Peneliti LIPI Sebut 2 Hal yang Memicu Karhutla di Indonesia

26 September 2019 16:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
ADVERTISEMENT
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di Indonesia setiap musim kemarau tiba bukanlah peristiwa yang alami atau hanya disebabkan oleh kondisi alam.
ADVERTISEMENT
“Bencana kebakaran di lahan gambut bukan terjadi karena faktor alam,” kata Eko Yulianto dalam siaran pers Humas LIPI yang diterima kumparan, Kamis (26/9).
Eko mengumpamakan lahan gambut sebagai spons yang terbuat dari sisa-sisa tumbuhan yang menyimpan karbon alami, sehingga tidak mudah lepas di udara dan menyerap banyak air. “Lahan gambut tak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Namun ketika air di permukaan gambut dikeluarkan, lahan akan sangat mudah terbakar,” ujar Eko.
Menurut Eko, api yang memantik kebakaran di lahan gambut bukan berasal dari api alam seperti gunung berapi dan petir. “Sebagian besar lahan gambut di Indonesia jauh dari gunung berapi, sementara petir terjadi di musim hujan,” paparnya.
Eko menyebut ada dua hal yang memicu kebakaran. “Pertama, lahan gambut itu sudah sengaja dikeringkan setidaknya pada bagian atasnya. Kedua, ada manusia yang memantik api di permukaan gambut kering ini.”
Dr Eko Yulianto, Kepala Pusat Penelitian Geoteknoligi LIPI. Foto: Habib Allbi Ferdian/kumparan
ADVERTISEMENT
Minimnya kesiapsiagaan dan mitigasi karhutla
Akibat karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, sejumlah provinsi diselimuti oleh kabut asap. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), setidaknya ada satu orang tewas dan lebih dari 900 ribu warga di Sumatera dan Kalimantan terkena infeksi sistem pernapasan atas (ISPA) akibat bencana kabut asap ini.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Deny Hidayati, mengatakan kesiapsiagaan dan pengetahuan mitigasi kebakaran hutan dan lahan yang masih kurang menjadi penyebab tingginya risiko bencana. “Minimnya pengetahuan terhadap dampak asap membuat masyarakat hanya menggunakan perlindungan seadanya seperti masker, selendang, atau kerudung,” jelasnya.
Dari penelitian yang dilakukan sejak tahun 2015, Denny menjelaskan penduduk juga belum mengetahui konsep rumah aman terhadap asap. “Rumah-rumah panggung yang ada memang aman dari banjir namun belum mampu melindungi dari asap karena dinding kayunya renggang yang membuat asap mudah masuk,” ujar Deny.
ADVERTISEMENT
Denny menegaskan, rumah aman ini sangat dibutuhkan terutama oleh kelompok rentan seperti bayi dan balita, anak-anak, dan lansia karena karhutla masih terus terjadi pada musim kemarau panjang.
Kebakaran Hutan Kebakaran lahan gambut dan hutan di Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Pengurangan risiko
Pusat Penelitian Kependudukan LIPI memberikan beberapa rekomendasi kebijakan pengurangan risiko bencana. “Penduduk harus dilibatkan dalam mengurangi risiko asap kebakaran hutan dan lahan dengan cara meningkatkan kesiapsiagaan penduduk desa,” ujar Deny. Selain itu, pengetahuan konstruksi bangunan seperti rehabilitasi rumah dan sekolah untuk mengurangi masuknya asap juga sangat diperlukan.
Rekomendasi lainnya adalah terkait aspek perekonomian penduduk desa. “Perlu adanya program perlindungan seperti asuransi petani terhadap keberlanjutan penghidupan penduduk, terutama pertanian dan perkebunan yang menjadi pekerjaan utama sebagian besar penduduk desa,” ungkap Deny.
ADVERTISEMENT
Program sosialisasi kepada petani dan tentang pengolahan lahan pertanian tanpa bakar, penyediaan akses teknologi tepat guna dan akses permodalan, serta pembimbingan secara berkala juga dirasa perlu dilakukan.
Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting yang terdampak Karhutla Foto: Dok. Balai TN Tanjung Puting
Selain itu, dalam skala yang lebih besar, kita perlu untuk melihat ancaman bencana karhutla sebagai persoalan pertahanan dan keamanan. “Akar persoalan bencana (karhutla) adalah perilaku tidak tertib, tidak peduli aturan, dan bertindak semaunya,” ujar Eko menambahkan.
Menurut Eko, upaya pengurangan resiko bencana harus dilakukan dengan fokus utama membangun perilaku dan mental manusia. “Masyarakat perlu dilibatkan dengan cara memperbaiki sikap dan perilaku. Budaya tidak tertib harus dihilangkan. Dengan demikian, upaya utama pengurangan risiko bencana justru bukan pembangunan infrastruktur kebencanaan tetapi segala upaya untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang tertib,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT