Nasib Wonogiri Setelah Diserbu Pemudik dan Upaya Cegah COVID-19 Menyebar

27 Maret 2020 7:17 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Terminal Giri Adipura Wonogiri.  Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Terminal Giri Adipura Wonogiri. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Hari raya Idul Fitri masih dua bulan lagi tapi Wonogiri sudah dibanjiri pemudik. Kepala Terminal Induk Giri Adipura Krisak Wonogiri, Agus Hasto Purwanto, mencatat dari tanggal 15 Maret sampai 22 Maret 2020 datang sebanyak 876 armada dan penumpang sebanyak 14.140 orang.
ADVERTISEMENT
“Kali ini pelonjakan jumlah kedatangan penumpang di terminal setelah Jakarta berstatus tanggap darurat corona," kata Agus.
Dalam periode 19 Maret hingga 22 Maret 2020, rata-rata tiap hari jumlah pemudik mengalami kenaikan sekitar 500-700 orang. Ribuan perantau Wonogiri diketahui tersebar dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Mereka berjualan bakso, jamu, warung makan, pekerja pabrik, dan lain sebagainya. Dengan mewabahnya virus corona di Ibu Kota, serta imbauan physical distancing dan work from home (WFH), pendapatan mereka praktis berkurang drastis sehingga pulang kampung pun menjadi opsi yang paling rasional bagi mereka.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menggunakan asumsi jika saat ini kasus positif berjumlah 893 orang (data per 26 Maret 2020) dan sekitar 500 di antaranya berada di Jakarta, maka dari 10 juta total penduduk, 0,5 persennya terkena virus corona. Hal yang sama bisa diterapkan pada belasan ribu warga Wonogiri yang mudik dari Jakarta. “Peluang bahwa 5 orang akan ada (terjangkit virus corona) dari 11 ribu orang yang mudik (ke Wonogiri),” jelas Miko kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
“Jadi 5 orang yang sakit kalau tidak ditemukan dan tidak mudah menemukan 5 orang yang sakit di 11 ribu itu menjadi kendala sendiri. Kalau mereka mudiknya bareng itu akan jadi potensi yang besar bagi Wonogiri,” Miko mengimbuhkan.
Dari 5 orang yang diasumsikan terjangkit COVID-19 tersebut, menurut Miko, selanjutnya bisa menimbulkan risiko penyebaran ganda (doubling). Secara ilmiah maksudnya seseorang akan menyebabkan penularan ke dua orang. Dalam hal ini keluarga menjadi kelompok paling berisiko tertular. Oleh karena itu, tes kepada mereka yang baru tiba di Wonogiri menjadi hal yang wajib guna menghentikan penyebaran virus corona.
Miko menyebut sudah seharusnya diberlakukan lockdown di Jakarta. Sebab, Jakarta telah menjadi episentrum atau pusat wabah corona di Indonesia. Kurang lebih 60 persen penderita diketahui berada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Karena sekarang enggak ada regulasinya. Orang pulang kampung bukannya tidak boleh, diimbau jangan. Kan itu imbauan bukan regulasi. Kalau regulasi, itu (warga yang pergi mudik) bisa dihalang-halangi dengan regulasi tersebut,” terang Miko.

