Ratusan Kodok Tebu Beracun Serbu Sebuah Kota di Taiwan

8 Desember 2021 16:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kodok tebu invasif (Rhinella marina). Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Kodok tebu invasif (Rhinella marina). Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Petugas konservasi di Taiwan sedang berjibaku menahan serbuan kodok invasif yang sangat beracun dan telah menyebabkan kerusakan bagi ekosistem asli di sana.
ADVERTISEMENT
Kodok tebu (Rhinella marina) adalah spesies kodok yang sangat beracun berasal dari Amerika Serikat, tepatnya dari Amazon Tengah di Peru hingga Lembah Rio Grande di Texas, AS. Namun, spesies ini juga telah menyebar ke seluruh dunia pada awal abad ke-20, termasuk Karibia, Australia, dan sebagian besar wilayah Pasifik.
Kodok tebu dewasa punya ukuran panjang berkisar 9-15 centimeter dan punya kulit kuning kecoklatan ditutupi dengan kutil di sekujur tubuhnya. Saat mereka merasa terancam, kodok tebu akan melepaskan racun berwarna putih susu dari kulitnya yang dikenal sebagai bufotoxin. Racun ini keluar dari kelenjar di belakang mata dan mematikan bagi sebagian besar hewan.
Awalnya, para peneliti di Taiwan tahu ada invasi kodok tebu di peternakan di kota kecil pegunungan tengah Taiwan dari laporan seorang penduduk setempat yang membagikan foto-foto kodok tebu di internet. Usai melihat foto tersebut, peneliti dari Taiwan Amphibian Conservation Society langsung datang ke lokasi untuk melakukan penyelidikan.
Kodok tebu ternyata mengembangkan karakteristiknya menjadi lebih kejam dan kanibal. Foto: Wikimedia Commons
"Operasi pencarian yang cepat dan besar-besaran sangat penting ketika kodok tebu pertama kali ditemukan," kata Lin Chun-fu, ilmuwan amfibi di Institut Penelitian Spesies Endemik Taiwan, mengatakan kepada AFP. “Mereka berkembang biak dengan cepat dan tidak punya predator alami di Taiwan.”
ADVERTISEMENT
Ketika para peneliti tiba di peternakan, mereka menemukan 27 kodok. Sejak saat itu, telah ditemukan lebih dari 200 kodok tebu di daerah sekitar kota. “Saya terkejut dan khawatir ketika mereka menemukan lebih dari 20 kodok,” ujar Yang Yi-ju, ahli katak di National Dong Hwa University yang mengorganisir pencarian.
Kodok tebu adalah spesies invasif yang sangat berbahaya. Mereka sebenarnya hanya hidup di 14 negara, namun sekarang bisa ditemukan di lebih dari 40 negara dan menempatkan mereka di daftar 100 Spesies Invasif Terburuk yang diawasi oleh Invasive Species Specialist Group, sebuah badan penasehat internasional yang terdiri dari ilmuwan dan pakar kebijakan.
Kodok tebu betina bisa menghasilkan sekitar 30.000 telur dalam sekali bertelur dan kawin sepanjang tahun. Tidak seperti kodok lainnya yang secara khusus menjadi predator, kodok tebu juga bertindak sebagai pemulung sehingga mereka selalu punya banyak makanan. Tanpa pemangsa alami, jumlah kodok tebu meledak dengan cepat hingga merusak ekosistem alami di tempat yang mereka singgahi.
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, orang sengaja melepas kodok tebu di negara yang punya masalah dengan hama. Misalnya, pada tahun 1935, Australia membawa kodok tebu untuk mengatasi kumbang tebu (Dermolepida albohirtum) yang merusak ladang tebu. Dengan diperkenalkannya kodok beracun ke Australia, hama kumbang tebu dapat dikendalikan, tapi populasi kodok meledak tak terkendali.
Para peneliti percaya, perdagangan kodok tebu di pasar gelap menyebabkan invasi kodok tebu di Taiwan. Meski dikenal sebagai amfibi berbahaya, kodok tebu ternyata telah menjadi hewan peliharaan populer di Taiwan dan digunakan dalam pengobatan tradisional. Namun, pada 2016, pemerintah Taiwan melarang impor kodok tebu sehingga orang-orang mulai membiakkan dan menjualnya secara ilegal.
Teori kenapa kodok tebu menjadi invasif di Taiwan adalah kodok peliharaan telah melarikan diri atau tak sengaja ditinggalkan oleh pedagang di pasar gelap. Para peneliti juga menduga, bahwa invasi sebenarnya telah terjadi beberapa bulan lalu sampai akhirnya diketahui.
ADVERTISEMENT
Peneliti berharap, mereka bisa menahan serangan kodok tebu, meski sepertinya akan sulit dilakukan. “Musim semi berikutnya selama musim kawin adalah saat kami akan benar-benar tahu pasti apakah kami telah menahannya," kata Yang.