news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Peneliti Sudah Prediksi Potensi Tsunami Akibat Longsor Anak Krakatau

28 Desember 2018 7:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
ADVERTISEMENT
Tsunami tak melulu dipicu oleh gempa Bumi. Ia juga bisa disebabkan oleh aktivitas vulkanik gunung berapi dan longsor di laut, seperti yang terjadi pada tsunami di Selat Sunda akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau, pada Sabtu, 22 Desember 2018.
ADVERTISEMENT
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kala itu tidak mengeluarkan peringatan dini tsunami karena tak diawali oleh gempa Bumi, melainkan aktivitas gunung berapi. Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, mengakui selama ini BMKG hanya bisa mendeteksi gempa yang berasal dari aktivitas seismik.
BMKG sudah memastikan bahwa tsunami kali ini terjadi karena longsornya bagian dari Gunung Anak Krakatau yang terjadi akibat aktivitas gunung berapi tersebut.
"Massa yang masif masuk ke dalam air itu ibaratnya kalau gelas dimasuki batu, itu akan membuat airnya naik. Jadi longsor itu yang memicu gelombang. Gelombang yang tadi kita sebut sebagai gelombang tsunami yang akhirnya merambat ke arah pantai," jelas dia.
Perubahan tapak Gunung Anak Krakatau sebelum dan setelah tsunami Selat Sunda.  (Foto: ESA, CATnews)
zoom-in-whitePerbesar
Perubahan tapak Gunung Anak Krakatau sebelum dan setelah tsunami Selat Sunda. (Foto: ESA, CATnews)
Pada tahun 2012, ternyata ada sebuah studi yang menunjukkan adanya potensi tsunami bila suatu saat longsor Gunung Anak Krakatau terjadi. Studi ini bertajuk "Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia" oleh Thomas Giachetti dari University of Oregon (AS), Karim Kelfoun dan Raphaël Paris dari Université Clermont Auvergne (Prancis), dan Budianto Ontowirjo.
ADVERTISEMENT
Para peneliti melakukan simulasi dengan menggunakan Digital Elevation Model (DEM) atau model 3 dimensi yang merepresentasikan permukaann Bumi, yang didapat dari data milik Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER).
Simulasi ini menunjukkan bahwa bila terjadi longsoran lereng di sebelah barat daya Anak Krakatau dengan volume material mencapai 0,28 km3, maka akan memicu munculnya gelombang ombak dengan tinggi awal 43 meter dan akan tiba di pulau sekitar Anak Krakatau dalam waktu kurang dari satu menit, dengan amplitudo antara 15 hingga 30 m.
Pulau itu antara lain Sertung, Panjang, dan Rakata, dalam waktu kurang dari satu menit. Penelitian juga mengingatkan bahwa gelombang ini akan sangat berbahaya bagi kapal yang ada di sekitar Anak Krakatau.
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
Giachetti bersama dengan rekan-rekannya juga sudah menuliskan, gelombang ini kemudian akan merambat melintasi Selat Sunda dengan kecepatan rata-rata 80 sampai 110 km h21. Gelombang pertamanya akan mencapai kota-kota di pantai barat Jawa setelah 35 sampai 45 menit, dengan amplitudo maksimum antara 2,9 m di Carita dan 3,4 m di Labuhan.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi seperti ini, Giachetti menulis tsunami tersebut akan memberi risiko yang signifikan mengingat di kawasan tersebut banyak populasi penduduk dan infrastruktur industri di sepanjang bagian pantai yang terpapar tsunami di Jawa dan Sumatra. Selain itu, kondisi diperparah karena rendahnya ketinggian sebagian besar tanah di kawasan tersebut.
Dampak yang signifikan ini, menurut Giachetti, bisa dicegah jika pemerintah setempat memanfaatkan sistem peringatan yang efisien dan baik di pantai, mengingat prediksi ini juga mencatat gelombang ombak baru mencapai pantai di Jawa dan Sumatra dalam 35 sampai 45 menit.
Simulasi longsor yang bisa terjadi di Gunung Anak Krakatau (Foto: Dok. Thomas Giachetti )
zoom-in-whitePerbesar
Simulasi longsor yang bisa terjadi di Gunung Anak Krakatau (Foto: Dok. Thomas Giachetti )
Raphael Paris, salah satu peneliti yang ikut serta dalam studi tahun 2012 turut memberikan pandangannya mengenai tsunami yang terjadi di Selat Sunda dalam sebuah pernyataan melalui European Geosciences Union (EGU).
ADVERTISEMENT
“Pada 2012, kami mempublikasikan sebuah studi mengenai kemungkinan longsor di lereng Anak Krakatau dan melakukan simulasi numerik pada kemungkinan tsunami. Volume longsor yang disimulasikan lebih besar daripada yang terjadi hari Sabtu dan skenario kami bisa dianggap sebagai kemungkinan terburuk,” kata Paris dalam penyataannya. “Namun, masih banyak ketidakpastian mengenai stabilitas kerucut gunung berapi itu sekarang dan kemungkinan terjadinya longsor dan tsunami di masa depan tidak bisa diabaikan.”
Bukan hanya tsunami yang ditimbulkan oleh longsoran, dalam pernyataan dari Prof. Hery Harjono, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI juga mengatakan, pada tahun 1995, peneliti Christine Deplus sudah menyoroti bahwa sisi barat daya Anak Krakatau terlihat lebih curam dibandingkan sisi lain di sebuah studi yang berjudul Inner Structure of The Krakatau Volcanic Complex (Indonesia) From Gravity and Bathymetry Data.
ADVERTISEMENT
“Tentu ini merupakan bagian yg labil dan jika melorot atau longsor tentu dapat memicu tsunami. Deplus dkk menulis demikian,” tulis Herry dalam pernyataannya.
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
Aktivitas Gunung Anak Krakatau, ketidakstabilan lapisan di sekitarnya, dan berbagai prediksi tsunami yang muncul karenanya, tentu saja merupakan bahaya yang tidak bisa diabaikan. Penelitian mencatat, setidaknya ada 115 tsunami yang terjadi karena aktivitas vulkanik sejak tahun 1600 dengan jumlah korban mencapai 54.000 orang. Tercatat ada 36 peristiwa tsunami vulkanik yang terjadi selama abad 19 dan 54 peristiwa selama abad 20. Tsunami vulkanik sangat berbahaya karena dapat terjadi dengan sedikit peringatan.
Asia Selatan dan Pasifik Selatan merupakan kawasan yang berpotensi terpapar tsunami vulkanik karena di sana banyak gunung berapi aktif yang berlokasi di dekat pantai. Pemantauan yang sistematis terhadap bahaya gunung api dipercaya para peneliti bisa mengurangi dampak bencana di masa depan.
ADVERTISEMENT