news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

PSBB Virus Corona Tak Sepenuhnya Atasi Polusi Udara di Jakarta, Mengapa?

8 Mei 2020 14:04 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana PLTU Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana PLTU Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dilaporkan memiliki tingkat polusi udara paling berbahaya. Akibatnya, tak kurang dari 38 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena menderita infeksi saluran pernapasan bagian bawah.
ADVERTISEMENT
Udara yang lebih bersih disebut mampu menyelamatkan 3.000 hingga 6.000 nyawa manusia dari risiko kematian. Penerapan kerja dari rumah atau yang juga dikenal dengan istilah work from home (WFH) selama pandemi virus corona, ternyata berkontribusi menurunkan tingkat polusi udara khususnya di Jakarta.
Pemberlakuan WFH di Jakarta diumumkan sejak 12 Maret lalu. Disusul kemudian ada perintah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang lebih ketat dengan menutup sekolah, tempat kerja dan pertemuan keagamaan yang dimulai 30 Maret silam.
Petugas melakukan imbauan kepada pengendara motor untuk dapat mematuhi penerapan PSBB di jalan cempaka putih raya, Cempaka Putih, Jakarta (11/4). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Dalam rilis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang diterima kumparanSAINS, Jumat (8/5), disebutkan bahwa jenis polutan seperti Nitrogen dioksida (NO2) di Jakarta saat ini tercatat mengalami penurunan sekitar 40 persen jika dibandingkan tahun 2019. Hal ini disinyalir karena kegiatan ekonomi dan sosial yang berkurang di ibu kota sehingga terjadi penurunan emisi secara drastis.
ADVERTISEMENT
Kabar baik ini sayangnya tidak dibarengi dengan menurunnya konsentrat PM 2.5. Malah sebaliknya, konsentrat dari partikel udara berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron itu tetap konsisten seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa persoalan polusi udara di sekitar kota Jakarta masih sangat dipengaruhi oleh polutan dari daerah sekitarnya.
Tak berbeda dengan Jakarta, penurunan NO2 yang tidak dibarengi dengan berkurangnya polutan PM 2.5 sebenarnya juga dialami kota-kota seperti Hanoi dan Ho Chi Minh, Vietnam.
Peningkatan PM 2.5 di kedua kota itu dipastikan berasal dari pembakaran batu bara dan industri di sekitar kota. Secara umum, kondisi seperti itu direplikasi di seluruh wilayah kota-kota besar yang berdekatan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Suasana di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, selama wabah virus corona, (31/3). Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
“Penurunan polusi udara saat COVID-19 sama sekali tidak mengurangi dampak bencana penyakit ini pada kehidupan dan mata pencarian masyarakat di seluruh Asia. Namun, langit biru yang terlihat di atas kota-kota besar dapat menunjukkan apa yang sebenarnya dapat kita capai jika kita berinvestasi dalam energi bersih setelah krisis ini mereda,” kata Isabella Suarez, Analis di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA).
ADVERTISEMENT
Bencana penyakit akibat polusi udara, ternyata juga bisa mempengaruhi tingginya tingkat kematian akibat COVID-19.
Guru Besar Universitas Indonesia dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Prof. Dr. Budi Haryanto, SKM, M.Kes, M.Sc, menjelaskan, bahwa pencemaran udara bisa menyebabkan masalah kesehatan, baik yang sifatnya ringan hingga serius.
“Penyakit yang ditimbulkan pencemaran udara itu ada yang langsung terasa seperti batuk, pilek, asma. Namun ada juga yang sifatnya kronis, jangka panjang,” sebut Budi, dalam acara Media Briefing yang diselenggarakan Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota), beberapa waktu lalu.
Budi menambahkan, penyakit kronis akibat pencemaran udara rentan dialami masyarakat yang tinggal di wilayah berpolusi tinggi. Mereka dengan mudah terserang gangguan iritasi saluran napas dan gangguan fungsi paru yang kemudian bisa berimplikasi pada penyakit lainnya, seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal.
