulkan penyakit bagi manusia.
“Waktu itu hitung-hitungan besar (anggaran) yakni Rp 10-15 triliun kalau nggak salah. Nah, di situ agak dianggap mematikan peternakan,” jelasnya ketika berbincang dengan kumparan, Rabu (13/5).
Ilmuwan lain berpendapat, vaksinasi sudah cukup, sebab paling tidak dapat menjamin penyakit tidak muncul, sehingga tidak perlu membunuh semuanya.
Risiko ekonomi pun turut diperhitungkan secara ilmiah. Misal saja soal rencana penggunaan vaksin bagi ayam akan berpengaruh pada ekonomi karena ekspor ayam hidup dari Indonesia tersendat sebab dianggap belum bebas flu burung.
Debat satu meja secara ilmiah sering ditemui di antara ilmuwan dan pemerintah kala menangani wabah flu burung.
Hasil perdebatan ilmiah itu, ujar Nidom, menjadi dasar kebijakan pemerintah ketika itu.
Debat saintifik memang mewarnai penanganan wabah flu burung di Indonesia sejak penyakit itu terdeteksi di tanah air.
Awal 2004, kabar flu burung membuat heboh Indonesia setelah sekitar 10 juta ekor ayam ditemukan mati mendadak. Apa lagi World Health Organization (WHO) menyebut flu burung telah terjadi lewat human to human transmission.
Pelbagai ahli dan peneliti di Indonesia melakukan riset sains ihwal latar belakang kematian jutaan unggas itu. Menteri Pertanian kala itu, Bintan Saragih, memanggil para ilmuwan ke kantornya untuk mendiskusikan penyebab kematian jutaan unggas tersebut.
Debat kembali terjadi di atas meja antarilmuwan. Sebagian meyakini kematian jutaan unggas akibat virus flu burung. Ilmuwan lain ada yang mempercayai kematian unggas itu disebabkan oleh virus Newcastle Disease (ND).
Perdebatan inilah yang membuat Nidom terlibat dalam penanganan flu burung. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan memanggilnya dan memintanya meriset identifikasi molekuler kematian ribuan unggas di berbagai daerah.
Nidom saat itu sedang melakukan riset di peternakan babi—yang menjadi inang virus flu burung—di Tangerang, Banten, dan menemukan fakta bahwa ada seekor babi yang sudah terinfeksi virus H5N1. Ia butuh 15 hari untuk membuktikan bahwa virus tersebut sudah ada di Indonesia dan hanya selangkah lagi akan menular ke manusia.
“Saya sudah menemukan bahwa virus ini virus flu burung dan berasal dari Guangzhou, China. Saya langsung memberikan warning kepada pemerintah, artinya Kemenkes harus terlibat bersama-sama Kementan,” kata Nidom kepada kumparan. “Itu saya confirm dan nggak bisa diubah. Itu adalah riset DNA,” lanjutnya.
Tak lama setelah riset tersebut disampaikan, kasus pertama flu burung menjangkit manusia muncul pertama kali pada satu keluarga di Tangerang bulan Juni 2005, dengan dua orang di antaranya meninggal. Ketika itu, WHO sempat menunjuk Indonesia sebagai pusat wabah flu burung di dunia.
Pemerintah pun membentuk Komisi Nasional Flu Burung dan Pandemi Influenza (FBPI) pada awal 2006. Komnas ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2006. Menko Kesra menjadi ketuanya, sedangkan Menkes menjadi wakil ketua III merangkap anggota.
Lembaga inilah yang membuat seluruh standar operasional prosedur (SOP) penanganan wabah di lapangan. Selain itu, para ilmuwan dikoordinir untuk melakukan riset. Adapun riset yang dilakukan antara lain riset medis terkait virusnya, riset aspek ekonomi, dan aspek sosial karena virus ini melibatkan peternakan unggas dalam skala besar.
Terpenting, menurut Nidom, para ahli juga melakukan riset soal besaran biaya ganti rugi per satu ekor unggas andai pemerintah mengambil kebijakan melakukan spend out atau pemusnahan seluruh unggas. Akan tetapi, pada akhirnya pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan vaksinasi dengan pertimbangan biaya yang lebih murah.
“Dulu itu waktu wabah flu burung, kita membuat persiapan agar jangan sampai atau bagaimana kalau terjadi flu human to human. Sampai dihitung berapa jumlah tanah kuburan yang harus disiapkan suatu daerah. Karena kita hitung kematiannya berapa, mortalitasnya berapa, tingkat risikonya bagaimana,” ujar Nidom.