Simalakama kelompok menengah ke bawah

Virolog sekaligus Analis Kebijakan, Indonesia Strategic Institute Bandung, Sidrotun Naim, menyebut warga Wonogiri yang berbondong-bondong pulang tidak bisa disalahkan. Mereka yang mayoritas bekerja di sektor informal tengah menghadapi situasi dilematis. Pada titik ini sudah bisa diasumsikan semua orang sudah berpotensi terpapar virus corona. Oleh karena itu, pulang ke kampung atau tidak hal tersebut sepenuhnya menjadi hak mereka.
Melihat melonjaknya jumlah pemudik ke Wonogiri hal tersebut menurut Naim sudah seharusnya diantisipasi oleh pemerintah sejak 6 pekan lalu. Antisipasi yang dimaksud adalah program bantuan social safety net terkait ekonomi kepada kelompok yang rerata merupakan menengah ke bawah itu. Namun, jika kembali pada 6 pekan lalu, antisipasi tersebut urung diberikan.
ADVERTISEMENT
“Ketika semua disuruh work from home, stay at home, ya mungkin yang bekerja di korporasi besar memang ada jenis pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Terus gajinya juga masih utuh,” urai Naim.
“Tapi kalau teman-teman di sektor informal kan berbeda kan. Artinya mereka tidak punya pilihan,” tambah Naim.
Ilustrasi pemudik. Foto: ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
Para pekerja tersebut dihadapkan pada kondisi tetap harus membayar biaya kos dan makan secara mandiri. Sementara saat itu mereka tidak mendapatkan penghasilan. Dengan demikian pulang adalah pilihan rasional.
Naim menyebut idealnya setiap mereka yang hendak mudik dites deteksi virus corona terlebih dahulu di Jakarta. Jika hasilnya positif, orang tersebut dilarang untuk kembali ke daerahnya. Lantas bagaimana dengan kasus warga Wonogiri yang telanjur mudik?
ADVERTISEMENT
Menurut Naim, pemerintah Wonogiri saat ini harus menyegerakan rapid test. Tes tersebut dilakukan dengan mengambil sampel darah seseorang dan hasil positif atau tidaknya akan keluar sekitar 10-15 menit. Meski hasil tes belum valid sepenuhnya, opsi tersebut adalah yang paling realistis saat ini. “Kalau sanggup PCR (Polymerase Chain Reaction)--memeriksa spesimen dari swab tenggorokan dan mulut dapat lebih akurat mengetahui DNA virus dalam tubuh --itu jauh lebih baik. Tapi saya tahu Wonogiri enggak ada lab yang bisa PCR, di kita paling ada di UNS (yang terdekat),” kata Naim.
Selain itu, pemerintah Wonogiri juga bisa memaksimalkan peran RW untuk mendata dan mengecek setiap warganya yang baru saja datang dari Jabodetabek. RW memiliki jangkauan yang tidak terlalu luas sehingga dianggap mampu melakukan dua hal tersebut secara efektif. Berbeda dengan provinsi atau kabupaten yang jangkauannya terlampau luas.
ADVERTISEMENT
“Bisa ketemu setiap hari, istilahnya bisa di-cover, pak RW atau siapa yang membantu. Jadi semua pemudik itu ditanya ada gejala apa. Atau kalau memungkinkan diteslah yang rapid test. Bisa menurunkan dari puskesmas,” jelas Naim.
Petugas medis bersiap mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) sebelum melaksanakan rapid test covid-19, di stadion Patriot Candrabhaga kota Bekasi, Kamis (26/3). Foto: ANTARAFOTO/Paramayuda
Naim menyoroti perlu adanya ketegasan dari pemerintah untuk sekarang. Physical distancing yang diberlakukan saat ini tidaklah efektif, khususnya untuk kelompok menengah ke bawah. Hal tersebut terlihat dari mereka yang tetap bekerja. Sementara di sisi lain, bekerja dari rumah atau WFH saat ini menjadi “privilege” bagi kelompok menengah atas.
Selain itu, edukasi terkait virus corona pun kurang. Apa yang terjadi saat ini Naim menyebutnya seperti kondisi berperang dengan musuh yang tidak terlihat. Alhasil, seseorang antara percaya atau tidak dengan virus corona. Umumnya mereka memerlukan bukti terlebih dahulu untuk percaya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari minimnya perhatian terhadap kelompok menengah ke bawah, opsi tidak mudik memang terbaik untuk saat ini. Namun, regulasi terkait larangan untuk mudik belum ada saat ini sehingga warga masih bebas keluar masuk Jabodetabek.
“Yang terbaik orang tidak mudik tapi konsekuensinya hidup mereka siapa yang nanggung sampai berapa lama. Orang kan perlu kejelasan,” Naim menjelaskan.
“Intinya, ini sudah terjadi. Sudah di situ enggak mungkin dibalikin juga,” tutup Naim.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!