Peneliti Ciptakan Nyamuk Pembawa Parasit Hasil Rekayasa Genetik, Buat Apa?

27 November 2024 16:14 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi nyamuk DBD pada kulit manusia. Foto: AUUSanAKUL/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nyamuk DBD pada kulit manusia. Foto: AUUSanAKUL/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Nyamuk punya reputasi buruk karena membawa parasit penyebab penyakit berbahaya, salah satunya malaria. Peneliti mencoba menciptakan nyamuk hasil rekayasa genetik untuk mengubah reputasi buruk itu menjadi kabar baik bagi kesehatan dunia.
ADVERTISEMENT
Sekelompok ilmuwan menginfeksi nyamuk dengan parasit Plasmodium falciparum yang menjadi penyebab penyakit malaria. Namun parasit tersebut sudah direkayasa genetik terlebih dahulu.
Sejauh ini, apa yang dilakukan peneliti terbukti efektif dalam uji coba tahap awal, dengan menunjukkan hampir 90 persen peserta yang terpapar parasit P. falciparum yang sudah dimodifikasi berhasil terhindar dari malaria. Hasil pengujiannya sudah ditulis dalam jurnal The New England Journal of Medicine.
Ketika seseorang terinfeksi P. falciparum, biasanya parasit akan menuju ke hati. Dari sana, dia menginfeksi sel darah merah.
Para peneliti memodifikasi dua kelompok parasit: Kelompok pertama (GA1) telah direkayasa untuk berhenti berkembang setelah 24 jam memasuki tubuh manusia, sementara kelompok kedua (GA2) dirancang untuk berhenti berkembang sekitar 6 hari setelah infeksi. Berbeda dengan kelompok pertama, GA2 mampu berkembang ke tahap hati.
ADVERTISEMENT
Peserta kemudian dibagi menjadi tiga kelompok: GA1, GA2, dan plasebo. Kelompok GA1 dan GA2 digigit oleh dua tipe nyamuk berbeda: Nyamuk pertama sudah dimodifikasi secara genetik, nyamuk kedua belum dimodifikasi. Sedangkan kelompok plasebo hanya menerima gigitan nyamuk pembawa parasit yang tidak dimodifikasi.
Nyamuk Anopheles penyebar malaria. Foto: James Gathany, USCDC via Pixnio
Hasilnya, kelompok plasebo terus mengembangkan penyakit malaria. Sementara itu, kelompok GA1 dan GA2 berhasil lolos dari penyakit tersebut. Hanya satu peserta (87 persen) dari kelompok GA1 yang terpapar penyakit malaria.
“Temuan ini merupakan langkah maju dalam pengembangan vaksin malaria,” ujar Julius Hafalla, ahli imunolog di London School of Hygiene & Tropical Medicine, yang tak terlibat dalam penelitian kepada Nature.
Malaria merupakan masalah kesehatan global yang sudah ada sejak berabad-abad lalu, dan telah menyerang orang-orang di Mesir Kuno. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan 249 juta kasus malaria pada 2022, dengan 608.000 orang meninggal dunia. Sebagian besar kasus ini terjadi di Afrika, mencakup 94 persen insiden.
ADVERTISEMENT
Ada dua vaksin yang telah disetujui untuk mencegah malaria sejauh ini. Namun vaksin-vaksin tersebut masih jauh dari kata sempurna karena keefektifannya hanya sekitar 75 persen. Ditambah, vaksin malaria memerlukan beberapa kali suntikan untuk mencapai kekebalan penuh.
Oleh karena itu diperlukan alternatif lain, dan di sinilah studi baru berperan. Meski hasil yang dipublikasikan sangat menjanjikan, uji coba yang dilakukan peneliti masih sangat kecil. Pengujian dalam skala besar diperlukan sebelum vaksin nyamuk ini dapat diadopsi dan diterapkan di masyarakat global.