Peneliti LIPI soal Rencana Basmi Burung Emprit di Sleman: Bakal Ganggu Ekosistem

27 Maret 2021 10:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Burung pipit yang dianggap hama pertanian. Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Burung pipit yang dianggap hama pertanian. Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Rencana pembasmian burung emprit atau pipit di Sleman, Yogyakarta, menuai polemik, terutama bagi Yayasan Wahana Gerakan Lestari Indonesia (Wagleri). Pasalnya, pembasmian burung pipit ini telah digodok oleh DPRD Sleman dan berencana akan menganggarkan dana untuk jaring penangkap burung senilai Rp 140 juta.
ADVERTISEMENT
Menurut Wagleri, rencananya tersebut dianggap langkah mundur dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga kesehatan ekosistem.
"Jadi kebijakan yang saat ini ada tentang pembasmian emprit itu tidak didahului oleh kajian secara ilmiah. Kajian ekologisnya seperti apa kan tidak ada. Apakah kita mau mengulang kebodohan kebijakan Mao Zedong di China kan gitu," kata Hanif, Kamis (25/3).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh peneliti dari Pusat Peneliti Biologi Pusat Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Haryoko. Menurutnya, pembasmian burung emprit bisa mengancam ekosistem alami.
“Tentu keseimbangan ekosistem alaminya akan terganggu. Burung pipit atau bondol merupakan salah satu hewan yang berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Burung ini berperan sebagai konsumen I dalam rantai makanan suatu ekosistem,” katanya saat dihubungi kumparanSAINS, Jumat (26/3).
Burung pipit atau bondol jawa yang dianggap sebagai hama pertanian. Foto: Dok. Mongabay.com
Ketika salah satu rantai makanan terganggu, ini bisa menyebabkan tidak seimbangnya ekosisitem tersebut yang kemudian berdampak pada peningkatan populasi ataupun penurunan suatu populasi mata rantai lainnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau salah satu yang naik populasinya itu adalah mata rantai yang merugikan maka tentu saja akan berdampak kerugian yang lebih banyak,” jelasnya.
Di Indonesia sendiri, ada tiga jenis burung bondol yang tercatat menyerang tanaman padi, yakni bondol peking (Lonchura punctulata), bondol jawa (L. leucogastroides) dan bondol haji (L. maja).
Menurut Tri, pembasmian adalah langkah yang kurang tepat. Sebab, selain akan mengganggu ekosistem, burung emprit merupakan salah satu kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia, baik itu sebagai kekayaan genetik maupun kekayaan jenis yang wajib dijaga kelestariannya sehingga tidak terjadi kepunahan.

Alternatif untuk menangani konflik burung pipit dan manusia

Tri menjelaskan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menangani konflik antara manusia dan burung pipit. Pertama adalah pengendalian secara teknik budidaya, yakni dengan melakukan penanaman secara serentak. Penanaman serentak bisa membuat burung tidak berkumpul dan terkonsentrasi untuk menyerang dalam satu area atau wilayah saja.
Burung pipit di sawah Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Kedua adalah pengendalian secara fisik atau mekanik dengan teknologi. Seperti halnya yang dilakukan oleh petani selama ini, dengan memasang orang-orangan sawah dan bunyi-bunyian untuk mengusir secara langsung.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya berbagai teknologi untuk mengusir burung sudah ada dan terus dikembangkan seperti alat pengusir burung yang dipasang di berbagai bandara,” tambah Tri.
“Beberapa juga telah dikembangkan di berbagai Lembaga penelitian dan universitas seperti yang telah dipublikasikan oleh peneliti Universitas Hasanudin Makasar yang telah mengembangkan alat dengan memadukan mesin penyemprot pengharum ruangan dengan memberikan ekstrak tanaman tertentu.”
Selain itu, peneliti dari Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2018 juga telah mempublikasikan prototipe alat pengusir burung. Peneliti lainnya dari Universitas Andalas telah mengembangkan aplikasi mikrokontroler sebagai pengontrol sistem pengusir burung pemakan padi dengan bunyi sirine, dan masih banyak lagi berbagai alat yang telah dikembangkan.
Ketiga adalah pengendalian populasi. Pengendalian populasi ini dilakukan dengan melakukan kajian tentang jumlah populasi sesungguhnya jenis burung tersebut.dengan pengetahuan jumlah populasi maka akan dapat diambil langkah-langkah pengendalian populasi yang tepat.
Ilustrasi burung pipit. Foto: pixabay/rbalouria

Benarkah burung pipit lebih rakus dari tikus?

Menurut Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Sidomulyo Jumeni, burung pipit jauh lebih ganas dibanding tikus saat menyerang padi. "Wong tikus itu sebenarnya tidak makan cuma merusak. Yang makan justru emprit, kalau pipit itu malah makan," katanya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Tri mengatakan bahwa kerugian akibat serangan burung bondol tidak akan melebihi hama tikus. Burung ini hanya mempunyai berat 10-15 gram. Artinya, satu ekor burung hanya mempunyai kebutuhan pakan sekitar 10-30 persen dari berat badannya per hari. Ini setara dengan 3 hingga 5 bulir gram biji-bijian.
Hasil penelitian yang dipublikasi Media Konservasi Vol. 22 No. 2 Agustus 2017, menunjukkan rata-rata besar kerusakan tanaman padi oleh burung bondol di Sawah sebesar 4,24 persen. Besar kerusakan tersebut terhitung lebih kecil dibandingkan dengan tiga hama lainnya, seperti tikus sawah sebesar 20 persen (Wahyana 2015), penggerek batang sebesar 30 persen (BBPTP 2015) dan wereng coklat sebesar 28 persen (Kenmore 1979).
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin Pertanian 2018) mencatat bahwa tikus sawah adalah hama utama tanaman padi dengan tingkat serangan puso tertinggi. Luas serangan tikus sawah di Indonesia mencapai 66.087 hektare per tahun dengan 1.852 hektare di antaranya mengalami puso.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tanaman (BBPOPT) tahun 2010, Hama dan penyakit yang paling merugikan dalam budidaya padi antara lain, penggerek batang padi (Scirpophaga sp.Wlk), wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal), tikus (Rattus argentiventer Rob dan Kloss), tungro (Rice tungro bacilliform virus), blast (Pyricularia grisea), dan hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae).