Penguin Pertama Mati Gara-gara Flu Burung Ditemukan di Antartika

5 Februari 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi penguin raja (Aptenodytes patagonicus). Foto: Michelle Sole/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penguin raja (Aptenodytes patagonicus). Foto: Michelle Sole/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seekor penguin raja diduga mati gara-gara infeksi flu burung di Antartika. Jika terkonfirmasi, dia menjadi yang pertama di spesiesnya yang terbunuh oleh virus H5N1 penyebab penyakit mematikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya para peneliti telah menyuarakan kekhawatirannya soal kemungkinan flu burung menginfeksi populasi penguin di Antartika. Menurut mereka, jika itu terjadi, maka akan menjadi salah satu bencana ekologi terbesar di zaman modern.
Saat ini spesies burung di Antartika sedang berkumpul untuk musim kawin. Artinya, penyakit dapat mewabah ke seluruh koloni jika terus menyebar di wilayah Antartika.
"Kedatangan virus H5N1 di Antartika menjelang akhir tahun lalu memberikan peringatan karena risiko yang ditimbulkannya terhadap satwa liar di ekosistem yang rapuh ini," kata ahli virologi molekuler di MRC-University of Glasgow Centre for Virus Research, Ed Hutchinson, dikutip dari The Guardian.
Ilustrasi penguin raja (Aptenodytes patagonicus). Foto: Claudine Van Massenhove/Shutterstock
Penguin raja, atau nama latinnya Aptenodytes patagonicus, merupakan penguin terbesar kedua di dunia setelah penguin kaisar (Aptenodytes forsteri), tingginya sekitar 90 sentimeter. Dia bisa hidup hingga lebih 20 tahun di alam.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Komite Ilmiah Penelitian Antartika (Scientific Committee on Antarctic Research/Scar), kasus penguin raja mati diduga flu burung terjadi di pulau Georgia Selatan di wilayah Antartika. Seekor penguin gentoo (Pygoscelis papua) juga diduga mati akibat H5N1 di lokasi yang sama.
Satu penguin gentoo pernah ditemukan mati di Kepulauan Falkland, yang jaraknya sekitar 1.500 kilometer di bagian barat Georgia Selatan. Di sana, lebih dari 20 anak penguin mati dengan gejala serupa.
Sekelompok penguin gentoo berjalan di sepanjang Quentin Point, Pulau Anvers, Antartika, 4 Februari 2020. Foto: Ueslei Marcelino/REUTERS
Sejak H5N1 tiba di Antartika pada tahun lalu, telah terjadi kematian massal anjing laut gajah. Jumlah anjing laut berbulu, burung camar rumput laut, dan skua coklat mati akibat flu burung turut meningkat.
Sebelumnya flu burung pernah mewabah di Afrika Selatan, Chile, dan Argentina, dengan penguin rentan terhadap penyakit ini. Lebih dari 500.000 burung laut mati sejak virus itu muncul di Amerika Selatan, dengan penguin, pelikan, dan boobies menjadi kelompok burung paling terdampak.
ADVERTISEMENT
"Saya benar-benar terpukul – begitu pula semua orang yang peduli terhadap penguin dan Antartika... Mengingat organisasi sosial koloniak mereka, Anda pasti bertanya-tanya seberapa cepat mereka akan berpindah ke koloni," ujar Diana Bell, profesor biologi konservasi emeritus di University of East Anglia.
Belum ada kasus flu burung yang tercatat di daratan Antartika, menurut data pemetaan Scar. Namun ketiadaan itu dapat diragukan, mengingat hanya sedikit peneliti yang mencatat potensi tersebut.
Kehadiran flu burung semakin mengancam populasi penguin raja di Antartika. Sebuah riset keluaran 2018 lalu pernah mengingatkan penghuni asli kutub itu terancam punah pada akhir abad ini akibat krisis iklim dan penangkapan iklan berlebihan.
Selain Antartika, flu burung juga menyerang satwa liar di Arktik. Seekor beruang kutub ditemukan mati karena H5N1 untuk pertama kalinya pada Desember 2023 lalu.
ADVERTISEMENT