Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Riset Algo: Sumber Polusi CO2 Indonesia Terbesar dari PLTU & Industri Batu Bara
23 Agustus 2023 13:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Polusi udara Jakarta terus berkecamuk seakan tak ada solusi nyata dari pemerintah. Work From Home (WFH) 50 persen bagi ASN di Jakarta yang diberlakukan untuk menekan polusi nyatanya tak efektif untuk menyingkirkan kabut polusi yang menyelimuti Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan kenapa WFH dipilih untuk mengatasi polusi di Jakarta. Ini karena menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), transportasi menjadi penyumbang terbesar (44 persen) polusi di udara, disusul oleh industri energi (33 persen), manufaktur (10 persen), perumahan (14 persen), dan komersial (1 persen).
Namun riset yang dilakukan Algo Research, lembaga penelitian independen dan berbasis data di Indonesia, menyebut polusi udara Indonesia justru sebagian besar berasal dari industri energi PLTU berbahan bakar batu bara. Masalahnya, menyelesaikan sumber emisi dari PLTU tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Riset yang terbit di situs algoresearch.id pada 20 Agustus 2023 menjelaskan, alasan Indonesia masih mengandalkan energi murah karena mayoritas masyarakatnya memiliki daya beli yang rendah (26 juta orang atau sekitar 10 persen populasi masih hidup di bawah Rp 551.000 per bulan).
ADVERTISEMENT
Batu bara adalah energi murah. Inilah alasan kenapa PLTU masih mengandalkan bahan bakar tersebut, meski kotor untuk lingkungan. Untuk melihat bagaimana pembangkit listrik berbasis batu bara jadi sumber emisi CO2 terbesar di Tanah Air, kita lihat data di bawah ini.
Riset Algo mengatakan batu bara menempati urutan teratas dengan 30 persen dari total kontribusi energi pada 2021, naik 8 persen dibandingkan tahun 2000. Diikuti oleh minyak (29 persen), gas bumi (14 persen), biofuel dan limbah (14 persen). Sementara untuk energi terbarukan dan lainnya meningkat dari 6 persen pada 2000 menjadi 13 persen dari total kontribusi energi pada 2021.
Bagaimana dengan sumber emisi CO2? Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), sumber emisi terbesar di Indonesia berasal dari batu bara (51 persen), diikuti oleh minyak (36 persen), gas bumi (12 persen), biofuel dan limbah (1 persen).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sektor, Pembangkit Listrik & Panas menjadi penyumbang polusi tertinggi (44 persen), lalu industri (24 persen), transportasi (24 persen), perumahan/rumah tangga (5 persen), industri energi lainnya (4 persen), dan lainnya (1 persen).
Dengan melihat data di atas, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara menjadi penyumbang utama emisi CO2 sebesar 37 persen karena pasokan energi di Indonesia sebagian besar berasal dari batu bara yang digunakan sebagai pembangkit listrik untuk industri dan rumah tangga.
Karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan batu bara, Indonesia menjadi salah satu negara dengan biaya listrik rumah tangga terendah di dunia, sehingga mendukung rumah tangga menengah ke bawah. Inilah kenapa penggunaan batu bara menjadi hal yang penting buat ekonomi Indonesia, karena selain pasokannya melimpah, harganya juga terjangkau.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika pembangkit listrik beralih ke energi terbarukan? Pada akhirnya ini akan membebani rakyat karena biaya listrik bakal jauh lebih mahal (25 persen) dari sebelumnya. Ini karena investasi untuk energi terbarukan membutuhkan biaya besar dan membutuhkan waktu cukup panjang dalam prosesnya.
"Pemerintah sebenarnya telah secara bertahap menangani hal ini dan berupaya berinvestasi dalam energi yang lebih bersih, tetapi dibutuhkan lebih banyak inisiatif," tulis para peneliti Algo Research.
Berdasarkan data PLN (Perusahaan Listrik Negara) pasokan energi yang berasal dari energi terbarukan meningkat dari 11 persen pada 2019 menjadi 14 persen di 2023 baik untuk PLN maupun IPP (Independent Power Producers). Sebagian besar peningkatan berasal dari Hydro (7 persen) dan Geothermal (6 persen).
