Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Penampakan Paru-paru Rusak Akibat Covid dari X-Ray Terkuat di Bumi
5 Februari 2022 9:33 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Peneliti gabungan dari University College London, European Synchrotron Radiation Facility, dan Johannes Gutenberg University Mainz, berhasil menggunakan salah satu mesin X-Ray terkuat di bumi untuk melihat dampak COVID-19 pada paru-paru, dengan resolusi sampai 25 mikron. Resolusi ini lebih kecil dari rambut manusia, dan sepuluh kali lipat dari citra X-Ray biasa.
ADVERTISEMENT
Peneliti mengungkap bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus corona itu berhasil menghancurkan pembuluh darah, kapiler, dan alveolus, di tingkat mikroskopis. Ini berhubungan dengan gejala hypoxia, di mana pasien COVID-19 butuh sokongan tabung oksigen ketika menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Penelitian ini terbit di jurnal American Journal of Respitarory and Critical Care Medicine pada Januari 2022 lalu.
Peneliti menggunakan generator sinar-X khusus yang bernama Hierarchical Phase-Contrast Tomography (HiP-CT). CT ini biasa digunakan untuk mengungkap isi mumi tanpa membuka peti matinya, atau memindai fosil dinosaurus yang terbenam di dalam batu.
Mesin X-ray HiP-CT ini adalah bagian dari European Synchrotron Radiation Facility (ESRF), sebuah akselerator raksasa (mirip CERN) yang menghasilkan x-ray yang dipercepat melalui jalur pipa ruang hampa yang membentuk donat, berlokasi di Prancis.
Pada 2020 lalu, M. Ackerman, peneliti Johannes Gutenberg University Mainz memiliki hipotesis bahwa COVID-19 bukan penyakit yang langsung menyerang paru-paru melainkan merusak pembuluh darah. Ackerman dan koleganya, Danny Jonigk dari Hannover Medical School menemukan bahwa pembuluh darah paru-paru milik pasien COVID-19 yang mereka teliti terdistorsi, rusak, yang mana kemudian terbentuk kembali.
ADVERTISEMENT
Ackerman ingin menguji lebih jauh hipotesis tersebut, namun terkendala resolusi CT scan konvensional yang rendah. Mengingat resolusi CT Scan umumnya hanya sampai 0.55 mm, sementara ukuran pembuluh darah terkecil (kapiler) mencapai 8 bahkan 1 mikrometer, kira-kira 500 kali lebih kecil.
“Pada akhirnya, paru-paru adalah [organ di mana] oksigen masuk, karbon dioksida keluar, dan memiliki ribuan dan ribuan mil pembuluh darah dan kapiler yang sangat bagus dan tertata sangat rapi . . hampir seperti sebuah keajaiban,” jelas Jonigk. “Jadi bagaimana caranya kita dapat melihat sesuatu yang rumit seperti COVID-19 . . . tanpa menghancurkan organ?”
Mereka mencari jalan keluar. Ackerman dan Jonigk menghubungi Peter Lee, ilmuwan dari UCL yang meneliti objek hidup dengan x-ray. Lee mengarahkan dua kolega baru ini ke European Synchrotron Radiation Facility (ESRF), di mana mesin x-ray terbesar di dunia berbaring di pegunungan Prancis.
ADVERTISEMENT
Enter Tafforeau, yang menyambut mereka di ESRF, mengatakan secara teori sangat mungkin untuk memindai seluruh paru dengan HiP-CT di ESRF, namun ada beberapa kendala.
Pertama ada kontras jaringan. Perbedaan hitam dan putih di gambar x-ray berdasarkan pada densitas objek. Di mana objek yang lebih padat dan tersusun dari atom yang berat cenderung lebih gelap di gambar. Perbedaan densitas tulang dinosaurus dengan batu di sekitarnya membuat hasil gambar lebih jelas. Namun untuk paru, yang mayoritas tersusun dari atom ringan seperti karbon, hidrogen dan oksigen, cenderung terang dan sulit dipisahkan antar jaringan satu dengan yang lain.
Untungnya, desain dari ERF memungkinkan perbedaan densitas yang sedikit dapat membelokkan sinar x-ray sehingga mudah untuk terdeteksi.
ADVERTISEMENT
Kedua, adalah objek harus diam. Karena penyinaran x-ray di ESRF dilakukan berkali-kali, pergeseran 0,001 milimeter dapat menyebabkan gambar rusak dan tidak relevan. Tafforeau mengakali kendala kedua ini dengan mengurung organ paru di volume agar-agar. Agar-agar ini—yang dibuat menggunakan bahan pasaran dan air hujan—berhasil mempertahankan bentuk organ tanpa mengganggu citra x-ray.
Ketika semuanya sudah siap, Tafforeau mulai dengan scan sebuah paru-paru dari pasien COVID-19 yang meninggal di usia 54 tahun. Tafforeau kemudian mengirim hasil CT Scan—yang kemudian dinamai HiP-CT—tersebut kepada Peter Lee dan Claire Walsh—kolega Lee yang pakar di bidang dataset.
“Pertama kali kami melihat resolusi tersebut . . kami hanya, diam,” ungkap Walsh, yang kagum dengan hasil scan ultra-detail tersebut.
ADVERTISEMENT
Peneliti-peneliti kemudian bergabung untuk melanjutkan studi di citra paru-paru pasien COVID-19, menggunakan organ donor yang didapat dari berbagai negara. Mereka memberi nama Human Organ Atlas, untuk gerakan mereka memperbanyak koleksi citra-citra organ lainnya yang didapat menggunakan CT Scan super HiP-CT mereka.
Salah satu penelitian mereka, yang dipublikasikan di jurnal Nature Method per November 2021 lalu, menggali ke pertanyaan awal, seberapa parah COVID-19 merusak pembuluh darah yang ada di paru-paru manusia?
ADVERTISEMENT
Di penelitian Ackerman yang sudah disinggung di atas juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Ada pelebaran pada pembuluh darah mikro yang terletak di peribronkial dan perivascular paru-paru pasien positif COVID-19, khususnya yang mengidap ADRS.
Temuan ini memberi harapan kepada peneliti-penelti lain—termasuk di luar Human Organ Atlas—untuk mengungkap misteri patologi yang selama ini terkendala resolusi citra. Human Organ Atlas juga memetakan detail organ lain seperti jantung dan ginjal, sebagai langkah memulai era baru pencitraan organ dalam manusia.