Penjelasan Reaksi Psikosomatik yang Muncul di Tengah Pandemi Corona

24 Maret 2020 15:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas medis daruruat China yang merawat pasien virus corona atau COVID-19 mulai meninggalkan Wuhan, Hubei, China.  Foto: AFP/STR
zoom-in-whitePerbesar
Petugas medis daruruat China yang merawat pasien virus corona atau COVID-19 mulai meninggalkan Wuhan, Hubei, China. Foto: AFP/STR
ADVERTISEMENT
Selalu ada yang tak pasti di balik kemunculan sebuah pandemi, termasuk soal kapan ia segera berakhir. Situasi ini juga berlaku untuk kasus penyebaran virus corona, penyebab penyakit menular COVID-19, yang kian hari terus bertambah korbannya.
ADVERTISEMENT
Tak semua orang mampu meredam kecemasan menghadapi bencana nonalam satu ini. Akibatnya, kesehatan jiwa mereka pun mulai terusik.
Kondisi ini dimaklumi betul oleh Psikiater dari Klinik Psikosomatik RS Omni, Tangerang, dr. Andri, SpKJ, FACLP. Menurut Andri, semua informasi terkait virus corona yang berseliweran di sejumlah media, lalu dikonsumsi oleh publik, berpotensi memunculkan reaksi psikosomatik tubuh.
Andri menjabarkan seperti apa reaksi psikosomatika yang bisa dialami seseorang di tengah pandemi virus corona yang masih berlangsung saat ini. Seperti yang dipaparkan Andri, reaksi yang timbul ternyata berdampak langsung pada kesehatan fisik seseorang.
Beda Gejala Corona, Influenza, dan Selesma. Foto: Andrifarifin/kumparan.
“Masa saat ini, ketika kita membaca berita atau cerita tentang gejala virus corona atau COVID-19, dan tiba-tiba kita merasa tenggorokan kita agak gatal, nyeri dan merasa agak meriang walaupun suhu tubuh normal. Itu wajar,” tulis Andri, melalui utas di akun Twitter @mbahndi, Minggu (22/3). “Reaksi psikosomatik tubuh saat ini memang terasa.”
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Andri menjelaskan bahwa salah satu penyebab dari timbulnya reaksi psikosomatik adalah kecemasan yang dipicu oleh pola konsumsi masyarakat terhadap berita-berita terkait virus corona yang terjadi terus-menerus.
Dari situlah, amygdala atau pusat rasa cemas sekaligus memori kita menjadi terlalu aktif bekerja. Ujung-ujungnya, kata Andri, ia tak sanggup lagi mengatasi kerja berat itu.
Amygdala yang bekerja berlebihan ini juga mengaktifkan sistem saraf otonom secara berlebihan,” imbuhnya.
Akibatnya, kita bisa terjebak dalam kondisi apa yang Andri sebut fight or flight. Manusia jadi tak bisa berhenti was-was. Ketidakseimbangan inilah yang membuat gejala psikosomatik muncul sebagai reaksi untuk siap siaga menghadapi ancaman.
Warga Iran mengenakan masker untuk mencegah tertularnya virus corona, saat beraktivitas di Teheran, Iran. Foto: WANA/Nazanin Tabatabaee via REUTERS
Untuk mengenali gejala psikosomatik, Andri menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurutnya, kita mesti bisa membedakan apakah gejala yang dialami hanya berlangsung sesaat atau terus-menerus dan apakah keluhan-keluhan yang dirasakan itu berpindah di bagian tubuh lain atau sebaliknya.
ADVERTISEMENT
“Pemeriksaan objektif bisa dilakukan pada kondisi seperti sekarang. Ingat kalau ada demam tinggi, batuk, pilek dan sesak napas, lebih baik segera ke rumah sakit,” saran Andri.
Demi mengurangi gejala psikosomatik akibat kerja amygdala yang terlalu aktif, Andri mengimbau masyarakat untuk mengurangi dan membatasi konsumsi informasi terkait COVID-19.
“Lakukan hal lain selain browsing, lakukan hobi yang menyenangkan dan sebarkan optimisme kita bisa lewati semua ini,” imbaunya.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!