Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Menguak ‘Isi Perut’ Liang Bua, Gua yang Jadi Hunian Manusia Purba di Flores, NTT
24 Februari 2023 9:15 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Sebuah gua prasejarah yang mendunia karena menyimpan banyak peradaban masa silam ada di Flores , Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di Kabupaten Manggarai.
ADVERTISEMENT
Namanya Liang Bua. Secara geografis, lokasi ini berada 14 km di sebelah utara kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, di ketinggian kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut.
Nama Liang Bua berasal dari Bahasa Manggarai-Flores. Liang artinya gua , bua berarti dingin. Liang Bua bisa diartikan sebagai “gua yang dingin”.
Dilihat dari morfologinya, Liang Bua memiliki ciri sebagai hunian pada masa prasejarah. Ini terlihat dari ukuran gua yang dalam, lebar, atap tinggi, serta lantai gua yang luas dan relatif datar. Mulut gua yang menghadap ke timur laut turut mendukung ruangan mendapatkan sinar matahari dan sirkulasi udara yang baik.
Selain itu, lokasi gua yang dekat dengan aliran Sungai Wae Racang dan Wae Mulu mendukung penghuninya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
ADVERTISEMENT
Sejarah panjang Liang Bua dan manusia Hobbit
Pusat Riset Sejarah dan Prasejarah BRIN menjelaskan penelitian Liang Bua memiliki sejarah panjang. Penelitian pertama dilakukan pada 1965 oleh misionaris Belanda, Theodore Verhoeven, yang merupakan seorang pastor mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores Tengah.
Sejak saat itu, situs Liang Bua terus menjadi objek penelitian para arkeolog nasional maupun internasional hingga sekarang. Adapun penemuan paling spektakuler pernah terjadi pada 2003, di mana para arkeolog menemukan fosil manusia purba Homo floresiensis yang dijuluki manusia kerdil atau manusia Hobbit.
Kerangka manusia purba ini ditemukan di lapisan bawah gua yang berasal dari kurun waktu akhir Pleistosen sekitar 190.000 hingga 60.000 tahun lalu di kedalaman 5,9 meter. Pada lapisan ini, kurang lebih ada sembilan individu Homo floresiensis yang ditemukan. Namun, hanya satu yang masih dalam keadaan hampir utuh.
ADVERTISEMENT
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjelaskan lebih rinci di situs webnya, dilihat dari ciri fisiknya, kerangka manusia hobbit ini berjenis kelamin perempuan. Dia diperkirakan berusia 25 - 30 tahun dan memiliki karakteristik fisik unik: Tingginya hanya 106 cm, tulang kaki dan tangan sangat kekar.
Bagian tengkorak memiliki ciri-ciri arkaik, seperti tulang kening menonjol dengan dahi miring ke belakang, volume otak 380 cm3 (diukur dengan mustard seed) hingga 417 cm3 (diukur secara digital dari data CT Scan). Bagian wajah menjorok ke depan (prognath) dengan rahang yang kekar serta tidak memiliki dagu.
Temuan ini dianggap sebagai spesies baru yang sangat unik dan secara anatomis mempunyai kombinasi antara manusia purba dan manusia modern. Temuan Homo floresiensis telah dimuat dalam jurnal ilmiah internasional Nature pada 2004 dan Majalah National Geographic Indonesia pada 2005.
ADVERTISEMENT
Hasil analisis yang dilakukan pada 2003 juga menyatakan bahwa situs Liang Bua berusia sekitar kurang lebih 13.000 - 12.000 tahun. Namun, hasil analisis ulang yang dilakukan oleh Puslit Arkenas bekerja sama dengan Wollongong University, Australia, dan Program dari Smithsonian Institute –dengan menganalisis usia tulang Homo floresiensis dan sedimen yang mengandung fosil– menunjukkan bahwa Liang Bua berusia antara 60.000 - 100.000 tahun.
Tidak hanya itu, Liang Bua juga menyimpan banyak bukti prasejarah lain, termasuk berbagai macam fauna endemik yang sudah punah, di antaranya gajah purba Stegodon florensis insularis yang mempunyai berat sekitar 650 kg dengan ukuran badan hanya sebesar kerbau. Ada pula fosil bangau raksasa Giant Marabau Stork yang punya tinggi mencapai 1,7 meter.
ADVERTISEMENT
Selain hewan punah, di Liang Bua juga ditemukan kerangka hewan purba yang masih hidup sampai sekarang, seperti komodo (Varanus komodoensis), tikus besar berjenis Papagomys armandville, dan Papagomys theodor verhoveni atau yang disebut Batu oleh masyarakat lokal.
Menurut peneliti Pusat Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Jatmiko, situs Liang Bua sangat ideal dan cocok untuk dijadikan sebagai Site Museum dan salah satu Pusat Studi Prasejarah di Indonesia. Karena selain datanya yang sangat melimpah, unik, dan lengkap, juga sangat jarang ditemui pada situs-situs gua hunian di Nusantara maupun di dunia.