Mengenal Superbugs, Bakteri Berbahaya yang Menyerang Nadia Vega

10 Maret 2017 15:11 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Nadia Vega. (Foto: Munady Widjaja/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nadia Vega. (Foto: Munady Widjaja/kumparan)
Setelah menikah dengan pria bule pada Juni 2015 lalu dan memutuskan tinggal di Singapura, pemain sinetron sekaligus penyanyi Nadia Vega sudah jarang tampil di dunia hiburan. Ketika kembali ke Indonesia untuk menghadiri sebuah acara, Nadia sempat menceritakan kehidupannya di Negeri Singa.
ADVERTISEMENT
Nadia sempat bercerita bahwa di sana ia sempat sakit karena terserang bakteri superbugs. "Gejala awalnya sih aku kecapekan dan ada bentol gitu kayak nyamuk. Pertama di sini (tunjuk dagu), perut sama kuping aku," ucap Nadia ketika ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (8/3).
Istri dari Sultan Yaar Jorik Dozy ini mengaku harus menjalani operasi agar bakteri itu dapat musnah di dalam tubuhnya. "Aku sempat operasi 3 kali. Jadi tiap 1 kali operasi, harus bedrest 1 bulan," ungkapnya.
Makhluk apa sebenarnya superbugs itu?
Teknisi laboratorium menunjukan sample bakteri. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Teknisi laboratorium menunjukan sample bakteri. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Superbugs adalah jenis bakteri berbahaya yang resisten atau tahan terhadap antibiotik. Seperti yang dituturkan Nadia Vega, jika serangan bakteri itu tak dapat ditangani secara cepat, maka bakteri dapat menjalar ke organ tubuh dan dapat menyebabkan kematian. Sampai saat ini belum ditemukan obat khusus untuk menyembuhkannya.
ADVERTISEMENT
Menurut suatu penelitian yang dipublikasikan di PLOS Medicine dan diulas di Review on Antrimicrobial Resistance, superbugs diprediksi akan membunuh 10 juta orang dalam setahun pada tahun 2050 bila dunia tak bertindak dari sekarang. Angka itu menunjukkan bahwa satu orang akan mati setiap tiga detik pada tahun 2050 akibat bakteri tersebut.
Saat penelitian itu dilakukan, yakni pada pertengahan tahun 2014, diperkirakan 700 ribu orang telah meninggal setiap tahunnya akibat permasalahan resisten terhadap obat.
Kehadiran superbugs yang memiliki kekuatan antimicrobial resistance (AMR), kemampuan untuk melawan antimikroba seperti antibiotik dan sejenisnya, menjadi masalah yang sedang dan akan dihadapi dunia secara global. Penelitian tersebut memperkirakan diperlukan biaya hingga 100 triliun dolar Amerika Serita (AS) atau sekitar Rp 1,34 juta triliun untuk mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Grown Up Clinic, penyebab serangan bakteri superbugs antara lain adalah konsumsi obat antibiotik yang salah dan berlebihan. Selain itu, penularan dapat juga melalui bahan makanan.
Produksi pertanian diketahui menjadi salah satu penyebab pertumbuhan bakteri superbugs dalam rantai makanan. Hal itu ditunjukkan dengan ditemukannya bakteri superbugs Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di tempat pertokoan yang menjual daging babi, ayam, daging sapi dan daging lain di AS.
Pada tahun 2009, peneliti di Turki menemukan 95 persen handphone dokter dan perawat memiliki setidaknya satu jaringan bakteri. Yang mengejutkan, pada satu dari delapan ponsel ditemukan bakteri superbugs MRSA.
Penyakit menular seksual kencing nanah atau gonore adalah penyakit yang juga potensial terkena bakteri superbugs. Hal ini terjadi karena mudahnya penularan melalui hubungan seksual dan penggunaan obat yang berlebihan dan tak terkendali.
ADVERTISEMENT
Jangan sembarang minum antibiotik. (Foto: Thinkstocks)
zoom-in-whitePerbesar
Jangan sembarang minum antibiotik. (Foto: Thinkstocks)
Terkait penggunaan obat-obat antibiotik, penelitian di US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989 menunjukkan setiap tahun sekitar 84% anak mendapatkan antibiotik. Hasil lainnya, ditemukan bahwa 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotik.
Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotik berlebihan tersebut.
Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun kerap mengkonsumsi obat-obat antibiotik secara sembarangan dan berlebihan. Misalnya saja, ketika terkena infeksi saaluran napas seperti batuk, pilek dan demam, banyak orang berobat ke dokter dan kerap mendapatkan obat-obat antibiotik.
Ada pula kebiasaan masyarakat lainnya yang kerap mengobati diri sendiri dengan membeli obat-obat yang mengandung antibiotik secara bebas di apotek dan toko obat. Padahal sebagian besar penyebab infeksi saluran napas seperti batuk, pilek dan demam adalah virus yang bisa sembuh sendiri tanpa pemberian antibiotik.
ADVERTISEMENT