Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Penyebab Patah Hati Mungkin Berasal dari Otak
8 Maret 2019 7:03 WIB
Diperbarui 20 Maret 2019 20:08 WIB
![Ilustrasi wanita patah hati Foto: Thinkstock](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1487248073/rolxolfkhruseh48tt3z.jpg)
ADVERTISEMENT
Asal-usul patah hati bisa jadi berasal dari otak kita. Otak diduga juga memengaruhi jantung sehingga menghasilkan suatu kondisi yang disebut "sindrom patah hati."
ADVERTISEMENT
Sindrom patah hati, atau kardiomiopati takotsubo, adalah kondisi sementara yang memengaruhi jantung. Itu terjadi ketika otot jantung tiba-tiba melemah dan menyebabkan jantung berubah bentuk. Penyebab sindrom patah hati tidak sepenuhnya diketahui. Kondisi ini bisa disebabkan oleh emosi, marah, terkejut, stres yang ekstrem, seperti kehilangan orang yang kita dicintai.
Sindrom patah hati memiliki gejala yang mirip dengan serangan jantung, termasuk nyeri pada dada, sesak napas, jantung berdebat tidak teratur. Kondisi ini bisa berlangsung dalam jangka waktu yang lama, menurut Departemen Kesehatan dan Layanan Publik Amerika Serikat. Jantung orang-orang yang pernah atau sedang mengalami sindrom patah hati, sejatinya bisa kembali dalam kondisi pulih tanpa kerusakan permanen.
Saat ini, sebuah studi baru menunjukkan, bahwa otak manusia telah memainkan peran penting pada sindrom patah hati itu. Para peneliti menemukan ketika orang mengalami sindrom patah hati, area otaknya yang bertanggung jawab mengendalikan respons stres, tidak berfungsi sebaik orang yang tanpa sindrom ini. Studi ini telah diterbitkan di jurnal European Society of Cardiology pada 5 Maret 2019.
Salah satu peneliti yang terlibat dalam riset, Jelena-Rima Ghadri dari University Hospital Zurich (Swiss), menjelaskan bahwa studi mereka dilakukan dengan memeriksa peran otak dalam kondisi sindrom patah hati yang biasanya dipicu oleh emosi yang ekstrem. Tim ini memindai otak dari 15 pasien perempuan yang sebelumnya menderita sindrom patah hati. Pemindaian otak berlangsung pada 2013 dan 2014.
ADVERTISEMENT
Pasien telah didiagnosis, rata-rata, sekitar satu tahun sebelum pemindaian. Pemindaian dilakukan di University Hospital Zurich sebagai bagian dari interTAK Registry, sebuah kelompok internasional untuk meneliti orang-orang dengan sindrom patah hati.
Hasil pindaian 15 pasien perempuan itu kemudian dibandingkan dengan hasil pindaian 39 orang tanpa sindrom patah hati.
Hasilnya, para peneliti menemukan, orang-orang dengan kondisi sindrom patah hati, memiliki lebih sedikit koneksi antara daerah otak yang terkait dengan pemrosesan emosional dan sistem saraf otonom, atau sistem yang mengontrol proses otomatis dalam tubuh kita seperti berkedip dan detak jantung.
Sel saraf (neuron) membentuk koneksi untuk berbicara satu sama lain dan mengirim sinyal ke otak. Jika koneksi-koneksi itu jarang terjadi, wilayah otak yang lain tidak dapat berkomunikasi dengan cukup baik untuk membentuk suatu tindakan, seperti respons terhadap situasi yang penuh tekanan atau emosional.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengapa beberapa orang memilih untuk mengembangkan kondisi sindrom patah hati ini, dan yang lainnya tidak.
Ghadri bersama timnya berharap akan ada penelitian lanjutan di masa depan untuk menguraikan temuan ini, juga membantu dokter memahami siapa yang berisiko mengalami sindrom patah hati dan apa alasannya. Sindrom patah hati disebutnya "jelas melibatkan interaksi antara otak dan jantung."