Staf medis Indonesia ikut serta dalam tes massal untuk virus corona COVID-19 di stadion Patriot di Bekasi. Foto: AFP/REZAS
Dari hasil kajiannya, CREA memaparkan data yang menunjukkan bahwa di provinsi Banten, di mana terdapat pembangkit listrik Suralaya, sebaran NO2 tetap tinggi. Arah massa udara dengan PM2.5 yang tinggi mengarah ke Jakarta terdeteksi melalui stasiun pemantau kualitas udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat pada 12 April lalu.
ADVERTISEMENT
Pemandangan ini menunjukkan banyaknya polusi udara dari Suralaya yang terbawa ke kota-kota sekitarnya yang mengarah ke Jakarta.
Visualisasi satelit NO2 dalam rilis penelitian ini menampilkan wilayah kota-kota besar di Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Filipina. Peta-peta ini dipantau menggunakan data satelit TROPOMI-Sentinel-5P yang menunjukkan penurunan level NO2 di atmosfer selama periode tertentu per negara pada periode pemberlakukan lockdown hingga 5 Mei 2020.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa polusi udara perkotaan merupakan akumulasi dari berbagai sumber. Mulai dari kendaraan dan lalu lintas, kegiatan industri, hingga pembangkit listrik tenaga batubara yang sangat berpolusi. Sederhananya, mengendalikan tingkat polusi dari semua sumber ini sama dengan lebih sedikit polusi yang dihirup. Pada akhirnya, lebih sedikit polusi berarti paru-paru lebih sehat dan lebih sedikit tekanan pada layanan kesehatan di masa kritis ini,” tutur Isabella.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kajian tersebut menyimpulkan bahwa transportasi, produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, serta manufaktur tetap menjadi penghalang untuk mendapatkan kualitas udara yang lebih baik.
Meskipun negara-negara lain telah beralih dari batu bara, Asia Tenggara malah menjadikannya sebagai energi yang diandalkan dengan mengorbankan kesehatan manusia dan pembangunan berkelanjutan. Tanpa perbaikan dalam infrastruktur transportasi massal, urbanisasi di Asia Tenggara diikuti oleh meningkatnya jumlah kendaraan pribadi di jalan yang sangat besar, memperburuk lalu lintas dan juga kemacetan.
Ketika beberapa negara sudah melonggarkan penerapan lockdown mereka, kualitas udara berbahaya - baik lokal maupun regional - kemungkinan akan kembali. Hal itu dikarenakan masih banyak negara-negara di kawasan ini yang sangat bergantung pada industri penyebab pencemaran udara dan juga bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Pandemi saat ini telah menekankan hubungan sistem kehidupan kita, dengan memperlihatkan banyaknya kerentanan dan kesenjangan dalam pemenuhan kebutuhan warga. Masalah kualitas udara perkotaan yang buruk muncul sebagai ancaman utama bagi kesehatan, lingkungan, dan kualitas hidup jutaan orang, bersamaan dengan masalah COVID-19 yang masih harus dihadapi.
Polusi udara adalah masalah yang bisa dikelola. Peningkatan kualitas udara yang terjadi saat ini mengkonfirmasi bahwa adalah mungkin untuk mengurangi polusi udara jika ada usaha yang dibuat untuk mengendalikan sumber utama masalah.
Ini termasuk investasi dalam meningkatkan energi dan sistem transportasi dengan cara yang mementingkan kesehatan dan kesejahteraan manusia, serta ekonomi. Begitupun dengan mengintegrasikan pertimbangan kebijakan energi ke dalam perencanaan pengendalian kualitas udara, serta berinvestasi dalam energi terbarukan yang dapat membantu negara memenuhi target menjamin kesehatan masyarakat, lingkungan, dan energi.
ADVERTISEMENT
Memperluas dan memodernisasi transportasi dapat mendukung mobilitas dan menghasilkan banyak manfaat bagi individu dan industri, termasuk pengurangan kendaraan di jalan dan kemunduran lalu lintas. Ketika lockdown mulai mereda di kawasan ini kelak dan pemulihan menjadi prioritas utama, paket-paket stimulus pemerintah harus dilakukan dengan proaktif berinvestasi dalam perbaikan ke arah yang lebih hijau.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.