Miris! Lukisan Tertua di Dunia yang Ada di Sulawesi Terancam Hilang

29 Mei 2021 18:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lukisan gua tertua di dunia ditemukan di Sulawesi. Foto: A. A. Oktaviana, ARKENAS/Griffith University
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan gua tertua di dunia ditemukan di Sulawesi. Foto: A. A. Oktaviana, ARKENAS/Griffith University
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahukah kamu seni gua tertua di dunia ada di Indonesia? Ya, beberapa seni gua paling awal di dunia, termasuk gambar lukisan tangan dinding, berada di pulau Sulawesi. Kini, lukisan-lukisan gua itu terancam hilang karena perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Telah lama Sulawesi menjadi rumah bagi seni gua tertua di dunia, usianya mencapai 45.000 tahun. Lukisan gua kuno di Sulawesi cukup beragam, termasuk binatang, figur manusia, dan gambar tangan yang dilukis dengan pigmen merah.
Di gua Leang Tedongnge di wilayah Maros-Pangkep Sulawesi, misalnya, para peneliti telah menemukan seni stensil tangan berusia 39.300 tahun dan seni cadas babi kutil berusia 45.500 tahun.
Wilayah Maros-Pangkep terdapat 300 situs seni gua batu kapur. Sejak 1950-an, para arkeolog melaporkan bahwa setelah bertahan selama puluhan ribu tahun, lukisan gua kuno mulai melepuh dan terkelupas dari dinding gua.
"Lukisan gua di Sulawesi dan Kalimantan adalah beberapa bukti paling awal yang kami miliki bahwa orang-orang hidup di pulau-pulau ini," tulis para peneliti dalam The Conversation. "Tragisnya, di hampir setiap situs baru yang kami temukan di wilayah ini, seni cadas dalam tahap pembusukan."
Lukisan gua tertua di dunia ditemukan di Sulawesi. Foto: A. A. Oktaviana, ARKENAS/Griffith University
Untuk menemukan jawaban kenapa lukisan gua itu memudar, para arkeolog melakukan serangkaian penelitian termasuk menggunakan teknik mikroskop, analisis kimiawi, dan identifikasi kristal. Hasilnya, mereka menemukan jejak garam di seluruh gua.
ADVERTISEMENT
Peneliti juga menemukan kalsium sulfat dan natrium klorida dalam serpihan batu di tiga dari 11 situs dan tingkat sulfur tinggi yang merupakan komponen garam di semua situs. Ini menunjukkan bahwa endapan garam mungkin mendorong kerusakan pada lukisan.
Kelembaban tinggi atau suhu tinggi diketahui menjadi pemicu pembentukan kristal garam. Garam dibawa oleh air ke udara. Setelah air menguap, garam tertinggal sebagai endapan di atas atau di bawah permukaan batuan.
Endapan garam mengembang dan menyusut ketika lingkungan sekitarnya memanas dan mendingin, menyebabkan ketidakstabilan yang berulang pada batuan. Ketidakstabilan yang berulang ini akhirnya menyebabkan batu retak dan mengelupas.
Penemuan ini menunjukkan bahwa selama empat abad terakhir, seni cadas Maros-Pangkep kondisinya semakin memburuk, dan selama 40 tahun terakhir erosi semakin cepat karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Lukisan gua tertua di dunia ditemukan di Sulawesi. Foto: A. A. Oktaviana, ARKENAS/Griffith University
“Australasia memiliki atmosfer yang sangat aktif, didukung oleh arus laut yang kuat, angin perdagangan musiman dan reservoir air laut yang hangat," tulis para penulis dalam The Conversation.
ADVERTISEMENT
"Namun, beberapa seni cadas sejauh ini berhasil bertahan puluhan ribu tahun melalui periode utama variasi iklim, dari dinginnya zaman es terakhir hingga awal monsun saat ini."
Namun, saat ini perubahan iklim yang cukup ekstrem telah membuat suhu lingkungan yang lebih tinggi dan cuaca ekstrem yang lebih parah dan mempercepat perubahan suhu dan kelembaban hingga menyebabkan pembentukan garam.
"Meningkatnya frekuensi dan keparahan, kekeringan yang disebabkan oleh siklus iklim yang disebut El Nino dan kelembapan yang terbentuk dari hujan monsun di daerah sekitarnya memberikan kondisi ideal untuk penguapan, pembentukan garam dan pelapukan permukaan gua yang menyimpan seni kuno,” kata para peneliti.
Oleh karena itu, peneliti menyerukan agar lebih banyak konservasi, pemantauan, dan penelitian di situs-situs lukisan tertua di Sulawesi. "Seni gua yang sangat tua di Indonesia terletak di dalam lingkungan tropis yang dinamis yang membuatnya sangat rentan terhadap dampak merusak dari perubahan iklim, menambah urgensi untuk penelitian lebih lanjut," tulis mereka di koran.
ADVERTISEMENT