Ahli emergency Tri Maharani menjelaskan, meski skala pandemi flu burung tak sebesar virus corona COVID-19, tetapi protokol kesiapan tenaga medis sangat diperhatikan. Para tenaga medis sudah diberi panduan untuk wajib menggunakan baju hazmat saat menghadapi pasien dengan gejala virus flu burung. Kesiapan rumah sakit juga turut dicek terlebih dahulu.
“Peternakan itu dikasih tahu untuk memvaksin ayamnya. Jadi itu sudah siap. Nah saat COVID ini, untuk pakai APD saja kami belajar sendiri. Saya ajari anak-anak saya,” ujarnya lewat sambungan telepon, Rabu (13/5).
Akibat kesiapan pemerintah yang ditopang ilmuwan kala itu, menurut Maharani, wabah flu burung H5N1 di Indonesia cepat tertangani. Meski angka kematian cukup tinggi, tetapi paling tidak risiko penyebaran dapat ditekan. Berdasarkan catatan WHO, jumlah kematian di Indonesia akibat flu burung sebanyak 168 jiwa.
Penelitian soal flu burung tak hanya di sektor medis. Pegiat sejarah Syefri Luwis ikut dalam berbagai penelitian yang digelar bersama Komnas FBPI. Ia menjadi anggota tim yang menyusun naskah buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda.
Berbagai temuan sejarah pandemi yang pernah terjadi di nusantara beserta perilaku masyarakatnya menjadi referensi penting dalam menangani flu burung.
“Ini penting loh karena banyak orang Indonesia yang tidur bareng ayam. Mereka berisiko tertular,” kata Syefri.
Mantan Wakil Ketua Komnas FBPI Tri Satya Putri Naipospos menjelaskan, dengan memperbanyak riset sains di segala lini, secara tidak langsung mempermudah kerja penanganan pandemi. Selain itu, kebijakan pemerintah yang diambil juga bisa merujuk kepada riset tersebut agar mendapatkan keputusan yang tepat.
Komnas FBPI juga memfasilitasi seluruh Fakultas Kedokteran, Kedokteran Hewan, maupun Fakultas Kesehatan Lingkungan berbagai universitas di Indonesia untuk ikut dalam jejaring riset virus H5N1. Selain itu, dalam upaya memerangi virus flu burung, Komnas FBPI turut bekerja sama dengan UNICEF, WHO, FAO, dan Organisasi Hewan Dunia (OIE).
“Yang sekarang saya tidak lihat dari Gugus Tugas COVID-19, dalam kondisi begini, adalah rantai koordinasi yang jelas,” ujar Tri.
Menurut Tri, apa yang terjadi hari ini tak lepas dari ketidaksiapan pemerintah saat virus corona masih berada di China. Saat itu, para pejabat di Indonesia justru mengeluarkan idiom-idiom yang sama sekali tidak membantu dalam persiapan penanganan wabah.
Idiom yang dimaksud Tri antara lain ujaran Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa virus corona diperkirakan tidak kuat dengan kondisi cuaca Indonesia. “Dari hasil modeling, cuaca Indonesia di ekuator yang panas dan humidity tinggi, maka untuk COVID-19 itu nggak kuat,” kata Luhut dalam konferensi video, Kamis (2/4).
Pemerintah pusat juga terkesan santai. Alih-alih menyusun protokol kesiapan penanganan wabah, pemerintah terkesan terlambat untuk menutup rute penerbanan internasional Indonesia ke Wuhan. Padahal rute Denpasar-Wuhan menjadi rute favorit wisatawan mancanegara.
Pun ketika corona outbreak telah terjadi di Wuhan pada Februari, Presiden Jokowi justru ingin mengguyur dana Rp 72 miliar untuk para influencer yang diharapkan mampu menangkal dampak COVID-19 terhadap sektor pariwisata Indonesia.
Akibatnya, kegagapan melingkupi pemerintah saat kasus satu dan dua diumumkan sebagai kasus positif pertama corona di Indonesia. Persoalan komunikasi antarpejabat mau tak mau turut bikin resah. Tak ada protokol dalam menyampaikan informasi ke publik, sehingga sejumlah pejabat malah mengeluarkan statement yang cenderung kontroversial dan mengundang kemarahan publik di tengah gaduh corona.
