Pemerintah Diminta Tetapkan Status ‘Indonesia Darurat Karhutla’

17 September 2019 17:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah orang utan Kalimantan terlihat di Pulau Salat  di tengah kabut asap yang menyelimuti di Marang, Palangka Raya, Kalimantan. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah orang utan Kalimantan terlihat di Pulau Salat di tengah kabut asap yang menyelimuti di Marang, Palangka Raya, Kalimantan. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
ADVERTISEMENT
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mengepung wilayah Sumatera dan Kalimantan selama beberapa bulan terakhir. Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), organisasi nirlaba yang bergerak untuk menangani masalah lingkungan, status “Indonesia Darurat Karhutla” sudah harus disematkan mengingat dampak bencana ini telah mengakibatkan sejumlah kerugian di berbagai sektor dan lini kehidupan.
ADVERTISEMENT
Kerugian tersebut meliputi gangguan kesehatan terutama yang menyangkut Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA. Selain itu, ada pula persoalan sosial karena hilangnya hutan sebagai sumber mata pencaharian serta dampak ekologi dengan hilangnya habitat flora dan fauna.
Warga menggunakan masker saat berada di objek wisata bantaran Sungai Kahayan, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu (15/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rendhik Andika
Lukas Adhyakso, Direktur Konservasi WWF-Indonesia, menyatakan penyebab kebakaran hutan yang kian parah di negeri ini tidaklah sederhana. Selain karena kondisi cuaca kering sebagai faktor alam, Lukas juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap praktik pembukaan lahan secara ilegal sebagai penyebab terjadinya karhutla di Indonesia.
“Kita sendiri di WWF, sudah kewalahan menangani soal kebakaran hutan ini. Kita sudah bekerja di Taman Nasional Tesso Nilo, di sekitar ekosistem gambut di Londerang kemudian di sekitar Bukit Tiga Puluh. Di Kalimantan kita bekerja di Sebangau. Kawasan-kawasan ini kita pertahankan supaya tidak terbakar, kita sudah mengupayakan sebisa mungkin. Untuk itu kami membutuhkan kepedulian semua untuk terlibat dalam upaya pemadaman,” papar Lukas di acara Media Briefing bertajuk “Indonesia Darurat Karhutla dan Upaya Penyelamatan Hutan yang Tersisa” yang dihelat WWF Indonesia di Graha Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (17/9).
Acara Media Briefing WWF indonesia “Indonesia darutat Karhutla dan Upaya Penyelamatan Hutan Yang Tersisa”, Selasa (17/9), di Graha Simatupang, Jakarta Selatan. Foto: Farida Yulistiana/kumparan
WWF Indonesia menyatakan bahwa bencana kebakaran hutan sebenarnya juga terjadi di sejumlah negara. Pemicunya tak lain karena ulah manusia. Hanya saja, WWF menjelaskan bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara kebakaran hutan di Indonesia dengan negara lain.
ADVERTISEMENT
“Misalnya kita bandingkan dengan Australia atau di California, kemungkinan besar kebakaran hutan akibat ulah manusia. Tapi kalau di Indonesia, hutan dibakar dalam konteks kesengajaan. Utamanya untuk dikuasai lahannya. Kalau di Australia kebakaran hutan bukan dalam konteks untuk menguasai lahan. Ini mungkin yang membedakan kita dengan negara-negara lain.” terang Aditya Bayunanda selaku Direktur Policy & Advocacy WWF-Indonesia.
Acara Media Briefing WWF indonesia “Indonesia darutat Karhutla dan Upaya Penyelamatan Hutan Yang Tersisa”, Selasa (17/9), di Graha Simatupang, Jakarta Selatan. Foto: Farida Yulistiana/kumparan
Tak bisa ditampik, alasan campur tangan korporasi maupun individu dalam memicu karhutla tak lain untuk mencari keuntungan komersial melalui praktik pembukaan lahan yang masih menggunakan metode pembakaran karena dianggap lebih mudah dan murah.
“Di Brasil kejadiannya mirip. Kebakaran hutan yang terjadi di sana karena mereka membutuhkan area-area untuk peternakan sapi,” imbuh Aditya.
ADVERTISEMENT
Menurut Aditya, melalui media briefing semacam ini WWF ingin mengubah paradigma masyarakat utamanya pemerintah yang selama ini selalu menganggap bencana Karhutla sebagai hal yang lumrah. “Saya pikir pemerintah, dalam hal ini Bapak Presiden, perlu mendudukkan bahwa persoalan kebakaran hutan itu jangan dianggap normal,” kata dia.
Melihat kondisi saat ini, di mana banyak penerbangan dibatalkan, bandara ditutup kemudian sekolah-sekolah juga diliburkan sebagai dampak kabut asap Karhutla yang tak bisa lagi ditolerir, Aditya menegaskan kondisi tersebut tidak bisa disebut lagi normal.
Sebuah gubuk kayu terbakar karena kebakaran hutan di Palangka Raya. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Menurut dia, kita tidak bisa lagi mengandalkan kondisi atau faktor alam seperti hujan untuk menanggulangi masalah karhutla. Selain itu, manusia juga harus sadar bahwa mereka seharusnya tidak mengandalkan faktor alam akan selalu berpihak agar karhutla tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
“Jika di tahun 2015 karhutla dipicu kemarau panjang di sejumlah wilayah sehingga hujan tidak turun di sepanjang tahun. Sebenarnya kita cukup beruntung, dari 2016, 2017, 2018 terjadi kemarau basah. Nah, di 2019 ini sebenarnya adalah kemarau yang extra ordinary. (Jadi) kita tidak boleh lagi menerima ini sebagai hal yang normal, ini darurat,” tegasnya.