Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Namun, sebelum menemukan obat-obatan yang benar. Para ilmuwan sudah menguji berbagai macam obat yang dapat digunakan untuk pengobatan pasien virus corona. Berikut ini daftar obatnya, seperti dilansir The Guardian.
Obat HIV: Kaletra
Kaletra adalah kombinasi dari dua obat antivirus, lopinavir dan ritonavir, yang biasanya digunakan untuk mengobati HIV. Menurut penelitian laboratorium, obat ini berpotensi membantu penyembuhan pasien COVID-19. WHO juga telah memasukkan Kaletra dalam uji klinis obat COVID-19.
Meski begitu, harapan ini mengalami kemunduran yang signifikan dengan salah satu studi yang menemukan obat ini tidak memberikan manfaat kepada 200 pasien yang sakit parah dari China. Studi ini juga menunjukkan ada kemungkinan bahwa obat itu bisa efektif jika diberikan sebelum pasien dalam kondisi parah.
Obat anti-malaria: Klorokuin (Chloroquine)
Klorokuin adalah obat yang tersedia luas dan telah secara rutin digunakan sejak tahun 1945 untuk melawan malaria. Obat ini juga aman dikonsumsi oleh wanita hamil dan anak-anak.
Hasil dari penelitian kecil di Prancis pada 24 pasien diklaim dapat mempercepat pemulihan pasien COVID-19. Klorokuin atau hydroxychloroquine, adalah empat di antara obat yang diuji klinis WHO. Namun, obat ini masih belum bisa dikatakan terbukti efektif dalam membantu pengobatan COVID-19.
Obat anti-flu: Favipiravir/Avigan
Obat flu Jepang, yaitu favipiravir atau juga dikenal sebagai avigan, diklaim efektif bisa mengobati pasien yang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2.
Zhang Xinmin, Direktur Pusat Nasional untuk Pengembangan Bioteknologi China mengatakan, obat favipiravir atau avigan yang dikembangkan oleh anak perusahaan Fujifilm, telah menunjukkan hasil yang positif dalam uji klinis pada 340 pasien COVID-19 (penyakit yang disebabkan SARS-CoV-2) di rumah sakit Wuhan dan Shenzhen.
Obat Avigan sendiri sebenarnya pernah dipakai saat wabah Ebola berlangsung pada 2016 kemarin. Kala itu, pemerintah Jepang menyebarkan wilayah yang terdampak wabah Ebola dengan obat Avigan sebagai bantuan darurat.
Obat Ebola: Remdesivir
Remdesivir awalnya dikembangkan sebagai pengobatan Ebola, tetapi obat ini telah muncul sebagai pelopor di antara obat antivirus potensial untuk memerangi COVID-19.
Obat ini bekerja dengan mematikan kemampuan virus untuk mereplikasi dirinya di dalam sel tubuh. Hal ini berarti kemungkinan besar akan efektif ketika seseorang baru saja terpapar virus dan masih bereproduksi di saluran pernapasan.
Beberapa uji coba sedang dilakukan untuk mengevaluasi remdesivir di China, AS, dan Asia, dengan hasil pertama yang jatuh tempo pada April. Menurut studi, remdesivir bekerja juga melawan SARS dan MERS, dua virus corona lain yang juga mematikan.
Terapi antibodi
Para dokter di China telah merawat beberapa pasien yang sakit kritis dengan plasma darah dari pasien yang pulih, suatu pendekatan yang berawal dari pandemi flu Spanyol pada tahun 1918.
Logika pengobatan ini adalah darah pasien yang sembuh mengandung antibodi untuk membantu melawan infeksi di tubuh pasien yang sakit. Namun, pengobatan ini ada kerugiannya, karena metode yang sulit untuk digunakan secara luas hingga risiko penularan penyakit lain.
Interferon beta
Perusahaan biotek Inggris, Synairgen, telah diberi persetujuan untuk menguji coba obat penyakit paru-paru pada penderita COVID-19. Obat biosimilar, interferon beta, pada awalnya dikembangkan untuk pasien dengan gangguan paru obstruktif kronis, atau COPD.
Harapannya adalah bahwa pemberian interferon beta meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan virus, terutama pada mereka yang memiliki sistem kekebalan yang melemah. Terapi dengan interferon beta telah diuji coba oleh WHO pada Februari lalu, saat itu pasien dapat menggunakannya sendiri menggunakan alat nebuliser.
Di saat yang bersamaan, Iran juga mengembangkan interferon beta dan interferon alfa untuk mengobati pasien COVID-19. Juru bicara Kementerian Kesehatan Iran, Kianoush Jahanpour, mengatakan tidak ada kendala berarti dalam produksi kedua obat tersebut karena Iran telah memiliki produsennya.