Contohnya, ketika Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyebut kelangkaan masker sebagai kesalahan para pembelinya. Orang sehat, ujarnya, tak perlu mengenakan masker. Tak lupa, ia meminta masyarakat untuk salat istigasah dan berdoa.
Hal yang sama juga dirasakan Nidom. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani pandemi corona sama sekali tak meniru keberhasilan saat menangani wabah flu burung. Salah satu hal yang tidak dilakukan oleh Satgas COVID-19 ialah membuka jejaring terhadap para ahli dan ilmuwan untuk melakukan riset bersama.
“Saya pernah diajak zoom sama Satgas, jadi mau koordinasi antarlaboratorium. Saya diundang, sudah siap (perwakilan) dari Sumatera sampai Gorontalo, tapi ternyata Prof. Wiku (Staf Ahli BNPB) nggak hadir. Habis itu nggak ada komunikasi lagi,” ujarnya.
Menurut Nidom, apa yang dilakukan pemerintah saat ini, mulai dari awal penanganan pada bulan Maret lalu sampai hari ini, tidak jelas basisnya. Program pemerintah pun tidak melibatkan ilmuwan dan cenderung rancu.
“Kita nggak bisa menangkap ini maunya apa sebenarnya,” kata dia.
Penanganan flu burung sekarang tinggal sejarah. Komnas FBPI beralih nama menjadi Komnas Zoonosis pada 2009—lembaga yang juga berperan dalam penanggulangan wabah flu babi H1N1 di Indonesia. Komnas Zoonosis kemudian dibubarkan oleh Presiden Jokowi pada era awal kepemimpinannya.
Kini, ketika kasus lonjakan pasien positif COVID-19 di Indonesia masih terus bertambah, pemerintah justru ingin menggulirkan relaksasi PSBB . Ketua Gugus Tugas COVID Doni Monardo menyebut pemerintah mempersilahkan masyarakat berusia 45 tahun ke bawah untuk kembali beraktivitas.
Kebijakan ini diambil setelah jutaan masyarakat di-PHK akibat pandemi. Menko Polhukam Mahfud MD pun berkata pemerintah tengah memikirkan untuk melonggarkan PSBB. Maksudnya, dengan tak menghambat kegiatan ekonomi masyarakat.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Prof. drh. Wiku Adisasmito dalam konferensi pers di Graha BNPB mengatakan, kasus positif corona di Indonesia didominasi usia 39-59 tahun. Namun, risiko kematian corona di Indonesia berada pada usia 45 tahun ke atas. Jumlahnya mencapai 85 persen dari total kasus positif yang meninggal dunia.
Kebijakan pemerintah ini dianggap kontroversial oleh ilmuwan dan dokter. Mereka menganggap riset tak dilakukan pemerintah, hanya mengedepankan kepentingan ekonomi. Maharani menyebut, seluruh ahli medis di rumah sakit kini sudah berusia di atas 45 tahun.
Ia juga mencatat, banyak korban meninggal di Indonesia akibat COVID-19 yang masih berada di usia produktif. Bahkan, kini seluruh tenaga medis di Indonesia sudah dalam tahap kelelahan. Sayang data-data ini seperti ditanggalkan oleh pemerintah.
“Apa sih susahnya mengundang pakar-pakar? Panggil semuanya, panggil ahli virus yang sebenarnya, dan tanyakan bagaimana kondisi sebenarnya. Jadi sebetulnya kita ini ada di sebuah kondisi yang harus melibatkan sains dan medis dalam semua kebijakan politik dan ekonomi,” kata Maharani.
Ia merasa kebijakan pemerintah sudah berpaling dari sains. Kepentingan ekonomi selalu menjadi panglima, termasuk dalam menghadapi pandemi.
Sementara itu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo tak menjawab pesan soal pelibatan periset dan ilmuwan dalam menghadapi corona kali ini. Ia mempersilakan kumparan untuk menghubungi Ketua Tim Pakar Gugus Tugas COVID-19 Wiku Adisasmito. Namun telepon dan pesan kumparan tak dijawab oleh Wiku.
Sedangkan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Corona Ahmad Yurianto tak memberikan tanggapan soal ini. “Maaf, saya tidak bisa meng-cover semua (pertanyaan),” tulisnya dalam pesan WhastApp kumparan.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.