ADVERTISEMENT
Namun sekali lagi, investasi untuk energi terbarukan di Indonesia masih mahal, membuatnya sulit untuk diimplementasikan kendati bukan tidak mungkin. Struktur biaya untuk proyek-proyek energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, atau panas bumi memerlukan modal awal yang sangat besar. Sementara itu, energi konvensional memiliki biaya operasional yang lebih bervariasi seperti bahan bakar fosil.
Ditambah, survei Algo menyebutkan sebagian besar masyarakat Indonesia (64 persen dari total responden yang disurvei) keberatan jika biaya listrik naik 25 persen meski menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Kemudian, kalau biaya listrik yang mahal kembali ditanggung pemerintah, maka alternatifnya adalah menaikan pajak atau mengalokasikan anggaran lain untuk subsidi listrik.
Dan jika perusahaan yang membayar, kemungkinan besar mereka akan membebankan biaya tersebut kepada pelanggan. Semua ini secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan daya beli.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Pemerintah Salah Sasaran
Kondisi penanganan polusi udara yang dilematis ini diperparah dengan langkah pemerintah yang dinilai Algo tidak tepat sasaran.
Jika kita melihat prevalensi penyebab polusi udara di Indonesia, khususnya Jabodetabek, maka sektor PLTU berbasis batu bara menjadi penyumbang terbesar polusi udara. Jika ditotal, kegiatan industri dan bangunan (komersial dan rumah tangga) menyumbang hingga 72 persen dari total emisi CO2. Sedangkan transportasi sebesar 24 persen dari total emisi.
Namun, solusi jangka pendek pemerintah adalah mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik (Electric Vechiles/EV), atau memberlakukan WFH. Padahal, transportasi bukalah penyumbang terbesar polusi udara. Menurut Algo, berkurangnya polusi dari transportasi karena WFH dan EV akan diimbangi dengan bertambahnya polusi udara yang berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
ADVERTISEMENT
Kendaraan listrik membutuhkan baterai terbuat dari logam seperti nikel, litium, atau kobalt. Semakin banyak kendaraan listrik, semakin banyak pula produksi baterai. Maka produktivitas penambangan logam akan semakin tinggi.
“Hilirisasi nikel adalah fokus utama dari kebijakan pemerintah dan memang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus menerima bahwa itu adalah sumber emisi yang mencemari lingkungan. Diperlukan banyak peraturan untuk mengatasi masalah ini,” tulis peneliti Algo.
Dengan begitu, narasi kendaraan listrik menyelamatkan lingkungan adalah salah. Algo justru menyarankan agar subsidi kendaraan listrik senilai Rp 7 triliun dari pemerintah sebaiknya dialokasikan untuk memperbaiki transportasi massal di Indonesia.
Sebab, menurut Algo, mereka yang mampu membeli kendaraan listrik hanyalah orang kaya. Pembelian kendaraan listrik tidak menjadi prioritas bagi segmen menengah ke bawah. Kendati faktanya pemerintah tetap bersikeras untuk mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
“Jelas, subsidi EV ini hanya akan menguntungkan segelintir orang, kebanyakan golongan berpenghasilan menengah atas,” papar Algo.
Alih-alih EV, memperluas sektor transportasi massal justru jauh lebih efektif dalam mengurangi polusi dan bisa menguntungkan semua kalangan. Menurunkan harga tiket transportasi massal juga bisa dilakukan sebagai solusi jangka pendek menangani polusi dan kemacetan.
Selain itu, jumlah angkutan massal di Jakarta dan daerah penyangga seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok masih jauh berbeda. Angkutan lebih banyak tersedia di Jakarta, sementara daerah di sekitarnya masih kurang. Memperluas sistem transportasi ke Jabodetabek memang membutuhkan waktu, tetapi akan lebih tepat sasaran dan berdampak baik untuk situasi di Jakarta yang merupakan salah satu kota terpadat di ASEAN dengan 15.970/km2.
ADVERTISEMENT
Survei Algo menunjukkan transportasi massal menempati posisi ke-2 sebagai opsi untuk mengurangi polusi. Sementara yang pertama adalah penggunaan energi terbarukan sebesar 36 persen, dan 16 persen merelokasi pabrik dari kawasan perkotaan.