Mengenal Suku Mangbetu, Punya Tengkorak Kepala Mirip Alien

21 Juni 2022 13:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi suku Mangbetu yang memiliki tengkorak kepala panjang seperti alien. Foto: Boris15/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi suku Mangbetu yang memiliki tengkorak kepala panjang seperti alien. Foto: Boris15/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pernah dengar kata "Cantik itu relatif?" Kata ini memang benar adanya. Cantik itu relatif tergantung pada siapa dan di mana makna cantik itu diletakkan, tak terkecuali bagi suku Mangbetu di Afrika.
ADVERTISEMENT
Kalau di Indonesia cantik sering digambarkan sebagai perempuan yang berkulit putih, tubuh ideal, rambut panjang, dan wajah menarik, maka di Republik Demokratik Kongo (DRC) berbeda. Di sana, seorang wanita bisa disebut cantik kalau memiliki tengkorak kepala yang panjang. Aneh bukan?
Bagi masyarakat suku Mangbetu tengkorak panjang adalah simbol kecantikan luar biasa, prestige, dan kekuasaan. Suku Mangbetu hidup di bagian terpencil di timur laut DRC. Mereka punya penampilan fisik yang sangat khas, di mana tengkorak kepala bagian atas orang-orang Mangbetu berbentuk lonjong dan disebut mirip alien yang sering muncul di cerita fiksi.
Bentuk tengkorak kepala yang panjang ini tidak terbentuk secara alami, melainkan dibentuk oleh orang tua suku Mangbetu sejak anak-anak mereka masih balita. Pada zaman kuno, anggota suku Mangbetu, yang sekarang terancam punah ini, menganggap tengkorak panjang sebagai tanda kecerdasan yang lebih tinggi dan simbol status sosial di antara kelas penguasa.
ADVERTISEMENT
Jadi, untuk memastikan anak-anak mereka mengembangkan bentuk yang diinginkan saat tumbuh dewasa, wanita suku mangbetu membungkus kepala bayi menggunakan kain ketat sejak anaknya baru dilahirkan.
Kepala kerucut yang dianggap milik alien. Foto: YouTube/Frans
Tradisi ini disebut sebagai Lipombo. Kepala bayi bakal diikat kain ketika dia menginjak usia 1 bulan. Anak bakal terus menggunakan ikat di kepalanya selama bertahun-tahun sampai anak punya bentuk kepala yang diinginkan. Faktanya, praktik ini juga dilakukan oleh suku Maya dan Mesir kuno.

Sejarah suku Mangbetu

Dilansir Hadithi Africa, Mangbetu sendiri mengacu pada pencampuran orang-orang dari berbagai bahasa dan budaya di timur laut Republik Demokratik Kongo. Kelompok ini terdiri dari Mangbetu, Meegye, Makere, Malele, Popoi dan Abelu. Bahasa Mangbetu disebut Kingbetu.
Masyarakat Mangbetu bisa ditemukan di antara Sungai Ituri dan Uele di dekat kota Poko, Isiro dan Rungu. Berdasarkan catatan sejarah, orang-orang ini berasal dari Sudan modern sebelum akhirnya bermigrasi.
ADVERTISEMENT
Suku Mangbetu mendirikan kerajaan di bawah kekuasaan Nabiembali yang memiliki banyak prajurit. Dia menaklukkan suku lain dan memerintahnya.
Suku Mangbetu hidup di pedalaman hutan. Di sana, mereka beternak, berburu, memancing, dan mengumpulkan rempah-rempah. Orang-orang Mangbetu juga terlibat dalam budidaya ubi, padi, kelapa sawit, jagung, hingga pisang.
Karena menganut budaya patrilineal, maka laki-laki lah yang punya kekuasaan dalam hal apa pun. Bahkan dalam urusan memerah susu sapi, hanya pria yang dibolehkan melakukannya. Ternak dipandang sebagai simbol kekayaan dan digunakan untuk membayar mahar.
Seperti banyak kelompok etnis Afrika lainnya, Mangbetu percaya pada dewa Kilima atau Noro. Mereka percaya jiwa manusia dapat dilahirkan kembali sebagai binatang. Ketika orang-orang Eropa datang dan menjajahnya, mereka menyebut bahwa masyarakat Mangbetu punya politik yang bagus dan memiliki seni serta musik yang sangat berkembang.
ADVERTISEMENT
Tombak besi, pot pahatan, pisau, dan tombak tembaga adalah beberapa alat yang ditemukan di kerajaan, sekaligus menjadi bukti kemajuan teknologi saat itu.
Ketika orang Eropa datang dan menjajah masyarakat Mangbetu pada 1950-an, mereka sempat melarang tradisi Lipombo karena masalah keamanan, termasuk dikhawatirkan dapat memengaruhi perkembangan otak anak.
Tapi para ahli menentang anggapan tersebut. Mereka menyebut bahwa otak manusia sejatinya mampu beradaptasi dan berkembang sesuai bentuk kepala. Dan faktanya, meski dilarang oleh penjajah Eropa, tradisi Lipombo masih dilakukan oleh beberapa anggota suku, bahkan hingga sekarang.